#2 Sekaan Flanel Merah

20 5 14
                                    

SYUTING dilakukan keesokan harinya, pada hari Sabtu sepulang sekolah. Setiap Sabtu, jam pembelajaran berakhir pukul satu siang. Itu berarti matahari sedang terik-teriknya. Ada Vina dan Putri—dua siswi dari kelasnya Nadia juga—ikut menemani proses syuting itu. Dan merasa seperti dikepung oleh anak-anak dari kelas 11 Multimedia B. Vina adalah pacarnya Tama, lebih dulu untuk mereka berpacaran dibandingkan mendaftar ke sekolah ini. Kalau Putri ditaksir oleh Johan. Semua siswa laki-laki kelas 11 Multimedia tahu akan hal itu, entah dengan Putri walaupun fakta itu sudah menjadi rahasia umum. Sedangkan Nadia—perempuan yang sedang memutar-mutar lensa kamera lima meter dari tempat Dan berdiri—Dan tak pernah tahu siapa cowok yang pernah dekat dengannya. Ia tak pernah terlihat dekat dengan siapa pun.

Nadia berhenti sibuk dengan lensa kameranya. Ia mengarahkan Johan untuk mengambil gambar dari arah yang ditunjuknya. Johan mengangguk, lalu segera pergi menghilang di koridor gedung utama sekolah. Dan menunduk karena keringat mulai bercucuran dari atas kepalanya. Sudah hampir sepuluh menit ia dijemur oleh Nadia dan timnya di tengah lapangan. Dan sangat ingin protes, berteriak pada Nadia dan Tama yang masih saja berdebat soal kamera. Namun ia sama sekali berniat untuk berjalan berteduh. Saat Dan kembali mendongak, sosok Nadia ternyata sedang berlari kecil ke arahnya, membelah kilau sinar menyilaukan dari terik matahari.

"Dan, ingat dialognya, kan?" Nadia berkata dari bawah topi seniman bercorak kotak-kotak, senada dengan flanel tebal berwarna merah-hitam yang ia kenakan.

"Lebih ingat wajah sutradaranya, sih," balas Dan.

Nadia merengut, itu bukan jawaban yang ia butuhkan. Dan tertawa pelan, lalu bilang kepada Nadia untuk tidak perlu terlalu cemas karena ia sudah menghabiskan waktu semalaman untuk menghapal dialog-dialog rumit yang ada dalam script itu. Setidaknya semua dialog yang hanya dibutuhkan untuk beberapa adegan yang direkam hari ini. Nadia yang semula menekuk bibirnya kembali berwajah cerah. Ia kemudian menjelaskan perihal blocking dan semacamnya. Penjelasannya detail dan profesional. Nadia berbakat dalam penyutradaraan. Lagi, caranya berbicara sangat mudah dimengerti oleh Dan yang menganggap dirinya punya jalan pikiran bak siput.

Terik matahari siang ini kembali menyengat, membuat Dan menunduk lagi agar wajahnya yang sudah penuh keringat tak terlihat semakin lusuh. Tidak di depan seorang perempuan, contohnya Nadia. Dia yang sudah selesai dengan penjelasannya sekarang kembali sibuk dengan storyboard yang ada di tangannya. Dan mendekatkan kepalanya pada Nadia, ingin ikut melihat apa yang gadis itu lihat. Namun setetes bulir keringat kembali mengucur dari dahinya, membuat Dan kembali mundur. Tanpa sengaja ia menghentakkan sepatu terlalu keras.

Nadia menoleh, gadis itu tertawa pelan melihat Dan yang sibuk menyingkirkan wajah lusuhnya. Setelah dirasa tak ada lagi cucuran keringat dari atas kepalanya, Dan segera kembali ke posisi semula. Dengan wajah terangkat sembari menatap Nadia, yang ternyata, masih tersenyum ke arahnya. Kedua pasang mata milik mereka bertemu. Pertemuan yang terasa seperti pertama kali. Belum sempat Dan lontarkan kata apa pun, ia terkejut saat Nadia tiba-tiba menarik lengan jaket flanelnya, tangan kanannya terangkat ke depan wajah Dan.

Dan langsung diam seperti sedang disihir jadi beku oleh Hermione Granger, atau Nadia lebih tepatnya—saat ia menyeka dahi Dan dengan flanelnya. Nadia melakukannya dengan halus. Dan masih membeku, merasa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya. Merah dari kain flanel itu sama sekali tak berkilau. Kilaunya pindah pada kedua pasang mata bening milik Nadia. Hal itulah yang tergambar pada pandangan Dan. Sebelum Nadia kembali berucap dan menarik Dan dari lamunannya.

"Scene pertama kita itu pengambilan gambarnya close-up, kurang bagus kalau dahimu penuh keringat kayak begitu," ucap Nadia. Dan mendengarkan, tetapi sama sekali tak bisa fokus akan perkataan gadis itu. Punggung tangan Nadia masih menyeka wajah Dan, tidak hanya di dahi, sekarang jatuh ke pipi mengikuti apa yang dilakukannya tadi. Dan menahan napas. Tak tahu kenapa ia menahannya. Sinar wajah Nadia semakin terpancar walau topi di kepalanya menghalangi itu semua. Tidak seperti saat-saat yang lain sewaktu mereka berbincang, Dan merasa memandang Nadia sekarang terasa sangat berbeda.

Dan & NadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang