2nd petals: come back home

258 31 5
                                    

Beomgyu meletakkan tas punggungnya begitu saja di tanah. Stasiun kereta hari itu agak sepi, tapi cuacanya panas. Ia berulang kali mengusap peluh yang mengalir.

Rumahnya hanya tinggal beberapa ratus meter lagi dari stasiun. Tapi rasanya di cuaca sepanas ini, jarak sedekat itu terasa sekali jauhnya. Ingin naik bus, tapi kondisi dompetnya terlalu mengkhawatirkan. Ibunya menyuruhnya pulang, tapi ia bahkan tidak diberi uang sedikitpun bahkan untuk tiket kereta.

Sebenarnya salahnya sendiri yang tidak menghubungi orang tuanya, dan tidak mengatakan apapun soal ia yang baru saja dipecat.

Tidak, tidak. Mengatakan itu sama saja celaka. Ibunya bukan orang yang suka kekerasan sekalipun itu untuk tujuan baik, bisa-bisa malah ia tidak akan diperbolehkan untuk kembali ke Seoul.

Beomgyu menarik nafasnya perlahan. Ponselnya sudah mati sejak satu jam yang lalu. Ia tidak ingat satu pun nomer ponsel milik keluarganya, kalau tidak mungkin sudah sejak tadi ia menelepon salah satu dari mereka di telepon stasiun untuk menjemputnya.

Jaraknya sebenarnya hanya dua puluh menit berjalan kaki, tapi sekali lagi di cuaca seterik ini, jarak seperti itu bahkan terasa seperti berkali-kali lipat lebih jauh.

"Tapi diam di tempat ini juga percuma saja."

.
.
.

Sebuah mobil berwarna putih melaju perlahan. Jalanan terlihat lengang. Hanya satu dua mobil yang terlihat, pejalan kaki malah tidak nampak sama sekali. Di cuaca seterik ini, hanya orang bodoh saja yang akan nekat berjalan kaki begitu saja.

Si pengemudi memperhatikan jalanan kosong, sebelum kemudian iris gelapnya tertuju pada seorang pemuda yang tengah menyusuri trotoar. Tas punggungnya yang sebenarnya terlihat kosong ia jinjing seadanya. Terlihat sekali bahwa ia terpaksa berjalan kaki.

Namun alih-alih peduli, ia kembali menaruh atensi pada jalanan, dan mempercepat laju mobilnya---walau sudut matanya melirik sekilas pada si pemuda.

"Bodoh sekali."

.
.
.

Beomgyu ingin merutuk. Pada apapun. Pada sang Ibu. Pada takdir. Terutama sekali pada dirinya. Rasanya di saat lelah mendominasi, tinggal sedikit disenggol emosi memuncak seketika.

Ini seharusnya musim panas biasa. Tapi panasnya luar biasa sekali tidak manusiawinya. Rasanya ia bisa saja meleleh begitu saja, bahkan sebelum sempat mencapai rumahnya.

Ingin nekat naik bus dengan sisa koin di sakunya, tapi bahkan sampai separuh perjalanan dilalui dengan menyusuri jalan, tidak ada satu pun bus yang lewat. Hanya ada satu-dua mobil pribadi lewat.

Sebuah mobil berwarna putih sempat menarik perhatiannya, terutama sekali karena ketika ia melaju di dekatnya si pengemudi langsung memacunya lebih cepat.

Tidak ada yang salah sih. Tapi karena mood Beomgyu sedang di ambang batas, semuanya terasa serba salah sekali. Berprasangka buruk kalau si pengemudi terlihat sengaja pamer padanya yang mesti menyusuri jalanan yang panas.

Ia menghentakkan kaki kesal. Rumahnya hanya tinggal belasan meter lagi. Atap kelabunya bahkan sudah terlihat.

"Akhirnya----ahh..."

Beomgyu tersentak ketika melihat mobil putih yang sempat dilihatnya tadi, dan sempat ia kutuk selama perjalanan, terparkir rapi di depan rumahnya.

Rasa lelah sudah mendominasi, ditambah sumber rasa kesalnya tepat di depan mata, rasanya jadi ingin memaki.

Mobil itu tidak salah, begitupun si pengemudi. Tapi Beomgyu hanya butuh pengalihan dari lelah dan panasnya udara. Memaki-maki objek tak dikenal adalah salah satunya. Toh takdir tidak pernah berlaku baik padanya, jadi ia pikir ia tidak akan bertemu mobil itu lagi. Hujat sepuasnya jelas jadi pilihan.

Beomgyu menarik nafas dalam, biasanya ini berguna untuk mendinginkan pikiran, dengan syarat kondisi suhu di bawah dua puluh derajat celcius---bukannya tiga puluh derajat celcius plus plus.

Ia melangkahkan kedua kakinya memasuki rumah. Pintu pagar ia buka perlahan tanpa menimbulkan suara.

"Ibu...!! Aku pu... lang?"

Beomgyu mematung di tempat. Di ruang tamu keluarganya, seorang lelaki bertubuh tinggi duduk berhadapan dengan sang ibu. Raut wajahnya tenang, sekali lihat saja Beomgyu merasa seluruh panas yang didapatnya di luaran sana langsung menghilang seketika.

---adanya juga ia jadi merinding, apa-apaan tatapannya itu.

Sang ibu menatapnya sambil tersenyum lebar. Wanita paruh baya itu langsung berjalan menghampirinya yang masih seperti kehilangan seluruh jiwanya karena tahan berdiri mematung dekat ambang pintu, padahal sedari tadi mengeluh kakinya nyaris sulit digerakkan karena berjalan kaki.

"Kenapa tidak memberi kabar? Kukira kau sudah lupa kalau kau punya rumah. Surat dari Ibu tidak kau balas, tahu-tahu sudah berdiri di depan pintu mirip penagih hutang."

Beomgyu mendelik kesal. Ia kan disuruh pulang, sudah untung ia mau pulang tanpa banyak protes, sekarang malah disamakan dengan penagih hutang.

"Ibu... dia... siapa?"

Suaranya berbisik, dan tangannya sekilas menunjuk lelaki di ruang tamu. Ia mengerutkan alis ketika disadarinya sang Ibu bertingkah sedikit aneh. Ekspresinya seperti merasa tidak enak---dan seperti agak dipaksakan. Tapi hanya beberapa detik, lalu kembali ke ekspresi menyebalkan seperti biasa, jadi Beomgyu memilih untuk tidak terlu memikirkannya.

"Ingat apa yang Ibu katakan di surat terakhir Ibu? Namanya Choi Soobin---dia orang yang akan dijodohkan denganmu."

Beomgyu mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Tidak, tunggu, jangan bilang ia salah dengar. Laki-laki ini terlihat sulit untuk didekati, selewat lihat ekspresinya saja sudah ketahuan. Apa maksudnya dengan dijodohkan dengannya?

Tapi melihat ekspresi sang Ibu yang tampak senang sekali, ia tahu kalau ini sama sekali bukan candaan.

"Tidak, tunggu---hah!?"

Ralat ucapannya tadi. Takdir memang tidak pernah berlaku baik padanya, sekalinya berbuat baik, itu selalu terjadi di waktu yang sangat, sangat, sangat salah.

.
.
(Continued to 3rd petals)
.
.

Hai~~~

Book ini ga bakalan panjang-panjang kok, dan konfliknya jelas ringan. Anggap saja pengalihan rasa stress ngerjain Freier Vogel yang ternyata plotnya jauh lebih rumit dari dugaan. :')

LANTANA || SooGyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang