Length—ficlet
.
.
.
Ada lebih dari 7 milyar manusia di bumi.
Tahun telah berganti, pada bulan pertama yang belum habis 30 hari, dan 7 itu hanyalah sebuah angka tidak puguh. Mungkin, sebetulnya, dalam dua jam terakhir telah lahir 200 bayi yang menambah nominal tersebut.
Lantas apa poinnya? Itulah poinnya.
Menyadari bahwa bukan kamu yang istimewa di dunia ini; apakah itu jadi fakta yang menyedihkan atau sekadar hal lumrah yang patut dimaklumi?
Bagaimana supaya kita jadi bagian yang berharga setidaknya dari sepetak kehidupan yang mampu diraih dalam jangkauan tangan?
"Mari kita menjadi spesial kepada satu sama lain. Hanya kamu dan aku."
Kurang dari sepuluh hari, bulan Januari akan segera berakhir. Kebanyakan orang-orang—para pemuda-pemudi yang berlagak telah merasa dewasa atau mereka yang masih polos—menyambut tahun baru itu dengan antusias. Mereka kira ini saatnya memperbaiki kepingan momen yang buruk atau tidak sempat mereka raih.
Buatku sendiri, apa yang sejatinya tengah kuraih?
"Hidup ini membosankan jika kamu sendirian." tiap kali dia bicara, kepulan asap akan keluar dari sela bibirnya. Itu bukan karena kekontraan antara suhu di musim dingin dengan tubuh dalamnya yang hangat—mungkin wajarnya begitu—itu dari asap yang dia hisap dan putar balikan dari paru-paru dan keluar lewat mulutnya. Bekas tembakau terbakar selalu menyesakkan namun tinggal lama dengannya membuatku membiasakan diri.
Entah sekadar membiasakan diri rokok-rokoknya setiap hari atau justru sosoknya sendiri.
"Karena kamu pernah bilang; kamu berjuang untuk dirimu sendiri, tapi lambat laun kamu mulai merasakan kekosongan akibat kesendirian. Bukankah itu sama seperti orang munafik? Kamu pikir itu akan baik-baik saja, tapi nyatanya kamu merindukannya. Merindukan potongan kehidupan yang kosong."
Dia lebih muda dariku. Seringnya dia mengatakan omong kosong yang mulanya membuatku jengah namun kini tiap kata dari ucapnya seperti sebuah kesadaran atas pemikiranku yang menyimpang.
"Kalau kamu tidak bisa mati, maka berikan saja hidupmu untukku dan akan kuberikan milikku padamu."
Aku tertawa atas kesimpulan yang sederhana itu. Tawaku bukan jenis jenaka dan bukan pula respon pada hal konyol. Lagipula, udara dingin di luar membuat tenggorokanku cepat terjepit jadi tidak mampu tertawa dengan bunyi yang panjang.
Itu sesuatu yang mungkin, kataku, asal aku tidak ketagihan menyakiti diri.
"He, bukankah alasan mencakar atau memukul tanganmu sendiri karena kamu tidak punya pelampiasan yang lain? Coba berikan itu padaku—"
Aku menyelanya dahulu, kalau aku memberikannya padamu, maka kamu yang justru akan merasa sakit.
"Tidak mengapa," dia melemaskan punggungnya pada sandaran sofa lapuk dan kakinya yang semula terlipat di atasnya dia luruskan. "ketika kamu mulai tidak sadar diri, aku bisa menciummu seketika supaya berhenti."
Hergh, itu bukan ide yang bagus. Kamu harus mencium seseorang yang paling ingin kamu kucium—dan, jangan bilang kalau kamu ingin menciumku.
"Yah, kurasa, kalau itu kamu tidak masalah." dia menghisap rokoknya kembali. "Tapi mungkin masalahnya ada padamu. Aku merokok dan kamu mungkin tidak tahan dengan itu."
Entahlah...
Pikiranku tiba-tiba melayang. Pada langit biru kusam yang perlahan menguning terang secara horizontal. Naiknya warna kuning itu ada karena waktu. Mereka seperti bilang; hei, matahari akan semakin tinggi dan hentikan obrolan tidak berguna itu dan bersiaplah untuk aktivitas seharusnya.
Lucu sekali.
"Terima kasih Soobin, aku memang lucu."
Aku menoleh cepat, menatapnya tidak percaya. "Bukan kamu yang kumaksud."
"Aku tahu, tapi kalau aku tidak bilang begitu maka kamu akan semakin lama bertahan di sini. Bukankah kamu tidak tahan dingin?"
Iya sih, aku pun tak tahu mengapa. Bagaimana bisa aku bertahan berlama-lama diluar ruangan tanpa banyak mengeluh kedinginan.
Mungkin aku memang sedang membutuhkannya sekarang. Seperti yang Beomgyu bilang soal pengalihan, mungkin itu juga yang tengah kulakukan tanpa sadar.
Kala Beomgyu berdiri, dia menghabiskan sisa rokoknya sebelum menyentilnya dan menginjaknya.
Tangannya terulur padaku, meski pun enggan, aku menerimanya membantuku beranjak. Kami akhirnya meninggalkan atap dan kembali ke kamar untuk bersiap. Kami sama-sama memiliki kelas perkuliahan. Aku punya sisa waktu dari petang sampai tengah malam sesudahnya untuk menyalahkan diri, waktu yang sama dengan pekerjaan paruh waktunya.
"Soobin,"
"Apa?"
"Soal itu tadi," dia menyisipkan jeda sebelum menolehkan kepalanya menatapku. "kamu boleh menciumku."
[22-01-2021]
A month in 2021 and i already tired
KAMU SEDANG MEMBACA
Serendipity ╏ SooGyu ✓
Fanfiction[one-shots collection] Serendipity; (n.) finding something good without looking for it