1st petals: everything else has gone wrong

341 39 8
                                    

Bruk.

Tas punggung dilempar ke atas meja dengan keras. Sedikit meleset, hingga akhirnya malah jatuh ke lantai.

Nafasnya terengah, kentara sekali berusaha menahan emosi yang akan meledak.

Hari ini sial.

Semua orang sial.

Segalanya benar-benar sial.

Ia marah, kesal, pada siapapun atau apapun yang menimpanya hari ini. Namun rasanya justru ia sendiri lah yang paling terasa salah.

Semua bermula di pagi hari. Ia telat bangun, tapi rasanya juga tidak separah itu. Hanya meleset lima belas menit dari waktu yang biasa, dan segalanya langsung kacau. Tertinggal bus. Terlambat datang ke cafe tempatnya bekerja. Memecahkan satu-dua piring. Dan hampir berkelahi dengan pelanggan.

Ini pertama kalinya.

Biasanya segalanya berjalan lancar, statis dan monoton. Membosankan kata yang paling tepat sejujurnya. Tapi baru kali ini, rasanya segalanya benar-benar salah.

Seoul memang bukan tempat yang ramah. Tapi ia sudah terbiasa dengan hal itu. Kalau tidak, ia tidak akan bertahan tinggal di kota besar ini seorang diri selama bertahun-tahun.

Tapi mungkin memang takdir sedang tidak berpihak padanya hari ini.

Dan untuk menutup kesialannya selama satu hari ini, ia dipecat.

Tidak aneh sih, tapi tetap saja menyebalkan. Lagipula bukan salahnya kalau ia sampai memukul wajah laki-laki paruh baya itu hingga sudut bibirnya robek mengeluarkan darah. Kalau laki-laki itu tidak main menepuk bokong salah satu waitress di cafe, ia akan diam saja.

Tidak, wanita itu bukan kekasihnya sampai ia marah karena dia diperlakukan tidak senonoh. Hanya rekan kerja biasa, yang sekali-sekali menraktirnya ramen pinggir jalan kalau arah pulang mereka sama.

Namanya, Choi Yuna.

Dan itu sekarang tidak penting lagi.

Satu-satunya hal yang harus dipikirkannya adalah, bahwa ia tidak lagi bekerja. Mencari pekerjaan di belantara Seoul tidak semudah bermimpi di kala tidur. Dapat kerja jadi pelayan cafe saja sudah termasuk beruntung untuknya.

"Ini buruk."

Ia berguling di atas ranjangnya. Enggan merapihkan kekacauan di apartemennya. Sepatu di depan pintu yang tergeletak, tas yang jatuh ke lantai, atau ranjang yang kusut karena ia terlalu sering bergerak.

"Kalau seperti ini, ibu akan menyuruhku pulang. Dan aku tidak akan bisa bebas lagi."

Tangannya memeluk erat selimut sewarna tanah. Iris coklat tuanya menatap ke arah kalender. Tanggal-tanggal segini, biasanya akan ada surat yang datang untuknya.

Dari Ibunya. Atau Ayahnya juga. Atau entah nama siapapun, tapi isi suratnya tetap dari orang tuanya.

"Aaaahhh!!"

Ia segera beranjak. Selimut ditendang hingga jatuh ke lantai. Lari tergesa-gesa ke arah pintu, dan asal mengenakan sandal. Beruntung sekali ia tidak lupa mengunci pintu apartemennya sebelum berlari menuruni tangga.

"Aku lupa. Surat dari Ibu harusnya sudah datang sejak kemarin."

Heran saja, ia terkadang tidak habis pikir. Ini jaman dimana teknologi mempermudah segalanya, tapi kedua orang tuanya masih saja mengiriminya surat.

Ia bergegas ke kotak surat di bagian depan, setelah sebelumnya menyapa si penjaga di depan. Deretan kotak-kotak silver tertangkap penglihatannya, dan ia langsung menuju kotak paling ujung, kedua dari atas.

Nomor 314.

Kotak surat miliknya.

Ia bergegas membukanya. Amplop putih dan coklat tergeletak begitu saja di dalamnya. Tidak banyak surat yang didapatnya. Hanya surat tagihan, undangan masuk universitas, atau katalog entah apa yang langsung ia buang ke tempat sampah di sampingnya.

Surat dari ibunya langsung ia ambil, mengabaikan tumpukan surat lain. Sebenarnya tidak ada yang menarik dari surat ibunya. Hanya saja wanita itu akan marah kalau ia tidak segera membalasnya.

Ia merobek sisi amplop, dan membukanya perlahan. Ia tidak pernah terlalu berharap dengan isi tulisannya. Kebanyakan adalah pertanyaan-pertanyaan umum tentang bagaimana keadaannya di sini.

Tunggu!

Iris coklat tuanya kembali menelusuri deretan kalimat yang tertera, meyakinkan diri kalau yang ia baca itu salah.

"Ini sungguhan. Ya Tuhan. Kenapa takdirku hari ini terasa salah sekali."

Namanya Choi Beomgyu, dan takdir senang sekali mempermainkannya.

Diawali di pagi hari dengan segala masalah, dan berakhir dipecat, surat ibunya justru malah memperburuk keadaan dirinya.

.

Beomgyu, sayang.

Ibu tahu ini mendadak. Pulanglah ke Busan sekarang. Ibu sudah terlanjur menyetujui perjodohanmu dengan seseorang. Jadi alangkah lebih baiknya kalau kau kembali ke sini.

P.S. Kau tidak akan kecewa, ibu yakin itu.

Salam Sayang~

.
.
(Continued to 2nd Petals)
.
.

Stay at home bikin produktif. Padahal di depan saya ada dokumen yang mesti dikerjain, tapi malah bikin ff. Ehehehehe.

Keep healthy ya, berhubung saya cuma bisa isolasi diri di rumah cuma hari Sabtu-Minggu doang, doakan aja semoga saya baik-baik aja. 😂

See you~

LANTANA || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang