2. Give Our Money Back!

965 87 6
                                    

"Naya!" Kang Abimanyu mengambil selembar kertas dari folder di rak pendek tidak jauh dari kursinya.

Napas ini tertahan sejenak, menduga-duga isi kertas itu yang tentunya hukuman untukku.

"Kamu bikin dua makalah dengan tema-tema ini!" Kang Abimanyu menyodorkan selembar kertas ke hadapanku.

Aku membaca sekilas kertas itu. Tertulis satu tema yang kuminati untuk masing-masing mata kuliahnya. Aku menatap wajah yang masih kaku di hadapan. Ini bukan hukuman yang dikhawatirkan. Tadinya kupikir, aku tidak diizinkan lagi ikut kelasnya atau minimal nilaiku mentok di C.

"Tiga hari! Kalau lewat atau jelek makalahnya, kamu mengulang saja dua kelas saya di tahun depan!"

Aku terkesiap. Bagaimana mungkin aku mengerjakan dua makalah dalam tiga hari? Sementara Lola dan Fira diberi waktu dua minggu untuk empat makalah? Benar-benar tidak adil!

Aku masih harus menyelesaikan laporan panitia ospek. Belum lagi persiapan untuk acara penutupan ospek yang akan digelar empat hari lagi. Aku kadung janji kepada Agra untuk membantu apa pun yang dia minta agar acara berjalan lancar.

"Jangan tiga harilah, Kang. Seminggu aja, boleh, ya?" Aku berusaha memasang wajah sememelas mungkin.

Namun, sepertinya wajahku terlihat menyebalkan bukan memelas bagi Kang Abimanyu. Dia malah mengancam, "Atau mau dua hari aja?!"

Dengan bahu melorot aku menarik napas panjang perlahan.

* * *

"Nay!"

Seseorang menarik tanganku dan membuat langkah ini berubah arah mendekat padanya. Saat itu aku baru saja melewati sudut koridor menuju pintu gedung B lokasi ruang dosen prodi Hubungan Internasional, prodiku.

"Kamu gimana, sih?! Kok bisa sampai ketahuan gini?"

Lola menatapku tajam. Suaranya ketus.

"Duh! Sorry! Aku enggak sengaja."

"Alah! Kamu sengaja kali! Biar kita malu dan terlihat jelek di depan Kang Abim dan orang-orang!" Suara dan tatapan Fira tak jauh berbeda dari Lola.

"Iya bener! Kok gitu? Padahal kita udah naikin bayarannya tiga kali lipat. Kamu ada masalah sama kita?" Makin ketus suara Lola.

Bayaran besar ini yang membuatku menerima permintaan mereka membuatkan tugas makalah lagi untuk kelas Kang Abim dua minggu lalu. Sudah kubilang kan tadi, kalau aku sedang butuh dana yang tidak sedikit?

"Eh, ini beneran! Enggak sengaja! Sorry! Buat apa juga aku sengaja ngelakuin itu?" Aku masih berusaha meyakinkan mereka.

"Sengaja dia, La! Pasti! Kayaknya ada hubungannya sama Agra! Agra kan sebenernya suka sama kamu, La. Sejak kita masuk kampus ini. Tapi kamu cuekin, jadilah mau sama dia."

"O, jadi gitu?! Ini masalah cowok?! Malu-maluin! Memangnya aku yang salah! Memangnya aku yang sengaja dan ngerayu-rayu dia supaya dia mau sama aku?! No way! Lagian aku enggak tertarik sama dia! Kamu kan lihat, aku enggak pernah balas salamnya tiap kamu bilang ada salam dari dia!"

Aku tertegun. Seonggok bara api hadir. Tentu saja aku mengakui Agra sempat menyukai Lola. Namun, aku yakin sekarang tidak lagi. Buktinya dia sudah jadi pacarku. Memang baru dua hari lalu dia menyatakan perasaaan.

Peristiwa yang benar-benar tidak kusangka terjadi secepat itu. Rasanya belum lama aku mengubah penampilan dengan lebih sering menggunakan rok lebar, wedges, dan memoles tipis make up di wajah.

Tiba-tiba saja dua hari lalu di salah satu sudut ruang BEM Fakultas, Agra mengatakan, "Nay, aku suka kamu. Kamu belum punya pacar, kan? Mau jadi pacarku?"

Selama semenit aku terpaku. Mungkin wajahku terlihat lucu karena Agra tertawa kecil. Atau jangan-jangan dia menutupi salah tingkah. Belum pernah aku melihat dia seperti itu sebelumnya. Agra selalu tampak percaya diri dan keren. Pipiku menghangat memikirkan itu. Detak jantung yang menguat sejak dia mendekatiku, makin terasa kencang.

Sebenarnya aku ingin jaga image dulu. Tidak mau terlihat kepengin banget jadi pacarnya. Hanya saja, manik mata cokelat tua itu begitu lembut menatapku. Juga senyum yang menggantikan tawa kecil tadi dan selalu membuat terpana seolah memantraiku. Bagaimana aku bisa menolak? Dia menjelma menjadi cowok terganteng dan terkeren sedunia.

"Tuh kan benar, La. Senyum-senyum kayak gitu. Pasti sengaja buat balas dendam sama kamu."

Kenangan membahagiakan itu menguap dari pikiranku setelah mendengar kata-kata Fira. Ingin memakinya karena memanas-manasi Lola terus, tetapi yang terucap malah kata-kata ini.

"Aku enggak sengaja! Sumpah! Ngapain juga bikin ketahuan? Aku enggak rela nama baikku tercemar. Belum pernah aku semalu tadi di depan dosen! Kalian pikir cuma kalian yang dihukum? Aku juga. Kalian dikasih waktu dua minggu buat empat makalah. Aku cuma tiga hari buat dua! Bayangin! Eh terus, ini enggak ada hubungannya sama Agra!"

Mereka tetap bilang tidak percaya. Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan tentang ini. Justru kata-kata terakhir mereka yang membuatku sangat bingung.

"Ya terserah, deh! Kalian mau percaya apa enggak. Udah, ah! Aku mau ke BEM! Ada kerjaan yang belum kelar. Mesti cepet pulang juga, buat ngerjain makalah." Aku bergerak bermaksud meninggalkan mereka.

"Eh, tunggu!" Tangan Fira menahan gerakanku. "Balikin semua bayaran kita! Kamu enggak bantu kita sama sekali. Malah bikin kita bermasalah! Mestinya dua kali lipat balikinnya!"

Badanku terasa membeku.

Darimana aku punya uang untuk mengembalikannya?

Tertatap segera rok lebar dan Sketcher yang kupakai, dua barang yang ikut menghabiskan bayaran itu.

* Bersambung *

From One RequestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang