Bagian 3

4K 218 1
                                    

Setelah sesi curhat dengan Ibu tadi malam, membuatku sedikit lega. Bukan lega dalam artian yang sebenarnya tetapi seperti ada sedikit beban yang berkurang.

Hari ini, Opa pulang dari Lombok. Tadi malam Opa memberitahu bahwa ia akan sampai di bandara sekitar pukul sepuluh pagi. Dan disinilah aku dengan Farah, menunggu kedatangan Opa tersayang.

Duduk di salah satu kedai kopi. "Gimana lo acc buat kerjasama dengan Bina Nusantara Konstruksi?" Tanyaku, pasalnya sejak kejadian itu Farah tidak pernah mengungkit urusan itu. Entah ia menjaga hatiku atau memang ia sudah bisa menyelesaikannya sendiri.

Mengedikan bahu Farah menjawab pertanyaanku. "Gue nggak tahu, kemarin sudah aku bicarakan dengan Opa via telepon. Dan Opa bilang nunggu Opa balik baru akan kami bicarakan lagi."

Menghela nafas perlahan, aku tahu kegundahan Farah. "Kalau tanpa pertimbangan Opa, lo setuju?"

"Overall mereka bagus. Dan gue juga lihat hasilnya dari temen-temen gue yang pernah kerjasama semuanya sempurna. Gue nggak ada alasan buat nolak mereka dengan kapasitas mereka."

"Good." Ucapku, menyesap kopi yang aku pesan tadi.

Sekitar lima belas menit menunggu akhirnya Opa menghampiri tempat duduk kami. "Sudah lama cucu-cucu Opa?"

"Lumayan, Opa mau minum apa? Biar Elin belikan." Ujarku, setelah melihat Opa duduk kursi sampingku. "Tidak, pulang saja gimana? Opa capek."

"Yasudah, ayo kita pulang." Ajakku, mengambil koper yang teronggok di samping meja.

***

Suasana rumah cukup ramai, Ibu, Mama, Papa, dan Fino menyambut kedatangan kami. Memang sudah sebulan Opa berada di Lombok.

Keluar dari mobil Opa disambut pelukan dari mereka. "Kenapa pulangnya lama sih Pa?" Lontaran pertanyaan dari Ibu maupun Papa menggema di ruang keluarga.

"Disana enak makanya Papa betah disana." Tanpa rasa bersalah Opa menjawab dengan wajah cerianya. Sejak Oma meninggal memang Opa seutuhnya berkeliling Indonesia setelah pensiun dari rumah sakit.

"Ya, tapikan pulang juga. Fino, Mama dan Papa juga kangen Opa. Apalagi Elin sama Ibu." Ucapku menimpali pembicaraan ini.

"Yasudah maafkan Opa ya, sudah makan siang? Perut Opa lapar." Mengusap perutnya, Opa mencoba mengalihkan pembicaraan. Trik yang cukup jitu jika dihadapkan dengan interogasi kami.

Kami memutuskan untuk makan siang bersama dilanjut dengan bercengkerama di ruang keluarga. Sudah lama kami tidak melakukan hal itu. Kesibukan masing-masing membuat sulit mendapatkan waktu yang pas untuk bertemu.

Duduk di sofa ruang keluarga, hanya menyisakan Farah, aku, dan Opa. Mama dan Papa memutuskannya untuk kembali ke rumah bersama Fino, sedangkan Ibu bertemu temannya. "Bagaimana kondisi rumah sakit?"

"Baik Opa."

"Bagus, alhamdulillah berjalan lancar."

Selesai menyesap kopi mocachino, Farah memberanikan diri untuk bertanya. "Opa, mengenai pembangunan Rumah sakit baru apa kita ambil kontraktor itu?"

Mungkin sungkan, Farah tidak menyebutkan nama kontraktor yang kami datangi kemarin.

"Apa tidak ada kontraktor lainnya Fa? Opa tidak mau berurusan dengannya lagi. Apalagi ada cucu Opa yang harus dilindungi disini." Mengusap punggungku, Opa seolah memberiku kekuatan. Bahwa aku tidak sendiri, masih ada Opa dan keluarga yang selalu ada buatku.

"Ada Opa, tapi yang lainnya tidak sebegitu bagus." Jelas Farah menatap Opa.

Menghela nafas, aku harus memutuskan hal ini. Bagaimanapun aku tidak mau impian Opa gagal. Mengesampingkan hatiku, aku harus membujuk Opa agar menyetujuinya.

Titik Temu ✔ (KBM & KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang