SAD ↗01

13 7 2
                                    

Diatas sana, bulan melihat pancaran kebahagiaan keluarga kecil itu. Tersenyum puas meskipun hanya dengan candaan yang mungkin tidak masuk akal.

Disana, gadis dengan rambut keriting bergelombang itu menyenderkan kepalanya pada dada bidang milik kakak pertamanya. Ah, pasti keras sekali.

Disamping kanan dan kirinya ada kakak dan juga ayahnya. Disamping kanannya ada sang ayah, disamping kirinya ada kedua kakaknya.

"Ayah, apa kau tau?" tanya gadis itu yang tak lain adalah Arin.

"Kenapa?"

Arin tersenyum miring lalu melihat kakak terakhirnya itu sebelum menjawab pertanyaan Bagas—ayahnya. "Kak Aksa mempunyai kekasih, Yah." Mendengar itu Aksa langsung membelalakkan matanya. Ah, semua itu tidak benar.

"Hey, tidak."

"Alah, Kak. Kau tidak perlu berbohong katakan saja pada ayah jika kau mempunyai kekasih," ucap Arin dengan tampang tengilnya. Aksa yang mendengar itu langsung menatap ayahnya.

Ya ampun, mata ayahnya sangat menyeramkan sekali. Lalu ia ganti menatap Arin kesal. Arin yang ditatap seperti itu langsung menyembunyikan wajahnya di dada milik Dirga—kakak pertamanya. "Kak, Kak Aksa melototiku," gumam Arin mengadu.

"Apa matamu ingin kupalu?" ucap Dirga dingin. Gilang yang mendengar itu langsung tertawa tapi tertahan. Gilang malah mengusap pelan kepala Arin. Aksa yang melihat itu geram sendiri.

"Aksa, apa benar?"

"Ah, tidak, Ayah. Ada-ada saja, bahkan aku tidak tau apa itu kekasih," elaknya dengan kesal. Dasar, kakaknya itu bukan malah membelanya tapi malam mengejeknya dengan senyuman dan masih tetap mengusap kepala Arin yang masih bertumpu pada dada bidang milik Dirga.

Aksa yang melihat itu seolah Dirga dan Gilang tidak ada sama sekali niat untuk membantunya.

"Kak, kau jangan berbohong. Jelas-jelas tadi kau senyum-senyum sendiri saat melihat handphone mu. Dasar pembohong." Gilang yang mendengar itu justru malah mengejek dengan menjulurkan lidahnya pada Aksa.

Katakan saja Gilang tega. Kenyataannya memang seperti itu, dia tau apa yang terjadi saat Aksa senyum-senyum melihat handphone nya itu. Tapi bukan karena kekasih. Jangankan kekasih, teman perempuan saja tidak punya. Hanya sebatas kenalpun ia tidak punya. Ya Tuhan.

"Dasar gadis pendek. Kau berbohong."

"Tidak, siapa yang berbohong?" ucap Arin dengan senyum geli. Rasanya lega sekali membuat kakaknya itu ditatap tajam oleh sang ayah.

"Ayah, serius. Aku tidak berbohong, aku tidak mempunyai kekasih." Gilang dan Arin yang melihat Aksa merengek seketika tawa mereka berdua meledak. Dirga hanya tersenyum tipis, sangat-sangat tipis. Sedangkan Bagas—ayah Arin ia berusaha menahan tawanya saat melihat anaknya itu merengak padanya.

"Ayah lebih percaya kepada Arin. Tidak mungkin anak kesayangan ayah ini berbohong," ucap Bagas lalu ia merentangkan tangannya untuk Arin masuk dalam dekapannya.

"Arin sayang ayah ...," ucap Arin lalu bangkit dari dada bidang Dirga pindah dalam dekapan sang Ayah.

"Iya, dia anak kesayangannya ayah. Apalah dayaku yang hanya butiran debu. Huh."

"Baru sadar," human Dirga.

"Kau sekali berbicara membuat hatiku sakit."

"Aku tidak peduli."

"Haha, sudahlah Arin. Kasian kakakmu itu, sampai kapanpun ia tidak akan mempunyai kekasih. Lihat sikapnya saja mungkin para perempuan sudah ilfill dengannya. Hahaha."

"Kau, dasar. Kau sendiri juga masih jomblo," ucap Aksa tidak mau kalah. Siapa bilang sampai kapanpun ia tidak akan mempunyai kekasih? Bahkan, mungkin perempuan-perempuam disana banyak yang ingin menjadi kekasihnya.

Mungkin.

"Siapa yang jomblo? Aku tidak," ucap Gilang menjulurkan lidahnya pada Aksa.

"Kau, ngaku-ngaku punya pasangan malam Minggu saja kau selalu dirumah. Hahahaha." Untuk saat ini mereka semua tertawa kecuali Dirga yang masih dengan wajah datarnya dan Gilang dengan wajah kusutnya.

"Halah, kalian berdua memang sama-sama jomblo. Jadi damai saja, yah. Hahaha," gumam Arin geli.

"Hey, kau juga tidak mempunyai kekasih." Mampus, Gilang dan Aksa mengatakan ucapan yang sama.

"Siapa yang tidak mempunyai kekasih? Aku punya."

"Siapa?" tanya Bagas dan Dirga bersama.

"Ada, Ayah. Tapi masih belum nampak. Hehe."

Tuk.

"Dasar kau."

"Arin, jika kau berani berhubungan dengan salah satu laki-laki. Maka akan kupastikan dia merenggang nyawa saat itu juga," ucap Dirga menatap lurus langit biru pekat itu. Ucapannya tidak main-main. Demi siapa? Pastinya demi sang adik tersayangnya.

Mereka semua yang mendengar itu bergidik ngeri. Tak terkecualipun sang ayah. Bagas sudah sangat hapal bagaimana anak pertamanya itu bertindak. Bahkan dia sendiri tidak bisa menghalangi keinginan sang anaknya itu.

"Yah, Kak. Kenapa seperti itu? Dasar kau sama sekali tidak asik."

"Kau tau? Berhubungan dengan lawan jenis hanya membuatmu sedih. Tak terkecuali membuatmu tidak fokus dengan dirimu sendiri. Kau akan lebih mementingkan pasanganmu dari pada keluarga bahkan dirimu sendiri, dan kakak tidak akan membiarkanmu mempunyai pasangan."

"Benar," ucap Bagas lalu mengangguk.

"Tapi mana bisa seperti itu. Kak Gilang saja mempunyai pasangan. Bahkan setiap hari dia berganti-ganti pasangan."

"Jangan samakan dirimu dengan orang yang tidak bermutu seperti itu. Hmm," ucap Dirga.

"Hey, kenapa kau jadi mengataiku?!"

"Aku tidak menyebut namamu."

.
.
.
.
.

Untuk part ini pendek yah.

Jangan bosan-bosan baca karya Arine :)

Setelah Ada DirimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang