6th petals : a coincidence

155 19 4
                                    

Udara dingin sedikit menerpa, sekalipun musim panas, angin malam tetap saja menusuk. Beomgyu hanya bisa menatap sekitar, kemanapun, jalanan, orang-orang yang lalu lalang, mobil yang lewat, atau bahkan kucing yang tertidur dekat tempat sampah—asal tidak pada laki-laki di depannya. Rasanya jadi sedikit menyesal karena sudah menyapa orang ini, kalau pada akhirnya hanya saling diam.

Lima belas menit terlewati tanpa ada satu pun di antara mereka yang mengeluarkan suara.

Untuknya yang jarang bisa diam, situasi ini terasa menyiksa. Andai ini Heeseung, Jeongin atau bahkan Yuna-noona, teman-temannya ketika ia masih bekerja di cafe, ia mungkin tidak akan ragu membuka suara, berbicara panjang lebar sampai terkadang membuat Heeseung nyaris melemparnya dengan spatula atau Jeongin yang dengan teganya langsung memukul kepalanya sambil tersenyum.

Yang terakhir itu sungguh mengerikan, kalau Jeongin sudah tersenyum sampai matanya hanya terlihat segaris, itu sudah seperti alarm baginya untuk tutup mulut. Anak itu memang ringan tangan khusus hanya untuknya.

Jalanan nyaris sepenuhnya sepi, hanya ada satu-dua mobil sesekali lewat dengan kecepatan tinggi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat lima belas menit, dan mereka masih tetap dengan posisi yang sama. Soobin yang diam, enggan menatap ke arahnya. Dan Beomgyu yang tanpa sadar menggerakkan jemari kakinya dengan acak. Kalau boleh jujur, ia gugup. Harusnya begitu ia melihat orang ini, jalan terbaik memang berbalik arah dan pura-pura saja tidak melihat.

Tapi, ia penasaran.

Laki-laki ini banyak menyembunyikan sesuatu darinya, dan kerapkali berbohong untuk beberapa hal. Terutama sekali karena apa yang coba dia sembunyikan kemungkinan berhubungan dengannya.

Untuk apa dia mengatakan pada ibu bahwa ia tertidur di perjalanan, padahal nyatanya ia jatuh tidak sadarkan diri tepat di hadapannya? Dan raut wajah yang sekilas sempat terlihat olehnya, itu jelas terasa berbeda. Soobin itu pendiam, itu kesan pertama darinya. Lalu sekian jam berlalu, ia bisa dengan segera menyimpulkan bahwa laki-laki bertubuh jangkung ini hanya sedang menahan diri, untuk tidak melakukan sesuatu atau mengatakan sesuatu, atau dia akan kelepasan mengatakan hal yang tidak seharusnya.

"Soobin-hyung."

Namanya Beomgyu, kalau terjebak dalam situasi yang mengharuskannya untuk diam, rasanya seperti ia terjebak dalam ruangan yang tidak ada apapun hingga ia tidak bisa melakukan apapun, dan itu bisa membuatnya gila. Jadi, nekat saja. Toh ada hutang pembicaraan yang harus ditagihnya.

Sekarang, atau tidak akan ada kesempatan sama sekali.

"Yang kau bilang ingin menceritakan sesuatu selama perjalanan kita ke festival musim panas itu, apa? Jangan kau kira aku lupa hanya karena aku mendadak tidak sadarkan diri tadi. Aku tidak akan bertanya kenapa kau bilang pada Ibu kalau aku tertidur, padahal nyatanya tidak. Yang akan kutanyakan hanya, apa yang kau ketahui tapi tidak kuketahui, atau tepatnya—yang kulupakan?"

Soobin mendongakkan kepala, menatap ke arah samping dimana Beomgyu yang sedari tadi secara acak menjadikan jalanan sebagai fokus perhatiannya, kini tengah menatap ke arahnya. Ada rasa ingin tahu tampak jelas dalam sorot matanya. Dan Soobin jelas tidak punya alasan lain untuk tidak mengatakan apapun atau hanya sekedar mengalihkan pembicaraan ini pada hal lain yang sejujurnya ia bahkan tidak tahu ingin mengarahkannya kemana.

Ia menarik nafasnya perlahan. Bukan haknya sebenarnya untuk menceritakan apapun. Posisinya saat ini hanyalah sebagai penolong. Nyonya Choi yang menginginkannya, dan ia tidak punya kuasa untuk menolaknya. Atau lebih tepatnya, ia yang menjadikan ini sebagai jalan pintas untuk keinginannya hingga rasanya tidak mungkin baginya untuk menolak.

Laki-laki bertubuh jangkung itu merogoh saku celana panjangnya, mengambil dompet miliknya dan mengambil selembar kertas dari dalam benda berwarna hitam itu lalu menyodorkannya pada Beomgyu. Yang lebih muda menatapnya bingung, ia menatap bergantian pada Soobin dan selembar kertas yang disodorkan padanya. Itu adalah kartu nama. Apa maksudnya?

"Datang saja ke tempat yang tertera di situ, di jam makan siang atau jam pulang. Katakan namamu pada resepsionis, dan dia akan mengantarkanmu ke tempatku. Aku tidak peduli kau akan datang di hari apa, tapi kalau kau penasaran, datang saja."

Beomgyu menerima kertas kecil itu dengan ragu, menatap Soobin yang beranjak pergi meninggalkannya seorang diri di depan minimarket 24 jam di tepi jalan. Ia kembali menatap kertas dalam genggamannya, dan kedua matanya sontak membulat.

Presiden Direktur?!

Ia menepuk dahinya perlahan, nyaris lupa kalau ia kini masih berada di tempat umum yang untungnya sepi.

Dari tadi aku selalu berkata tidak sopan padanya, apa aku akan baik-baik saja?!

.
.

Pagi buta, dimana matahari bahkan belum terlihat sama sekali dan jalanan masih terlampau sepi, hanya mungkin satu-dua mobil pribadi yang lewat dan mobil pengangkut sampah yang sedang melakukan pekerjaannya. Dan Beomgyu yang sudah bersiap pergi dengan ransel miliknya yang tersampir asal di bahu kanannya. Sang ibu hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah sang anak. Langit di luar sana masih gelap sejujurnya, bus ke stasiun baru akan datang lima belas menit lagi.

"Padahal kau baru saja pulang kemarin, kenapa sekarang sudah mau pergi lagi?"

"Tapi pekerjaanku di sana juga tidak bisa begitu saja kutinggalkan."

Bohong sebenarnya. Ia bahkan baru saja dipecat dari cafe tempatnya bekerja, tapi mengatakan yang sejujurnya hanya akan membuat sang ibu tambah mengkhawatirkannya. Ia sudah beberapa kali membuat wanita ini kecewa. Dengan jalan hidup yang sudah dipilihnya saja, sang ibu mungkin masih memendam kekecewaan itu dalam hatinya. Bohong kalau Beomgyu tidak menyadarinya, surat sang ibu yang selalu menanyakan kabarnya atau sesekali ajakan yang memintanya untuk kembali ke rumah adalah bentuk dari perasaan sang ibu yang mencoba untuk berdamai dengan keadaannya. Tapi ia bebal, lebih memilih jalan yang membuatnya terseok daripada yang membuatnya bisa berlari kencang.

Ia hanya, tidak ingin merasa tertekan. Keluarga besarnya cukup terpandang, dengan kebanyakan saudara sepupunya yang kuliah di tempat dan jurusan bagus, atau yang lulus dengan nilai terbaik. Berbanding terbalik dengan dirinya. Berhenti kuliah, bekerja serabutan hanya demi bertahan hidup. Pulang hanya seperti mengakui kekalahannya, dan juga kegagalannya.

Setidaknya, di Seoul ia hanya dihadapkan pada kenyataan bahwa ia harus bertahan hidup dengan segala kekurangannya, bukan dihadapkan pada kenyataan bahwa ia sebenarnya sudah gagal dalam hidupnya sendiri.

Lagipula—

Ia merogoh saku jaketnya, kartu nama itu masih ada dalam genggamannya walau nyaris kusut karena ia yang terus menerus menggenggamnya.

Alamat yang tertera, adalah Seoul.

Lucunya, bangunan yang dimaksud bahkan tidak jauh dari apartemen yang disewanya selama ia tinggal di sana.

Kebetulan macam apa ini?

.
.
(Continued to 7th petals)
.
.

A.n
Hai, harusnya ini update Minggu kemarin tapi ternyata kerjaan di real terlalu menguras tenaga sama waktu. Maaf hehe.

Enjoy ya, bakalan agak jarang update tapi kuusahain sesekali update.

See you~ ^^

LANTANA || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang