3. Too Early

809 78 2
                                    

Senyum Agra menipis setelah mendengar alasan kenapa aku tidak jadi banyak membantu persiapan acara penutupan panitia ospek.

"Kenapa juga pake bikinin makalah buat mereka? Udah tahu Kang Abim galak kayak gitu." Suara Agra tak sepelan suaraku.

Aku melirik tiga teman laki-laki jurusan lain yang sedang berbincang agak jauh dari kami. Jadi ingat mereka membuat pipiku menghangat saat masuk ke ruang ini dan langsung mendekati Agra. Kata-kata menggoda dari ketiganya membuat Agra tertawa kecil. Terasa nuansa tersipu-sipu di tawanya. Berpuluh kupu-kupu segera beterbangan mengelilingi dada. Baru dua kali aku merasa Agra seperti itu sejak dia mulai lebih memperhatikanku. Sekarang aku khawatir mereka mendengar percakapan kami. Aku tidak ingin banyak orang tahu peristiwa dengan Kang Abimanyu tadi.

Masih mengamati kedua teman itu, aku memikirkan jawaban yang tepat. Aku tak mungkin bilang, 'Supaya bisa tampil cantik dan anggun kayak sekarang. Biar kamu tetap setia'. Tak ingin dia tahu kalau aku begitu takut ditinggalkan.

Sebetulnya pertanyaan itu sudah terpikirkan saat berjalan menuju ruang BEM. Hanya saja sampai saat ini belum tahu jawaban apa yang terbaik. Aku mau bilang membantu teman, kenapa pula hanya mereka berdua yang dibantu. Bilang setia kawan, mereka bukan kawan dekat. Kalau bilang kasihan, kenapa baru sekarang membantu mereka. Aku jadi bingung.

"Kenapa, Nay?"

"Euuhh ... aku enggak bisa nolak, mereka maksa." Suaraku makin pelan walaupun sedikit lega karena tidak berbohong. Aku tidak bisa menolak karena butuh bayarannya, kan? Mereka juga memaksaku sewaktu terakhir minta dibuatkan.

"Kamu harus belajar bilang enggak, Nay. Iya, aku tahu, bikin makalah kayak gitu, gampang banget buat kamu. Tapi kan sayang, waktu sama tenaga kebuang gitu aja. Dimarahi sama Kang Abim pula. Belum lagi sekarang mesti bikin makalah tambahan."

"Iya, maaf. Lain kali enggak lagi." Aku khawatir melihat senyum Agra hampir menghilang. Juga nada suaranya yang terdengar mulai kesal.

"Kamu bikin repot aja. Aku mesti cari orang lagi buat ganti kerjain tugas-tugas kamu." Agra menatap jendela di sebelah kanan ruang BEM. Keningnya berkerut.

Lima menit kemudian, dia mulai melakukan panggilan Line, meminta beberapa anggota panitia ospek untuk mengerjakan tugas-tugas yang seharusnya kulakukan.

Kupalingkan wajah ketika dia mengatakan dengan gusar kepada teman kedua yang dikontaknya alasan kenapa meminta panitia itu melakukan tugas tersebut. Aku menarik napas panjang perlahan saat dia mengatakan hal sama kepada panitia ketiga.

Kutatap kembali Agra dan memotong perkataannya sewaktu mengatakan kepada teman keempat, "Kamu bisa bantu selesaikan laporan panitia, Ros? Nay enggak bisa selesaikan. Dia mesti bikin ...."

"Kalau laporan bisa aku selesaikan, Gra." Aku tidak suka Agra mengatakan alasan sesungguhkan kepada mereka. Aku malu ketahuan membuatkan makalah itu. Apa lagi kalau mereka tahu alasan sebenarnya.

Agra melirik. Lengkungan ke atas yang kusuka belum terlihat menghiasi bibirnya lagi. "Beneran?"

Aku mengangguk berusaha memberikan senyum termanis. Dia membalas sangat tipis. Langsung terbayang nanti malam, besok, dan lusa, aku begadang mengerjakan makalah. Namun, tidak masalah, asalkan dia tersenyum lagi. Senyumnya membuatku merasa lebih hidup. Aku tak ingin kehilangan itu.

"Mau pulang sekarang, Nay?" Agra memasukkan ponsel ke saku jaket hitamnya.

"Selesaikan dulu laporan." Aku melangkah menjauhinya menuju meja di dekat rak yang menempel dinding, tempat terjauh dari pintu masuk ruang BEM. Sebelum duduk di salah satu kursi yang tersedia, aku mengeluarkan laptop dari tote bag.

"Aku enggak bisa nganter pulang sampai Asar. Perlu ketemu Kang Arul jam dua nanti." Kudengar suara langkah Agra menjauh setelah dia pamit ke toilet.

Aku mengiyakan. Kang Arul adalah salah seorang dosen dari jurusannya yang bertanggungjawab atas semua aktivitas mahasiswa di fakultas kami.

Setelah hampir satu jam bercengkerama dengan laptop, aku meluruskan punggung dan melirik jam di kanan atas layar. 12.17. Tinggal bagian penutup, berarti sebentar lagi selesai. Bahuku terasa lebih ringan.

Aku hampir memijit salah satu tombol huruf laptop ketika seseorang menyapa, "Lagi apa, Nay?"

Panca, teman sejurusan setahun di atas, menarik kursi kosong di sebelahku dan meletakkan bokongnya di sana. Aku hanya melirik sejenak tanpa menjawab dan melanjutkan memijit tombol-tombol laptop.

"Nay! Kok enggak jawab?"

Aku masih diam.

"Lagi ngerjain makalah punishment dari Kang Abimanyu?"

Aku tetap diam. Rupanya dia sudah tahu. Tapi, apa sih yang dia enggak tahu tentang aku? Setiap ketemu dia kerap mengatakan kondisiku dengan tepat. Bikin kesal aja! Entahlah dia tahu dari mana! Tak sadar aku menelan tombol laptop lebih keras. Membuat suaranya terdengar lebih jelas.

"Eh, bukan ya? Laporan panitia ternyata."

Dengan sudut mata aku melihat kepala Panca mendekat, sepertinya ingin melihat lebih jelas layar laptopku.

"Tapi, itu beneran? Kang Abim marahin lo dan kasih tugas bikin dua makalah yang mesti selesai tiga hari?"

Jari-jari tangan makin cepat menekan tombol-tombol laptop. Tiba-tiba aku salah mengetikkan kata. Kuhapus kemudian memperbaiki. Baru beberapa kata kembali melakukan kesalahan.

"Nay! Gue bantu ngerjain makalahnya, ya ...."

Apa?! Typo lagi! Ya Tuhan ... Pancaaaaa!!!

"Apaan, sih?! Ganggu banget, tahu enggak! Kapan selesainya kalau kayak gini!" Aku mendesis ketus.

"Eh, sorry Nay! Gue cuma pengin ban ...."

"Sana, ah! Pergi! Jangan ganggu aku!" Kudorong Panca kuat-kuat.

Dia berdiri dan menjauh.

"Nay ...."

"Pergi!" Suaraku sudah tak mendesis, tetapi masih pelan tertahan.

Panca membalikkan badan dan melangkah pelan. Baru tiga langkah, dia berhenti dan membalikkan badan lagi menghadapku.

"Nay, lo terlalu cepat nerima Agra."

Gelegak air mendidih yang sejak dia datang mulai memenuhi dada, sekarang naik sampai ubun-ubun. Aku hampir mengatakan, 'jangan ikut campur urusanku!', ketika seseorang bertanya, "Ada yang lihat Agra, enggak?"

Kemudian mata seseorang itu menatapku, "Nay? Agra mana?"

"Tadi sih ...," kata-kataku terpotong.

"Dia lagi di kantin. Bareng Lola." Panca menjawab tanpa mengalihkan pandangan dariku. Tak lama dia membalikkan badan menuju pintu dan menghilang di baliknya.

Tubuhku membeku.

* Bersambung *

From One RequestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang