Elf

1K 96 8
                                    

Length—ficlet

.

.

.

Tepat saat Soobin menyingkirkan buku yang menutupi wajahnya dan matanya terbuka, sinar matahari langsung menyorot menyilaukan. Wujudnya yang tunggal kokoh bersembunyi di balik awan—anehnya membentuk semburat jingga.

Tubuh Soobin bangun duduk dari posisi tidurnya, membiarkan bukunya terjatuh di samping tubuhnya. Dia menoleh dan menemukan sosok lain berjarak kurang dari satu meter darinya. Terkejut menatap ke padanya di hamparan rerumputan hijau dan aliran sungai di depan.

"Ah, a-aku—tidak—kau melihatku?!" sosok itu menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Soobin pikir, harusnya bukan wajah kemerlap seperti sparkle yang perlu ditutupinya, melainkan sepasang telinga yang lebih panjang daripada miliknya dan terlihat lancip di ujungnya.

Kepalanya membentuk tanya akan sosoknya yang disebut lain di dunianya. Soobin menoleh ke sekelilingnya dan menatap lagi langit di atas kepalanya. Ah, pantas saja. Dia telah terbawa jauh dari dunianya dan sosok asing di depannya itu tidak asing kehadirannya di sini.

Menyadari tidak mendapat respon, sosok tersebut mengintip dari sela jarinya. Sepasang pipinya yang kecil tapi bulat memunculkan ruam kemerahan yang lembut.

"K-kau siapa?"

"Ah, iya, aku Soobin—kau bisa memanggilku demikian. Kau sendiri siapa?"

"A-aku elf."

"Aku tahu, maksudku—namamu siapa?"

"Kau tahu kalau aku elf?"

"Ya, begitulah."

"Kau bisa melihatku?"

"Uh-hm."

Akhirnya sang elf menurunkan kedua tangannya dan Soobin bisa melihat keseluruhan wajahnya. Bola mata berpendar, sepasang alis hitam melengkung simetris, bulu mata lentik, kedua pipi memerah, juga sepasang bibir kecil yang membentuk senyum lebar mencerahkan. Apakah seorang peri memang seindah ini? Iya, atau mungkin hanya sosoknya seorang.

"Jadi—siapa namamu?" Soobin mengulang tanyanya. Setidaknya jika dia tiba-tiba kembali ke dunianya atau sang elf yang tiba-tiba menghilang, Soobin punya sepotong memori yang bisa digunakan untuk mengenang.

Tapi sang elf justru menatap Soobin bingung dengan kepala yang di miringkan. "Nama? Apa itu? Entahlah, belum pernah ada yang memanggilku selain 'Dia elf', 'sang elf', 'hei elf'. Seperti itu."

Ah iya, Soobin mencoba mengerti hal itu. Jadi dia menganggukkan kepalanya.

"Hei, apa nama itu sesuatu seperti namamu 'Soobin' bukan 'kau Soobin'?"

"Uhm, yah, seperti itu."

"Wah! Apa aku bisa mendapatkan sebuah nama seperti 'Soobin' juga?"

"Ya, tentu..." dengan jawaban seperti itu, artinya Soobin harus memberikan sebuah nama untuk sang elf—yang kini sedang mengangguk-anggukan kepalanya sambil bergerak-gerak kecil di tempat. Sang elf penasaran dan ingin mendekati Soobin, tapi dia juga terlalu takut untuk mendekat dan hanya membuat gerakan penuh perhatian.

Soobin berpikir, mengira-ngira nama apa yang cocok sambil memandang sekeliling. Seketika netranya beralih pada buku di samping tangannya. Dia ingat nama salah satu tokoh cerita di buku tersebut. Seorang anak lelaki berambut kecoklatan, sangat bersemangat seperti anak anjing, penuh rasa antusiasme dan sangat menyayangi orang-orang di sekitarnya, dan hidup diberkati oleh kasih dan keberuntungan. Choi Beomgyu.

"Beomgyu, namamu Beomgyu." Soobin menunjuk sang elf, memberikan nama secara sepihak, kemudian Soobin menunjuk dirinya sendiri. "Namaku Soobin, dan kau Beomgyu."

Sepasang mata itu, ya. Sepasang iris coklat terang itu mengerjap. Memantulkan binar yang tidak bisa dan tidak akan pernah Soobin lewatkan untuknya.

"Namaku Beomgyu!" sepasang telinganya berkedut memancar suka cita.


***


Soobin berkedip. Lagi, untuk kedua kalinya matanya dihadapkan dengan sorot pantulan sinar mentari ketika matanya terbuka. Dia menoleh dan bergerak.

"Oh, shit." Soobin mengangkat satu kaki dan celana panjangnya yang basah. Kini tubuhnya berdiri tepat di tengah-tengah aliran sungai setinggi mata kaki. Airnya berwarna biru muda kemilau. Membias dari batuan kecil di dasarnya. Ditambah sinar matahari membuat pantulan di tiap alirannya.

Pada akhirnya, Soobin membiarkan sepasang kaki dan ujung celananya yang basah. Netranya menatap jemari kakinya yang bergerak menyentuh bebatuan kecil. Kilau di bawah kakinya begitu indah untuk disalahkan.

Samar-samar, telinga Soobin menangkap suara kecemplung air di belakang punggungnya.

Soobin menoleh dan menemukan sepasang telinga lancip yang berkedut pelan.

"Beomgyu—"

"Soobin!" Beomgyu berlari di atas air dengan kaki telanjang. Membuat jejak kaki mortal dan butir air yang berloncatan di sekitarnya.

Beomgyu memeluk Soobin. Melingkarkan kedua lengannya di sekitar pundak dan leher. Wajahnya mencium dada Soobin yang tertutupi kain aneh baginya. Tapi tidak masalah, karena yang Beomgyu butuhkan adalah sosok Soobin, bukan apa yang ada padanya. Bahkan jikalau pun Soobin datang tanpa sehelai kain pun menutup, Beomgyu akan tetap berhambur padanya dengan binar di seluruh tubuhnya.

Oh, astaga... Soobin menahan tubuhnya dengan turut memeluk Beomgyu. Dia tidak ingin jatuh di atas sungai dan menyebabkan sebagian besar tubuhnya basah.

"Kupikir aku tidak akan pernah melihatmu lagi." Beomgyu memeluknya begitu erat. Soobin kira itu akan membuat tubuhnya tercekik karena Beomgyu dengan kekuatan elf-nya yang tidak diketahui secara nyata. Tapi tidak. Kilau di seluruh tubuh Beomgyu seakan ikut merengkuhnya penuh kerinduan dan suka cita.

Aku pikir juga begitu... Harusnya itu yang Soobin ucapkan, tapi kedua lengannya justru mendekap semakin kokoh.

"Aku datang lagi untukmu, Beomgyu."

Beomgyu mengusap-usapkan tubuhnya pada Soobin sebelum mengangkat wajahnya. Bertukar tatap dengan Soobin. Beomgyu memberikan sepasang mata yang tidak akan pernah bisa Soobin lupakan. Kilau itu menarik Soobin secara keseluruhan tanpa bisa Soobin ingat untuk berpaling. Mereka seolah mampu mencium setiap detil wajah Soobin dengan kerinduan dan kasih sayang.

Dan kini bukan lagi seolah-olah dengan rasa manis pada bibirnya. Ingatannya itu akan membekas kuat ketika Soobin kembali membuka kelopak matanya dan menemukan dirinya seorang diri menatap kumpulan buku yang sebagian besar tersusun rapih di rak buku, sisanya menumpuk di tiap sudut dan bercecer di lantai kayu dengan kondisi terbuka di halaman acak. Bukan mimpi, tapi eksistensinya bukan pula bagian dari kenyataan.

Soobin memijat pangkal hidungnya dengan jemarinya sambil terpejam, seraya dalam dirinya tengah mengakusisi pikirannya.

Soobin memijat pangkal hidungnya dengan jemarinya sambil terpejam, seraya dalam dirinya tengah mengakusisi pikirannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Serendipity ╏ SooGyu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang