Lima Belas Tahun Kemudian
"Bu, mana bajuku yang warna moca?" Teriakanku dari balik kamar tidur. Kamar tidurku dengan meja makan hanya berselang beberapa meter, jadi Ibu akan mendengar teriakanku.
"Ada apa Elin? Ibu lagi nyiapin makanan buat sarapan." Ibu berdiri di ambang pintu kamarku dengan posisi tangannya ditekuk di depan dada. "Baju yang berwarna moca mana Bu? Elin harus pakai itu buat meeting."
"Baju kamu banyak, kenapa harus itu?"
"Aku suka dengan baju itu." Jawabku sekenanya. Ibu beranjak mendekat ke almari di dalam kamar tidurku. Mencari baju yang aku inginkan. "Ini apa? Makanya kalau mencari pakai mata bukan mulut." Jawabnya dengan sedikit ketus.
Aku mencoba memeluk Ibu, "Jangan ngambek kenapa sih Bu. Elinkan nggak lihat." Ujarku, dengan mendaratkan kecupam di pipi wanita yang melahirkanku itu. Wanita yang mengantikan posisi Ayah. Wanita yang begitu berarti buatku.
"Yasudah, lepas. Ibu harus siapkan bekal buatmu. Ibu juga harus ke rumah sakit."
"Siap Ibu."
Ya, begini rutinitasku bersama Ibu. Setiap pagi pasti ada aja teriakan yang mengisi rumah Opa. Rumah yang sudah aku tinggali setelah perceraian Ibu, Ibu memilih menjual rumah itu dan menetap disini, menemani Opa yang sudah pensiun dari manajemen Rumah Sakit. Dan sekarang sebagai cucu, aku yang melanjutkan kepemimpinan rumah Sakit dibantu sepupuku.
***
Jadwal meeting dengan pihak kontraktor sekitar pukul satu siang. Farah, sepupuku anak dari adik Ibu yang akan menemaniku kesana. Farah disini menjabat sebagai manager urusan sarana prasarana. Sebagai lulusan Teknik Sipil, ia memiliki keahlian dalam menyusun anggaran untuk kegiatan kali ini. Opa berencana untuk mendirikan rumah sakit khusus anak, dan setelah puluhan tahun impian itu akhirnya terwujud.
Farah duduk di sofa ruang kerjaku, membolak balikan proposal yang diajukan oleh berbagai pihak kontraktor. "Serius amat sih." Ucapku meletakan secangkir kopi kekinian yang memiliki outlet di depan rumah sakit.
"Ya harus, ini buat masa depan Lin. Mana mungkin aku ngerjain proyek ini asal-asalan. Banyak tanggung jawab yang harus aku pikul. Dan juga beban moral, karena ini proyek kemanusiaan." Jelasnya tanpa melihatku sedikitpun.
Duduk di sofa single di depannya, aku melihat Farah yang super sempurna itu berpikir serius. Aku saja yang menjabat manager operasional hanya mampu menggelengkan kepala. "Hmm, aku saja baca proposal itu sudah pusing. Apalagi kamu."
"Makanya belajar!"
"Nggak mampu aku, mampuku ya hanya berkutat operasional rumah sakit tidak dengan hal itu."
Kening Farah mengerut, seiring membaca proposal yang aku lihat dari kopnya berasal dari kontraktor Bina Nusantara.
"Kenapa muka kamu?" Ucapku, melihat betapa gelagapanya Farah. Farah yang cenderung cuek, berubah salah tingkah.
"Tidak ada apa-apa Lin."
Menyesap kopi, aku kembali meletakan tubuhku di sandaran sofa. "Fa, gimana rasanya punya keluarga lengkap?"
"Maksud kamu?"
"Kamu punya Papa, Mama, dan Fino di hidupmu. Sedangkanku, hanya punya Opa dan Ibu. Aku saja sampai lupa bagaimana rasanya memiliki seorang Ayah." Ujarku dengan sadar. Entahlah, kali ini aku hanya ingin berbagi keresahanku. Sudah cukup lama aku tidak bertanya kepada Ibu tentang Ayah.
Apa Ayah sudah meninggalpun, aku juga tidak tahu.
"Kan Papaku juga Papamu Lin."
"Beda Fa, Papa selalu ada buatmu bahkan buat Mama dan Fino. Aku hanya ingin bertanya bagaimana rasanya punya Ayah yang seutuhnya."
Menghembuskan nafas, Farah menatapku. "Setiap orang tua pasti berharap anaknya akan selalu bahagia, begitu juga dengan Papa dan Mama. Papa bukan orang yang mudah mengutarakan perasaannya tetapi Papa selalu ada buatku ketika aku ada masalah. Sejauh ini Papa cinta pertamaku, Lin." Farah menatap kedepan seolah mengingat peran Papanya di kehidupan Farah.
"Enak ya Fa?"
"Ya begitulah, sudah jangan bahas hal itu. Aku tidak mau kamu sedih gara-gara hal itu. Lagian juga kami selalu ada buat kamu Lin." Mengangguk paham, aku kembali menyesap kopi.
"Kita berangkat sekarang atau nanti Fa?"
Farah melihat jam dinding di ruang kerjaku, sudah pukul setengah dua belas ternyata. "Sekarang saja bagaimana? Kita sholat di jalan. Takut macet nanti." Jawabnya dengan merapikan beberapa proposal di meja. "Okay, aku ambil kunci mobil dan tas kerja."
***
Kantor kontraktor yang kami datangi tidak begitu besar, hanya bangunan berlantai lima. Kami disuruh menunggu di ruang rapat yang berada di lantai dua. "Aku nggak harus tanya-tanyakan, Fa?"
"Nggak usah, biar aku aja. Kamu tinggal lihat mereka. Yang lain biar aku yang eksekusi."
Beginilah kalau bekerja dengan orang yang serba sempurna. Selalu mengedepankan logika dan data yang valid.
Aku membuka ponselku, melihat pesan Ibu yang bertengger pertama di aplikasi berwarna hijau itu.
Sesibuknya Ibu, Ibu selalu bertanya kepadaku tentang hal kecil yang aku tahu bahwa itu rasa peduli Ibu terhadap diriku. Menutup kembali aplikasi itu, dan melihat kedepan. Ternyata beberapa orang sudah datang. Kami berdiri dan menyambut beberapa orang."Farah Angkasa." Ucap Farah memperkenalkan dirinya.
"Berlian Angkasa." Sekarang giliranku memperkenalkan diri. Sosok pria paruh baya menatapku dengan sorot mata sendu yang aku sendiri tidak tahu alasanya. Dan kami duduk kembali, memulai sesi presentasi.
Selesai sesi presentasi, lontaran pertanyaan dari Farah menghujani dua pria yang berada di depan ruang meeting. Aku sendiri tidak tahu apa yang dibahas Farah, semua yang dibahas begitu asing di kepalaku. Hingga sesi tanya jawab selesai, pria paruh baya yang melihatku tadi berdiri dan mendekat ke arah Farah. "Semoga kami bisa bekerjasama dengan baik dengan Rumah Sakit anda Bu Farah."
Farah menerima uluran tangan pria paruh baya itu, "Semoga saja Bapak Wiryawan."
Otakku seperti pernah mengenal nama itu, nama yang aku jumpai di akta kelahiran tetapi tidak dengan kehidupanku.
Sosok pria itu beranjak menatapku dengan sorot mata seperti tadi. Mengulurkan tangannya, ku jabat tangan renta yang masih melayang di udara.
"Senang berjumpa denganmu, Nak."
Nak? Apa aku salah dengar? Tidak, indera pendengaranku masih baik. "Saya Ayahmu." Ujarnya kembali.
Kenapa semesta membuatku bertemu kembali denganya? Setelah semesta juga yang memisahkan kami. Aku tidak tahu bahwa pertemuan denganya akan begitu cepat seperti sekarang.
Tarik nafas, hembuskan. Buat dirimu biasa saja Elin. Meskipun rasa dihatiku seperti petasan yang meletupkan kegembiraan. Tetapi aku mencoba mengelak, masih ada rasa sakit ketika mengingat bahwa ia orang yang meningalkanku sedari kecil. Orang yang mengabaikanku, padahal aku putrinya.
"Maaf, anda salah orang." Aku mencoba mengelak dari kenyataan ini.
"Saya Ayahmu, Budi Wiryawan." Suasana terasa sunyi, baru aku sadar jika semua orang yang berada di ruang meeting sudah keluar, hanya tersisa aku, Farah, dan pria itu. "Maaf, Ayah saya sudah pergi." Ucapku datar, usapan aku rasa ada di lengan atas tanganku.
Pria itu tertunduk lesu. "Sudah?" Farah menatapku dengan tatapan iba. Hanya ada anggukan yang aku lakukan. Aku dan Farah memilih pergi meninggalkan ruang meeting, meninggalkan sosok pria yang aku tahu bahwa itu adalah Ayah kandungku. Tetapi aku mencoba menolak itu semua.
Ayah yang aku tahu adalah sosok orang yang akan melindungi keluarga, bukan orang yang meninggalkan keluarga. Ayah yang aku tahu akan rela berkorban tetapi apa yang aku rasa. Aku yang harus berkorban demi ego laki-laki yang disebut Ayah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Temu ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Fiction générale"Papa meninggalkanku demi wanita itu." Berlian Angkasa