Bagian 11

2.4K 123 5
                                    

Silakan membaca lanjutanya di KBM APP dan KaryaKarsa. 5 Bab 7K.

Username : AnisWiji
Kalau malas link ada di bio. 😬

Selamat Membaca

Melangkahkan kaki menuju lantai dua ruang praktik dokter Nata berada. Mengetuk pintu, aku menunggu jawaban dari dalam.

"Ya, masuk!" Teriaknya, "Hallo, bagaimana kabarnya?" dokter Naya menyapaku dengan senyuman ramah, meletakkan kaca mata baca yang ia kenakan.

"Bagus, dok." Jawabku, menarik kursi di depannya dan mendaratkan tubuh disana.

"Bagus, bagaimana? Apa akhir-akhir ini sering bermimpi yang buruk?" Tanyanya, "Tidak dok, akhir ini banyak agenda di luar sih. Jadi waktu kembali ke rumah pasti langsung tidur pulas."

"Wah, hebat kamu. Perkembangan cukup pesat. Rasa pusing?"

Mengerutkan kening, aku mencoba mengingat rasa itu. Apakah akhir-akhir ini aku sering mengalaminya? Kayaknya sudah cenderung berkurang.

"Mungkin sesekali pusing ada dok."

"Berarti saya tidak harus meresepkan obat lagi. Karena saya rasa sedikit banyak sudah berkembang bagus." Tuturnya dengan tangan menggoreskan coretan di secarik kertas.

"Memang kesibukkan apa yang kamu kerjakan? Setahu saya kamu cuti?" Ujarnya penuh penasaran, "berkebun, olahraga, kalau kemarin sih ikut teman ke panti asuhan. Lihat anak-anak disana yang memiliki nasib yang sayang kurang beruntung. Membuat mata hati saya terbuka, bahwa saya tidak sendiri di dunia yang kejam ini. Mereka yang terlahir tanpa orang tua saja bisa bertahan masa saya tidak." Ceritaku kepada dokter Nata.

"Ya, memang kita perlu ke tempat-tempat seperti itu agar otak kita tidak terfokus kepada kenikmatan dunia saja. Masih banyak orang yang tidak begitu beruntung dibandingkan kita. Jadi perbanyak bersyukur dan kalau bisa membantu sedikit demi sedikit agar bisa meringankan beban mereka." Imbuhnya, terseyum aku mengiyakan ucapan dokter Nata.

"Apa dokter Nata pernah berkunjung ke tempat itu?" Selidikku, "Sering, bukan sekali dua kali tapi sering. Keluarga kami mengajarkan sejak kecil tentang nasib beberapa orang yang tidak begitu beruntung. Jadi kami sering menyisihkan sedikit rezeki buat mereka."

"Wah, ternyata dokter Nata dermawan." Pujiku, rona merah menghiasi wajah putih dokter Nata. Dokter yang memiliki darah keturunan cina. "Bukan begitu, hanya saja kebiasaan sih. Apalagi rumah sakit ini juga ada kerja sama dengan berbagai panti kalau tidak salah."

"Memang dok, tetapi saya tidak terlalu tahu atau sampai turun tangan akan acara itu."

"Lain kali kamu harus ikut, pasti seru deh." Katanya, "Siap dok."

"Yasudah, kita akhiri saja sesi konseling ini. Saya rasa sudah cukup." Dengan berjabat tangan, aku mengucapkam terima kasih dan berjalan keluar ruangan.

Nampak ramai banyak keluarga pasien yang sedang berkunjung mengisi lorong-lorong rumah sakit. Hingga kakiku melangkah menuju ke meja resepsionis. Ya, aku ingin mengajak Cika untuk makan siang di luar.

"Cik, kamu ada waktu nggak?"

"Sebentar Bu," Cika nampak memanggil temannya yang berjaga di meja resepsionis. "Mbak Mel, jaga meja resepsionis ya. Aku mau pergi dengan Bu Berlian."

"Iya," suara yang mampu aku dengar dari sudut ruangan.

"Mari Bu," Cika berdiri disampingku.

"Kita makan di restoran samping RS saja ya." Tawarku kepada Cika. Bukan hal yang mudah buatku untuk makan di luar, tetapi kondisi Cika yang membuatku berpikir untuk mengajak makan siang di dekat-dekat sini.

"Ayo Cik, kamu pesan saja. Saya hanya ingin ada teman yang menemani saya makan siang." Perintahku sesaat kami duduk di meja restoran.

"Baik Bu,"

"Jangan panggil Ibu, ini di luar jam kantor. Biasa saja."

"Hehe, maaf sudah terbiasa. Agak kagok lidahnya."

"Bisa saja kamu."
Kami memesan makanan yang akan kami santap untuk siang ini. Farah yang hari ini harus ke Bali membuatku tidak memiliki teman untuk makan siang. Hanya segelintir orang yang mampu dekat denganku, seperti Cika ini.

"Mbak, memang Mbak kenal Linda yang ingin bertemu dengan, Mbak?" Tanyanya, sesaat kami sudah selesai makan siang.

"Enggak, cuma ya tadi malam ada yang ngirimin pesan ingin bertemu. Dan namanya sama."

"Belakangan ini ada yang sering nanyain Mbak, entah siang, sore bahkan pagi." Ujarnya dengan sesekali melihat pejalan kaki di luar restoran. "Siapa?"

"Setiap aku bertanya, dia nggak jawab namanya Mbak. Terus aku jawab, Ibu Berlian sedang cuti."

"Oh, mungkin orang asing." Jawabku sekenanya.

"Tapi ada juga Mbak, wanita paruh baya yang nanyain Mbak seingetku satu minggu yang lalu." Katanya kembali.

"Palingan rekan kerja," mengambil gelas machiato dan menyesapnya.

"Mungkin ya Mbak."

"Iya, lagian kan sudah lama tidak masuk kerja. Ayo kita kembali, kasihan teman kamu."

***

Sore ini aku berjalan menuju cafe yang sudah aku sepakati dengan Linda. Entah siapa Linda itu sendiri, aku saja tidak kenal. Memang waktu janjian masih lima belas menit lagi. Tetapi aku yang sudah bosan di kantor memutuskan untuk lekas pergi.

"Mbak, orange jus ya." Pesanku kepada pelayan wanita.

"Baik, tunggu lima menit ya." Suara langkah kaki menjauh membuatku berpikir ulang tetang hidupku. Aku memang tidak tumbuh di keluarga yang utuh tetapi masih ada sosok Ayah di diri Opa yang mampu membimbingku sejauh ini. Tetapi mereka yang besar di panti asuhan pastinya jauh lebih sulit.

"Maaf, menunggu lama ya." Suara dari gadis yang bisa aku tebak menginjak bangku menengah atas.

"Maaf, anda Linda?" Tanyaku, memastikan. "Iya, saya Linda."

"Silakan duduk dulu, bisa kamu pesan minuman atau makanan."

"Iya, terima kasih."
Seorang pelayan meletakkan pesananku, "Kamu mau bicara apa? Saya tidak ada banyak waktu." Ucapku langsung ke sasaran. Karena aku paling malas jika harus berbicara dengan orang asing atau orang yang tidak aku kenal.

"Maafkan kelancangan saya, saya Linda Wiryawan putri Budi Wiryawan, Papa anda." Seketika kegiatanku untuk menyesap minuman terhenti, pandanganku tertuju kepada gadis manis dihadapanku.

"Oh...,"

"Apa Kakak tidak marah kepadaku?"

"Buat apa? Saya tidak ada kepentingan dengan anda."

"Maaf."

"Sudahlah, lebih baik kamu pulang. Nanti dicari Ayah atau Ibumu. Saya tidak mau dilaporkan gara-gara menculik anak orang."

Lebih baik pulang, dibandingkan harus berhadapan dengan anak seorang pengkhianat. Ketika aku hendak berdiri, tangan Linda mencekalku.

"Kak, boleh duduk lagi. Saya masih ingin berbicara."

"Jangan panggil saya Kakak, saya bukan Kakak kamu."

"Maaf ... saya disini ingin membicarakan Papa. Papa ingin bertemu, setidaknya satu kali saja." Pintanya dengan menundukkan pandangan.

"Buat apa? Sejak pria tua itu meninggalkan saya, saya sudah tidak mempunyai Ayah."

"Maafkan Papa, mungkin cerita yang saya ceritakan tidak bisa diterima oleh akal sehat anda, tetapi ini terjadi, setiap hari Papa sering memandang foto anda. Bukan sekali dua kali saya melihatnya. Ketika saya bertanya, kenapa Papa tidak bertemu saja. Beliau selalu bilang sudah tidak memiliki muka dihadapan anda. Beliau menahan rasa rindu kepada putrinya sendiri." Jelasnya seraya menerawang kejadian masa lampau.

"Sudahlah, saya tidak berkeinginan untuk mendengar hal ini. Itu semua buah apa yang Ayah anda tanam. Jangan mengkambing hitamkan pihak lain jika orang itulah tersangkanya." Pungkasku, berdiri dan meninggalkan cafe. Tidak lupa meninggalkan dua lembar uang merah di atas meja.

Tbc

Titik Temu ✔ (KBM & KARYAKARSA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang