#4 Bendera Perang

14 2 0
                                    

"Nad!!!"

Nad menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Sosok Dan muncul dari balik pintu gerbang sekolah, berlari menghampirinya.

"Hei, Nad," sapa Dan. Suaranya terengah-engah.

"Hei, Dan. Selamat pagi."

"Selamat pagi juga ibu sutradara. Kenapa pakai seragam jurusan di hari Senin?"

"Oh, ini..." Nad menunduk untuk melihat seragam hitam-hitamnya. "Nanti siang ada workshop film di SMKN 7. Bu Kristi minta aku, Johan sama Tama buat mewakili sekolah."

"Jadi nanti kamu bakal ke SMKN 7?"

Nad mengangguk. Namun ekspresi wajah Dan berubah drastis, membuat Nad bertanya apakah ada yang salah.

"Jaga hati, Nad. Jangan sampai digodain sama cowok-cowok di sana," ucap Dan.

Nad menahan tawanya. "Tenang saja, Dan. Aku bisa jaga hati, jaga mata, jaga diri... Lagi pula, lebih ganteng anak-anak dari SMKN 2."

Mata Dan menyipit. Ia menarik dasi abu-abunya hingga terlepas, lalu mengikatnya di kepala. Seperti seorang ninja. Lalu dengan penuh percaya diri, ia berkata: "Lebih gantengan Ardani Mahesa dari SMK Media, sih. Sudah terbukti."

Nad tak berkedip melihat Dan lagi-lagi melakukan hal yang ia pun tak tahu untuk apa. Dan sangat percaya diri dengan hal-hal aneh yang dilakukannya. Juga ucapan demi ucapan yang mendefinisikan bagaimana ia bangga dengan dirinya sendiri. Setidaknya semua itu dapat termaafkan dengan lesung pipi manis yang terlihat saat Dan mulai tertawa, mendapati bahwa Nad hanya mematung tanpa kata di sampingnya. Dan menarik kembali dasinya dan dikalungkan dasi itu ke leher. Lebih baik daripada membuatnya seperti ikat kepala Naruto¸ pikir Nad.

Mereka berdua tertawa, melewati koridor lantai satu sekolah yang ramai. Lagi lagi keduanya memperlambat langkah, menunda perjalanan ke ruang kelas yang bersebelahan. Mereka pun tak menggubris tatapan mata siapa pun yang mengarah ke keduanya, atau ke arah Dan, lebih tepatnya. Namun tiba-tiba langkah mereka terhenti. Di depan tangga ada seorang siswi dengan rambut panjang yang digerai dan gayanya yang sok senior turun dari lantai atas, menghalangi langkah mereka berdua.

Wajahnya familiar, tapi Nad tidak tahu siapa namanya. Yang jelas, Nad tahu kalau perempuan itu bukanlah siswi dari angkatannya dari bed merah yang terjahit di atas saku seragam putih abu-abu yang ia kenakan. Perempuan itu menatap mereka berdua. Tatapannya seolah bilang kalau ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Nad merasa ada sesuatu yang salah. Ia mencoba tersenyum hangat kepada perempuan itu. Tapi, senyuman Nad diacuhkan olehnya, pandangan perempuan itu tertuju lurus kepada Dan. Nad tahu adalah tatapan benci yang dilayangkan orang itu pada Dan. Tatapan yang tak mengenakkan. Tatapan yang membuat Nad juga merasa disalahkan. Pertanyaan demi pertanyaan semakin menumpuk di kepalanya saat perempuan itu berjalan turun, melewati Dan, lalu dengan sengaja ia menyenggol pundak kiri Dan. Ia segera pergi dari hadapan mereka berdua.

Beribu pertanyaan menghajar pikiran Nad. Siapa orang ini? Apa hubungannya dengan Dan? Apakah ada yang salah? Masalah apa yang mereka berdua punya? Terlalu banyak pertanyaan untuk ditanyakan pada Dan yang masih berdiri diam, memalingkan wajahnya ke arah lain. Suasana di antara mereka berdua menjadi kian canggung. Di satu sisi, Nad sadar bahwa yang barusan terjadi bukanlah urusannya, jadi tak ada alasan apa pun untuk menanyakan tentang hal itu kepada Dan. Tapi di sisi lain, ia merasa penasaran setengah mati. Insting Nad semakin yakin bahwa ada yang salah, bukan tentangnya, melainkan tentang perempuan itu juga Dan yang masih setia membuang pandangan dan sibuk dengan apa pun yang ada di kepalanya.

Dan & NadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang