42. Kabar Duka

4.2K 537 47
                                    

“Patah hati terbesar seorang perempuan itu adalah saat ia harus di tinggal pergi oleh cinta pertamanya.”

—Indira Allaya


******

Malam cukup sunyi diisi oleh suara di balik pantri dapur yang terdengar nyaring. Dilihatnya seorang gadis cantik tengah bergelut dengan peralatan dapurnya. Dengan bahan-bahan seadanya, Indira mencoba memasak menu makan malam untuk orang rumah.

Di meja makan yang terbilang kecil, masakan itu sudah di sajikan dan tertata rapi. Ada tahu dan tempe goreng, sayur asam, ikan asin, juga sambal. Kali ini, Indira harus membiasakan diri untuk hidup sederhana. Yang tadinya hidup mewah, setiap hari makan enak. Kini, makan pun hanya seadanya.

“Maaf, ya, Dira cuma bisa masak ini. Indira nggak punya uang sama sekali,” ujar Indira menunduk.

“Ayah yang seharusnya minta maaf sama kamu Sayang. Gara-gara Ayah, hidup kamu sama Bang Dika jadi susah,” omong Alfi menatap kedua anaknya nanar. “Nak Aksa, maaf, ya, makan malamnya hanya seadanya,” ujarnya kembali pada Angkasa.

Ya, Sedari tadi Angkasa tidak kunjung pulang. Laki-laki itu masih setia membantu Indira untuk merapikan semua barang-barangnya.

“Enggak pa-pa, Om. Ini semua udah lebih dari cukup. Kita harus bersyukur, di luar sana masih banyak orang yang kelaparan,” jawab Angkasa. Indira tersenyum melihat kebijakan dari sosok kekasihnya. Namun sayang, sampai sekarang Indira belum bisa mencintai Angkasa. Hal itu yang membuat Indira merasa bersalah.

“Ayo, kita makan,” ajak Indira.

Dengan makanan yang terbilang sangat sederhana, mereka menikmati acara makan malam tersebut dengan nikmat. Jika di bilang, mungkin menunya hanya sederhana. Akan tetapi, dengan kebersamaan yang seperti ini, semuanya terasa menjadi sangat lebih mahal.

Tidak ada yang membuka suara dalam acara makan malam ini. Semuanya tampak hening dan larut dalam makannya masing-masing. Sampai di mana mereka semua menyelesaikan makanannya sampai habis.

“Ra, aku bantu, ya,” ucap Angkasa saat Indira membereskan piring-piring kotor tersebut. Indira menggeleng menolak, dirinya tidak ingin terus-terusan menyusahkan Angkasa.

“Enggak perlu, Kak. Kakak mending duduk sama Ayah dan Bang Dika. Biar Dira yang cuci piring,” tolak Indira. Angkasa menghela napas, dan mengangguk.

Indira kembali ke pantri dapur, sementara Angkasa tengah bercengkerama hangat dengan Alif dan Dika. Jika Indira memiliki kemampuan untuk merubah segala hal, Indira hanya ingin membalas perasaan Angkasa. Indira ingin sekali mencintai Angkasa. Namun, untuk saat ini rasa cinta itu belum tumbuh.

Baru saja Indira selesai, dan menghampiri mereka. Dika—abangnya—langsung beranjak berdiri dan berpamitan pada mereka semua.

“Dek, jagain Ayah, ya. Abang mau keluar sebentar,” ujar Dika pada Indira.

Indira menautkan kedua alisnya bergabung. “Loh, Bang Dika mau ke mana?”

“Abang ada urusan sebentar. Enggak lama kok.”

“Ya udah, Abang hati-hati, ya.”

“Duluan, Sa,” pamit Dika pada Angkasa. Angkasa hanya mengangguk kecil.

Laki-laki itu pergi menggunakan sebuah taxi yang sudah ia pesan tadi. Tidak ada lagi fasilitas seperti mobil dan motor yang biasa ia pakai. Kini, Dika harus mengandalkan sebuah jemputan umum seperti taxi. Dika sengaja tidak memberi tahu ke mana ia akan pergi. Tujuannya sekarang, Dika ingin meminta pekerjaan pada salah satu teman kampusnya. Dika tidak bisa berdiam diri saja, melihat adik dan ayahnya hidup susah. Sebagai anak pertama, Dika memiliki tanggung jawab yang besar.

SATRIA Or ANGKASA (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang