4. The Rumors

704 74 3
                                    

"Udah? Kamu kasih tahu dia?" Suara Lia yang duduk di sebelahku, terdengar.

Aku mengangguk. Aku baru saja mengirim pesan kepada Agra melalui Line yang mengabarkan bahwa laporan sudah diemailkan. Sekalian juga pamit pulang duluan sambil meminta maaf tidak bisa banyak membantu.

"Aku pulang sekarang aja, deh."

"Enggak nunggu balasan Line Agra? Mending dengerin dia dulu. Kalau iya duduk bareng Lola di kantin itu, dalam rangka apa."

Aku tidak menjawab, malah membuka aplikasi ojek online dan mulai memesan kendaraan tersebut. Barusan, Selama seperempat jam di gazebo samping Gedung C ini, aku bercerita dengan suara pelan tentang Agra kepada sahabatku itu. Lia lah yang kemudian membujuk untuk memberitahu Agra tentang email laporan yang baru saja selesai. Juga memintaku menanyakan keberadaan pacarku itu. Namun, aku tidak menuruti permintaan terakhirnya. Sudah jelas kan? Dia ada di kantin berduaan dengan Lola! Dadaku memanas lagi.

Belum selesai memesan ojek online, terlihat pemberitahuan panggilan Line di layar ponsel. Nama Panca membuatku mendecak sambil menolak panggilan tersebut.

"Lagian kamu belum makan siang, Nay! Aku juga. Kita makan dulu aja. Biar perut kenyang. Biasanya kita bisa lebih tenang mikir kalau lagi kenyang. Jadi enggak perlu ngomel kayak barusan."

Aku menoleh kepada Lia. Ingin protes atas kalimat terakhirnya. Namun, tidak jadi karena dia terlihat menerima panggilan telepon. Kualihkan kembali pandangan ke layar ponsel untuk melanjutkan memesan ojek online. Dada yang sudah memanas, sekarang terasa agak sesak karena Lia menuduhku mengomel.

Tapi siapa yang tidak kesal? Agra pamit ke toilet, tetapi ternyata malah berasyik-ria mengobrol berdua di kantin lebih dari sejam. Bahkan mungkin sampai sekarang. Aku belum melihat dia lagi. Terserahlah kalau dengan orang lain. Namun, aku tak bisa menerima kalau dengan Lola. Ajakan Lia makan siang juga tidak masuk akal. Berarti kami perlu ke kantin, kan? Aku tidak ingin bertemu mereka di sana.

Aku berdecak lagi melihat layar ponsel sudah tidak di aplikasi ojek online. Aku harus memulai dari awal lagi. Entah kenapa sudah beberapa kali mencoba aplikasi ojek online, tak berhasil. Duh! Kenapa hari ini sial melulu, sih!

Akhirnya aku menyerah, memutuskan untuk naik angkot saja. Aku memilih dua kali ganti angkot yang pasti bikin keringat membanjir. Namun, itu lebih baik daripada suntuk banget di sini. Toh aku bisa langsung mandi begitu sampai rumah.

Aku hampir berdiri ketika seseorang datang memberikan kotak putih yang masih hangat.

"Makan dulu, Nay," kata Panca terengah-engah. "Ini udah lebih dari jam dua. Biar enggak sakit."

Aku melirik Lia yang tersenyum manis. Jadi curiga, tadi dia menerima telepon dari Panca setelah aku menolak panggilan Line-nya.

"Buat kamu aja, Li. Aku entar aja di rumah." Aku berdiri.

"Ini buat Lia." Dengan tangan kiri Panca menyerahkan kotak lain yang sama kepada Lia. Tangan kanannya masih terangkat menyodorkan kotak makanan di depan dadaku.

"Ayolah, Nay. Makan dulu bentar di sini. Temenin aku." Lia segera menerima kotak tersebut. "Batagor kantin. Sukaan kamu."

Dari wanginya aku segera tahu saat Panca tadi menyodorkan kontak tersebut, kalau isinya adalah makanan favoritku. Membuat kuragu untuk menolak, tetapi malas menerima. Aku tidak ingin Panca merasa aku memberi harapan dengan menerima kotak berisi batagor itu.

Tanpa minta izin sebelumnya, Lia bergerak cepat. Dia menerima kotak dari Panca yang sedianya untukku, mengambil tote bag dari pangkuanku dan menyimpan di bangku bertegel keramik di antara kami. Lia membuka kotak makanan dan meletakkan kotak makanan di pangkuanku menggantikan tote bag. "Makan! Kamu enggak boleh pulang sebelum abisin batagor ini!"

Aku melirik sebal Lia yang sedang memelotot. Aku tahu dia cuma pura-pura marah. Jadi bukan itu alasan aku mau mulai memakan batagor di pangkuan. Melainkan suara kerubuk yang tiba-tiba terdengar dari perutku yang menyebabkan Lia tetawa kecil dan Panca tersenyum lebar.

Sekarang aku mengarahkan mata yang membesar ini kepada Panca ketika melihat gerakan pemuda itu seolah akan duduk di sebelahku. Dia pun duduk di sebelah Lia.

Aku hanya membutuhkan sepuluh menit saja untuk menghabiskan batagor dan tidak bicara sama sekali saat makan. Pikiran dipenuhi bayangan Agra berduaan dengan Lola di kantin. Bagaimana mereka saling bercerita, tertawa, dan berpandangan mesra; membuat gerah makin menjadi. Belum lagi pedas dari batagor yang kumakan.

Memang sih aku hanya membayangkan, tidak melihatnya langsung. Namun, aku tetap perlu beberapa lembar tisu untuk mengeringkan titik-titik air yang banyak bermunculan di kening dan hidung.

"Pulang pakai apa, Nay?" Panca ikut berdiri saat aku berdiri.

"Angkot. Tadi nyoba ojek online gagal terus."

"Gue antar, ya?"

"Enggak usah!"

"Urusan gue di kampus udah selesai. Sekalian ada perlu ke rumah tante gue. Searah rumah lo."

Aku tetap menolak. Panca menurunkan tawarannya, menemaniku sampai tempat pemberhentian angkot. Teringat dia membelikan batagor barusan, akhirnya aku setuju.

Kami baru saja berjalan dua langkah dari gazebo, ketika suara Agra terdengar, "Nay! Mau pulang, ya? Sorry, baru kebaca Line-nya. Aku baru selesai ketemu Kang Arul. Dia minta ketemu lebih cepat tadi."

Walaupun sedang kesal, tetap saja ada kuncup-kuncup bunga yang bertebaran di dada melihat dia terengah-tengah seolah berusaha menahanku untuk tidak segera pulang. Memang belum mekar, tetapi cukup membuatku terdiam berharap dengan ucapan selanjutnya.

"Yuk, kita pulang!" Agra tersenyum.

Satu dua bunga di dada mulai mekar. Kata-kata Agra sesuai harapan. Aku melirik Panca yang terdiam menatapku dan Agra bergantian. Kemudian aku menoleh ke arah Lia yang masih duduk di gazebo memandang kami. Sahabatku itu mengangguk kecil sambil tersenyum.

"Hati-hati ya, Nay, Agra!" Panca melangkah kembali menuju gazebo ketika aku berjalan mengikuti Agra.

Sepanjang perjalanan menuju parkiran motor dan selama di atas motor gagahnya, aku membisu. Pertanyaan dari Agra hanya kujawab dengan ya atau tidak serta senyum tipis. Aku bimbang. Ingin bertanya tentang apa yang Panca bilang di ruang BEM tadi, tetapi tidak tahu kapan dan bagaimana memulainya.

Kesempatan itu terbuka ketika Agra mengajak mampir ke kafe. Saat kami sedang menikmati minuman masing-masing aku memberanikan diri bertanya dengan suara pelan, "Gra, tadi siang waktu pamit ke toilet, kamu ke mana aja kok lama amat?"

Agra berhenti menyesap kopinya. Dia menghela napas panjang sebelum mengatakan, "Kamu dengar apa tentang itu?"

"Katanya kamu di kantin sama Lola. Beneran, Gra?"

* Bersambung *

From One RequestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang