Prolog

553 47 0
                                    

Kaki kecil itu berlari, melewati setapak jalanan di bukit belakang sekolahnya. Sesekali kepala menengok; belakang, kanan-kiri lalu kembali ke depan. Memastikan diri tidak ada seorang pun di sekitarnya, ataupun mengikutinya.

Langit senja hampir menjadi gelap. Semburat keunguan nun jauh di sana sudah tampak. Tapi ia masih terus berlari. Genggaman tangannya pada sekotak kayu kecil semakin mengerat.

Itu benda berharga---baginya.

Bel terakhir sekolah baru saja berbunyi. Seseorang akan dengan segera menyadari bahwa dirinya menghilang lebih awal dari sekolah. Tidak masalah. Setidaknya selama ia tidak mengadu pada ibunya.

"Beomgyu-ya!!"

Ah, itu dia.

Ia semakin mempercepat pergerakannya. Mengabaikan ranting-ranting berserakan yang menggores betis. Sesekali meringis, ketika tanpa sengaja menginjak kerikil runcing.

"Beomgyu-ya!! Jangan ke sana!!"

Ia terhenti, tersentak hingga tak memperhatikan kemana kakinya melangkah. Ia tidak tahu, entah yang mana, hal terakhir yang diingatnya. Entah anak lelaki yang terus memanggilnya, atau kakinya yang kehilangan pijakan.

Satu-satunya yang diingatnya adalah bahwa tubuhnya yang membentur bukit bebatuan dengan keras dan kesadarannya yang perlahan hilang.

Dan kotak kayu yang terlempar dari genggamannya.

.
.
.

"Bukit belakang sekolah itu memang terlihat landai, tapi sisi lain di sebrangnya adalah jurang. Walau tidak terlalu tinggi, tapi jatuh dari sana tetap saja celaka. Apalagi di bawahnya penuh dengan bebatuan besar. Sedikit saja lalai, bisa jadi kau akan menjemput ajalmu di sana."

Tangan kecil memeluk erat pinggang sang kakak, terutama sekali ketika sepeda yang orang itu kendarai sesekali kehilangan keseimbangan karena si pengemudi membagi fokus menjadi dua ke hidungnya yang memerah.

Flu musim panas memang menyebalkan.

Dan seseorang yang menularkan padanya, jauh lebih menyebalkan.

"Tapi, hyung, sepulang sekolah tadi Beomgyu pergi ke sana."

Ciiitttt.

Sepeda direm mendadak. Muka sang adik membentur punggung sang kakak, sedangkan yang lebih tua sontak menoleh ke yang lebih muda. Rautnya terlihat panik.

"Kita kan dilarang pergi ke sana."

"Tapi Beomgyu bersikeras, kalau dia punya urusan penting di sana."

Sepenting apapun, memangnya bocah sekolah dasar mana yang punya suatu hal penting di bukit kosong yang bahkan memasang tanda 'dilarang masuk' di jalan setapaknya?

.
.
.
.

"Beomgyu-hyung tadi pulang."

Yeonjun dan sang kakak saling pandang. Sepeda terabaikan. Mereka memang baru sampai di rumah, setelah rutinitas mingguan belanja titipan sang Ibu.

"Lalu kenapa wajahmu seperti ingin menangis?"

Kang Taehyun adalah nama anak ini. Dua tingkat di bawah Yeonjun. Ia anak kuat sebenarnya, sesekali juga bisa jadi menyebalkan ketika filter omongannya mendadak rusak. Tapi melihatnya seperti bocah yang ditinggal orangtuanya pergi, jelas ada sesuatu yang salah di sini.

"Dia jatuh dari atas bukit. Kepalanya terbentur keras. Bahu kanannya nyaris tidak bisa digerakkan selebihnya tidak apa-apa. Tapi..."

"Tapi?"

Yeonjun hampir tidak memperhatikan bagaimana raut wajah Taehyun, ataupun Taehyung sang kakak yang hampir menjatuhkan sepeda yang masih dituntunnya.

Seorang anak lelaki lain menarik perhatiannya. Keluar dari rumah Beomgyu dengan langkah lunglai dan wajah pucat. Peluh mengaliri sisi wajahnya.

Ia tidak terlalu mengenalnya. Kalau tidak salah anak kelas sebelah.

"...Beomgyu-hyung tidak ingat apapun soal kita."

.
.
(Continued to 1st Petals)
.
.

Hai?

Ehehehe, baru juga 16 jam stay at home rasanya gabut sekali. :')

Why judulnya Lantana? Yang suka jejepangan tau Oldcodex? Ini salah satu judul lagu mereka yang dijadiin Ending Song Kuroko no Basuke. Liriknya dalem btw.

Next, or no?

Note: Freier Vogel update nanti malam ya.

LANTANA || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang