Altana melepas genggaman tangan Alvan saat mereka sampai di sebuah taman yang tidak jauh dari kediamannya. Perempuan itu mendaratkan bokongnya di kursi panjang yang muat untuk tiga orang kemudian melepas sepatu hak tinggi yang dikenakannya karena kakinya lecet sehabis berlari. Alvan yang merasa bersalah langsung memeriksa kaki Altana. Namun, tangannya ditepis seketika.
"Duduk," suruh Altana dengan mata yang berkaca-kaca.
Alvan melakukan apa yang dikatakan mantan kekasihnya.
"Apa yang membuat lo datang ke acara ulang tahun gue disaat lo nggak baca dan nggak bales pesan gue?" tanya Altana langsung pada intinya. Kepalanya menengadah agar air mata tidak turun dan membasahi pipinya. Entah senang atau kecewa, Altana sendiri tidak tahu dengan perasaannya saat ini.
Sementara Alvan membeku mendengar pertanyaan Altana. Perempuan itu mengubah panggilan mereka menjadi panggilan saat mereka berteman. "K-kenapa kamu ngubah panggilan kita?" tanya Alvan balik.
Tangan perempuan itu mengusap air matanya cepat. "Status hubungan kita udah jelas buat menjawab pertanyaan lo. Sekarang jawab pertanyaan gue."
Menurunkan bahunya, Alvan menatap perempuan di sebelahnya dengan getir. "Aku minta maaf, Ta. Aku baca pesan kamu, tapi read receipts-nya aku matiin. Aku butuh waktu untuk sendiri dan merenungkan semua kejadian yang sudah terjadi."
Altana menangis mendengar pernyataan Alvan. Kalau seperti ini, Altana tidak bisa menyalahkan Alvan.
"Maaf udah bikin kamu kecewa dengan aku yang minta putus secara sepihak. Pikiranku kalut. Merasa nggak percaya diri kalau aku terus di samping kamu karena masalah yang aku perbuat. Aku juga nggak mau kamu jadi bahan omongan jelek orang-orang kalau seandainya kita masih berhubungan. Namun sepertinya, keputusanku yang terburu-buru tanpa berpikir untuk ke depannya, membuat aku masuk ke dalam sebuah lubang gelap."
Altana mengangkat kepalanya dan menatap Alvan. Mata lelaki itu memerah dengan menahan air mata yang saat ini tertampung di pelupuknya. "Hari-hari yang aku lewati tanpa kamu, membuatku seperti mayat hidup. Apalagi kamu berduaan mulu sama Zach, membuat aku menyesal melepaskan kamu begitu aja. Katakan aku egois, tapi aku nggak bisa melihat kamu sama cowok lain."
Air matanya tepat terjatuh saat Alvan menghindari tatapan Altana dengan menunduk. Membasahi tangannya yang kini sedang memegang goodie bag yang berisi kado untuk Altana.
Ini pertama kalinya Altana melihat Alvan menangis karenanya.
Tangan perempuan itu meraih goodie bag tersebut kemudian meletakkannya di antara kaki mereka. Altana menarik Alvan ke pelukannya.
Alvan mengeluarkan semua emosi yang ia tahan di dalam dadanya sejak dua minggu terakhir di pelukan mantan kekasihnya. Kehangatan yang telah lama ia rindukan kembali dirasakan olehnya. Tepukan berulang di punggungnya, membuat ia merasa tenang. Alvan merasa kembali ke rumah.
Sementara itu, Altana berusaha untuk tidak mengeluarkan suara tangis dengan menggigit bibir bawahnya, kemudian menyapu cepat air mata yang mengalir. "Gue nggak akan bosen ngingetin ini ke lo. Nggak perlu merasa bersalah dan berhenti nyalahin diri lo sendiri, Van. Buang overthinking lo jauh-jauh. Persetan dengan omongan orang, karena pada dasarnya gosip tetangga nggak akan ada habisnya," ucap Altana. Perempuan itu melepas pelukannya dari Alvan kemudian melanjutkan ucapannya, "lo cuma butuh mental yang kuat buat menghadapi semua itu. Kalau ada sesuatu yang mengusik pikiran lo, cerita. Dipendam tanpa adanya penyelesaian, hasilnya bakalan sia-sia."
Alvan mengusap air matanya dengan menunduk. "Maaf-"
"Sekali lagi lo minta maaf, gue nggak akan mau ngomong sama lo lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
ILLEGIRL
Roman pour Adolescents"Kenapa lo manggil gue dengan sebutan illegirl?" "You're so cruel, because my heart become dangerous when I saw your smile, and that's a crime. So, I call you illegirl." © copyright 2017 by trooyesivan.