7. The Good News

502 55 2
                                    

Namun, aku tidak bisa mencegah rahangku mengeras mendengar kata-kata Lola yang merendahkan. Untung aku masih sadar untuk tidak membalas. Lorong ini cukup ramai oleh mahasiswa. Aku tak ingin mempermalukan diri karena membuat keributan.

Aku hampir bergerak untuk meninggalkannya ketika Lola melanjutkan, "Eh, tunggu Nay! Mau ke mana? Cari Agra? Dia lagi sibuk cari tempat buat kita dinner nanti malam. O, pasti dia belum bilang, kalau aku sekarang juga pacarnya. Tunggu aja, sebentar lagi dia pasti mutusin kamu."

Aku mematung kaku.

"Dan satu lagi. Utangmu masih banyak. Yang dua hari lalu kamu kasih, belum seperlimanya."

Ingin kumerobek mulutnya agar berhenti melontarkan kata-kata berduri itu. Teringat sebagian besar barang yang dibeli dari uang bayaran membuatkan makalah, aku jual kembali. Tentu dengan harga jauh lebih murah. Dengan maksud memperlihatkan iktikad baik membayar sebagian dulu, walaupun baru sedikit. Ternyata dia tak menghargai sama sekali usahaku ini. Cairan panas meletup-letup dan mengalir buas sampai ke ubun-ubun. Kalau saja ada cermin di hadapan, pasti terlihat asap mengepul-ngepul dari kepalaku.

Untung saja seseorang menepuk bahu. "Nay! Selamat ya. Kamu terpilih jadi peserta lomba karya ilmiah. Keren. Rekor nih. Baru kamu yang bisa ikut di tahun kedua."

Segera aku menuju papan pengumuman, saat dia mengatakan mengetahui kabar tersebut dari sana. Walaupun sudah dikabari sebelumnya, aku tetap merasa senang. Letupan cairan panas segera mereda dan menyusut kembali ke dada. Apa lagi beberapa teman lain di dekat papan pengumuman memberikan selamat juga.

Sayangnya, tak lebih dari semenit kemudian bahu ini menurun. Aku memejam sambil menarik napas dalam menahan agar cairan panas tadi tak meletup-letup lagi. Tertulis di sana Atharauf Rafka Abimanyu, sebagai pembimbingku. Tidak hanya itu, nama Panca juga tertulis di kelompok yang sama.

Benar-benar sempurna! Ya Allah, beri kesabaran yang banyak untukku.

Aku harus protes kepada Pak Ilham. Masih jelas di kepala ketika Beliau menjanjikan dirinya menjadi pembimbingku beberapa waktu lalu. Saat itu aku sedang melewati ruang dosen dan Pak Ilham, dosen favorit karena selalu menarik setiap pemberian kuliahnya, keluar dari ruang tersebut.

Bukan berarti kuliah-kuliah Kang Abimanyu tidak menarik. Malah sangat menarik, karena sering diselingi oleh tayangan video atau lagu sesuai materi. Dia juga membantu mahasiswa dengan memancing kemampuan kami melalui berbagai pertanyaan saat kesulitan memahami materi karena misalnya sumber bacaan dari buku teks tebal berbahasa Inggris yang agak sulit dipahami. Sayang, sikap terlalu tegas yang mengarah kepada galak, membuat nilainya berkurang dibandingkan Pak Ilham.

Setelah aku menyapa sopan, Pak Ilham mengatakan, "O iya, Nay. Kamu diikutsertakan lomba karya ilmiah nasional tahun ini. Cuma kamu dari angkatanmu. Ada lima orang lagi dari angkatan atas. Nanti saya yang jadi pembimbing kamu. Tunggu saja pengumuman resminya."

Aku tersenyum lebar sambil berterima kasih kepada dosen favorit itu. Siapa yang tak senang, keinginan sejak tahun lalu terkabul. Memang semester kemarin, aku sempat menyampaikan keinginan itu kepada beliau. Rupanya dipertimbangkan juga. Padahal biasanya baru tahun ketiga, mahasiswa diperbolehkan mengikuti lomba tersebut. Bisa sekalian untuk memulai skripsi. Makin senang karena pembimbingnya Pak Ilham sendiri.

"Makan tuh, Kang Abim!" Tawa mengejek Lola tiba-tiba terdengar dari belakang, menguapkan kenangan itu.

Kubuka mata dan menoleh siap membalas kata. Namun, dia sudah berjalan menjauh. Aku tak ingin berteriak. Tidak mau membuat diri ini malu. Aku segera memutuskan mencari Agra untuk memastikan kebenaran kabar yang dikatakan Lola dan berharap hanya halusinasinya saja. Selama sejam aku mencari ke semua tempat di kampus yang biasa dia datangi, tetapi tak kutemukan. Bahkan beberapa kali panggilan Line maupun telepon, tidak diangkatnya. Pesan Line-ku juga tak berbalas. Apa dia sengaja menghindar?

Aku jadi curiga apa yang dikatakan Lola benar. Badanku mulai gemetaran memikirkannya. Setelah terpaku beberapa saat, aku memutuskan untuk pulang. Lagi pula matahari sudah meluncur ke Barat. Lebih baik menenangkan diri di rumah dan mencoba lagi esok hari.

Sekarang, sejam kemudian, aku membalikkan badan terlentang menatap langit-langit kamar yang sudah tak putih lagi wananya. Menarik napas dalam beberapa kali dan berharap sesak itu pergi.

Tiba-tiba nada panggilan ponsel berbunyi. Aku tersentak. Badan mendadak gemetar dan dada dipenuhi bola tenis yang memantul-mantul saat menebak kalau itu dari Agra. Aku membayangkan dia terkejut melihat pemberitahuan panggilan Line dan teleponnya berjumlah di atas dua puluh kali sebelum tergopoh-gopoh menghubungiku.

Tanpa melihat nama yang terpampang di layar lebarnya, aku segera menyapa dengan nada sengit, "Gra! Kamu ke mana aja, sih?! Dicariin di kampus enggak ada! Ditelponin enggak diangkat! Di-Line enggak bales! Kamu anggap aku laptop Angga?! Yang cuma dipinjam pas lagi enggak bawa punya sendiri dan butuh mendadak?!"

Sosok Angga, sekretaris BEM yang rajin membawa laptop ke kampus sekaligus sahabat Agra, berkelebat sejenak di pikiran.

"Naaayyyy! Lo kenapa? Siapa itu Gra dan Angga?" Suara perempuan yang menjawab, terdengar riang.

Aku membelalak.

* Bersambung *

From One RequestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang