7th petals : too many things to think about

55 9 1
                                    

Beomgyu menatap malas ke arah bangunan apartemennya. Setelah perjalanan selama beberapa jam, ia akhirnya tetap kembali ke tempat yang sama. Sebuah apartemen sederhana yang menjadi saksi kegagalannya selama tinggal di Seoul.

Jam sudah menunjukkan lewat tengah hari. Waktu istirahat bagi para pekerja kantoran baru saja terlewati. Tidak ada lagi yang bisa dilakukannya sekarang. Ia sudah tidak bekerja, dan mencari pekerjaan lain belum menjadi prioritasnya kini. Tabungannya masih cukup untuk membiayai hidupnya sampai beberapa hari ke depan, ditambah sang ibu memaksanya untuk menerima uang darinya. Beomgyu tidak pernah mengatakan apapun mengenai kehidupannya selama di sini-tidak, ia menceritakannya sebenarnya, hanya saja tidak sampai di tahap yang begitu mendetail seperti menghemat uang makan hanya agar bisa bertahan sampai pembayaran upahnya diterima.

Tapi mungkin itu hanya firasat sang ibu, untuk anak satu-satunya yang lebih sering menyembunyikan banyak hal darinya.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?"

Beomgyu melangkahkan kedua kakinya, memasuki gedung yang terlihat sederhana itu. Niat awalnya hanya ingin menyimpan tasnya lalu kembali pergi, menemui orang itu. Tapi waktu sudah lewat dari jam makan siang, sedangkan orang itu memintanya datang di jam makan siang atau di jam pulang.

"Masih ada waktu sekitar empat jam, apa yang harus kulakukan sekarang?"

Pemuda jangkung itu menghentikan langkah, mengambil ponsel dari dalam tasnya lalu menatap layarnya dengan perasaan kalut. Layar ponsel miliknya kini menunjukkan chat room yang masih terlihat kosong, dengan nama Choi Soobin tertera di bagian atas.

"Apa yang harus kulakukan dengan ini sekarang?"

Nomor itu ia dapatkan dari kartu nama yang tempo hari diberikan oleh laki-laki itu padanya. Sosok bertubuh tinggi itu kelihatannya tidak ingin repot-repot bertukar nomor dengannya, makanya dirinya hanya diberi selembar kartu nama.

Helaan nafas berat terdengar, Beomgyu mematikan kembali ponselnya dan memasukkannya lagi ke dalam tas. Sepasang alisnya berkerut kesal. Sambil melangkah menuju apartemennya, gumam halus terdengar dari celah bibirnya.

"Calon suami apanya? Sekarang rasanya dia memperlakukanku seperti seorang pengangguran yang sedang mencari pekerjaan."

Tidak ada yang salah dengan perumpamaan itu, tapi dirinya semakin merasa kesal karena perumpamaan itu justru benar-benar menggambarkan dirinya yang sebenarnya.

~0~

Waktu sudah menunjukkan nyaris pukul enam. Langit sudah identik dengan warna senja, dan di sinilah Beomgyu berada. Di depan sebuah bangunan sepuluh tingkat yang terlihat sedikit sepi. Jam kerja seharusnya sudah berakhir sejak beberapa menit yang lalu, tapi lalu lalang orang masih terlihat di beberapa sudut.

Pemuda bertubuh jangkung itu menghela nafas, ia menggenggam erat tas selempang yang terlampir di pundaknya.

Rasanya, ia ingin pulang saja.

Anggap saja ucapan Soobin yang memintanya ke tempat ini hanya sebagai angin lalu. Toh laki-laki itu juga tidak benar-benar memintanya ke tempat ini. Orang itu hanya mengatakan jika ada yang ingin diketahuinya, maka datang dan temui dia. Jika tidak, ya sudah, hanya sebatas itu saja.

Tapi Beomgyu tetap merasa penasaran.

Banyak hal yang mengganjal dalam benaknya dan makin terasa salah ketika dirinya merasa bahwa ia tidak tahu apapun. Tentang perjodohan yang terasa mendadak, tentang anggapan bahwa Soobin sebenarnya sudah mengenalnya sejak lama, atau bahkan mungkin tentang dirinya sendiri.

Bagian yang terasa menghilang dalam ingatannya itu benar-benar mengganggunya. Rasanya jadi seperti ia sudah melupakan sesuatu yang benar-benar penting.

Dan jauh di dalam hatinya, ada rasa sesak yang sulit dimengerti olehnya hingga kini.


~0~


Kakinya melangkah ke dalam gedung dengan ragu. Bangunan yang dari luar terlihat didominasi oleh kaca itu rasanya sedikit memberikan tekanan. Beberapa kali ia menundukkan kepala, memastikan bahwa tidak ada yang aneh dengan penampilannya. Outer berwarna coklat muda yang dikenakannya seharusnya tidak terlalu buruk-tapi tetap saja rasanya ia seperti seseorang yang sedang salah kostum.

Langkahnya terhenti di depan meja resepsionis. Seorang wanita dengan rambut sebahu yang diikat rapi sedang berdiri di sana. Iris gelapnya fokus pada layar komputer di depannya.

"Maaf."

Wanita itu mendongakkan kepala. Raut wajahnya sesaat terlihat bingung, sebelum kemudian berubah dengan cepat digantikan oleh senyum yang terlihat artifisial. Ah, tuntutan pekerjaan. Ia tahu itu.

"Ada yang bisa saya bantu?"

Beomgyu menyerahkan kartu nama yang sedari tadi digenggamnya kepada wanita tersebut, "Saya ingin bertemu dengan orang ini. Dia menyuruh saya untuk menemuinya di waktu ini."

Wanita itu menerima kartu nama tersebut, lalu membaca informasi yang tertera. Iris gelapnya mengerjap beberapa kali, lalu bergantian menatap Beomgyu dan kartu nama itu seolah keduanya adalah sesuatu yang seharusnya saling tidak berhubungan.

Walau nyatanya memang benar.

"Maaf, bisakah anda memberitahu nama anda?"

Beomgyu bisa melihat reaksi tidak percaya dari sang wanita. Tapi ia tidak ingin mempermasalahkannya. Toh siapapun pasti akan bereaksi wajar seperti itu. Seorang pemuda dengan tampilan agak lusuh seperti dirinya, tiba-tiba datang dan meminta untuk bertemu dengan Presiden Direktur itu rasanya memang terdengar aneh. Di tempat lain mungkin saja ia bahkan tidak akan diizinkan untuk masuk ke dalam halamannya saja.

"Choi Beomgyu."

"Ah, maafkan saya. Tuan Choi sudah menunggu anda sejak tadi. Beliau ada di ruangannya saat ini," ujar wanita itu, lalu ia beranjak dari tempatnya dan berjalan mendekati Beomgyu, "Mari ikut saya."

Dan keduanya berjalan nyaris beriringan dengan Beomgyu yang berjalan di belakang sang wanita ke arah lift.

Sekarang, pikiran lain kini mulai menyerangnya. Apa yang sebenarnya diinginkan oleh laki-laki itu dengan memintanya ke tempat ini? Menceritakan apa yang ingin diketahuinya? Tapi terasa berlebihan jika hanya itu saja, sementara tempatnya jauh berada di Seoul.

Rasanya seperti ada sesuatu yang ingin dikatakannya juga, tapi tidak ingin didengar oleh orang lain.

Sibuk dengan pikirannya, Beomgyu tidak menyadari jika lift yang dinaiki keduanya sudah berhenti di lantai yang dituju-tidak, sejujurnya dia bahkan tidak menyadari bahwa dirinya mengikuti wanita itu sampai menaiki lift.

Pintu lift terbuka, dan wanita itu tersenyum ke arahnya, "saya hanya bisa mengantar anda sampai di sini saja. Selebihnya anda diminta untuk menemui beliau di ruangannya seorang diri. Ruangannya ada di ujung koridor, anda tidak akan kesulitan untuk menemukannya karena di lantai ini hanya ada ruangan beliau saja."

Beomgyu menatap wanita itu dengan ragu, tapi sudah sejauh ini. Kalau kembali lagi malah jadiny akan terlihat memalukan. Jadilah ia hanya bisa sedikit membungkukkan badannya, mengucapkan terima kasih lalu menggerakkan kedua kakinya ke arah yang tadi ditunjuk.

"Tidak ada jalan lain lagi, sudah terlanjur sampai di sini, lebih baik memang maju saja."

.
.
(Continued to 7th petals)
.
.





A/n ini sebenernya nyoba dulu, harusnya chapter ini tuh masih panjang lagi. Tapi ya anggap aja ngetest dulu hehe. Maaf lama yaa~ ga nyangka ternyata kesibukan di RL bener-bener nyita waktu banget nyampe lebih sering bikin tepar. :')

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LANTANA || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang