Buat kalian yang nggak sabar untuk baca, yukk langsung ke KBM dan Karyakarsa.
Username: aniswiji atau link ada di bio ya
Selamat Membaca
"Kita kesana ya!" Jari telunjuk Fadhli mengarah ke rak makanan ringan dengan mendorong troli besar, dan diriku yang berjalan dibelakangnya.
"Memang mereka suka akan hal ini?" Tanyaku, ketika melihat tangan Fadhli yang sibuk mengambil beberapa makanan ringan itu. "Suka, mereka suka semua."
"Kaya anak kecil aja." Kataku, membantu Fadhli mengambil beberapa makanan ringan. "Kan memang anak kecil, makanya saya beli ini."
Mengerutkan kening, aku mencoba membaca apa yang dipikirkan Fadli. Anak kecil? Apa yang dimaksud anaknya?
Kalau aku pikir, wajar juga Fadli sudah berkeluarga. Jabatan ada, pekerjaan juga mapan. Semua yang dicari wanita ada di diri Fadhli. "Mikirin apa hayo?" Ujarnya, dengan mengibaskan tanganya di depan wajahku.
"Enggak, aneh aja."
"Apanya yang aneh," Fadhli kembali menatapku serius. "Kamu ngajakin saya, terus beli makanan ringan, terus bahas anak. Maksudnya kamu mau mengenalkan anak kamu ke saya?"
Suara tawa keluar dari mulutnya, dengan mata yang sedikit tertutup dan tangan mencoba menutup mulutnya. Apa aku berpikir terlalu jauh?
"Kenapa ketawa? Apa ada yang lucu?"
"Pemikiran kamu yang lucu." Fadhli berusaha menetralkan suara tawanya.
"Saya mengajak kemari bukan buat kamu berpikiran seperti itu, saya ingin menghibur kamu. Disana tidak hanya ada satu anak tetapi banyak anak. Jadi jangan berpikiran bahwa saya akan mengenalkanmu dengan anak saya." Jelasnya dengan wajah ceria.Astaga, Elin. Pikiranmu terlalu berlebihan. Jadi malu 'kan kamu.
"Yasudah, saya rasa ini cukup. Kita ke bagian sembako ya. Sekalian kalau kamu mau beli silakan diambil. Nanti biar saya yang bayar."
Kami menelusuri lorong rak menuju rak sembako. Tanpa sengaja, pandanganku tertuju ke sosok lelaki paruh baya yang sedang menggendong balita.
"Pak Fadhli, boleh saya tidak ikut. Saya tunggu di dalam mobil." Ujarku memohon ke Fadhli. Tidak banyak waktu untukku pergi dari sini.
Sialnya, pria itu mencoba mendekat, tidak ada banyak waktu untuk pergi dari sini.
"Elin! Ini bener kamu Nak!" Dengan tergopoh-gopoh aku pergi keluar. Mencoba mengembalikan ritme pernapasan yang sudah beradu dengan detak jantung.
Sudah tiga puluh menit aku menunggu di mobil Fadhli. Tadi Fadhli menyerahkan kunci mobilnya dan kembali ke dalam tanpa berbicara sedikitpun.
Hingga suara ketukan jendela yang aku dengar, menurunkan kaca jendela, aku melihat muka Fadhli disana. "Maaf lama ya, tunggu sebentar saya masukin barang belanjaan dulu."
Hanya anggukan kepala yang aku lakukan.
"Sudah siap?" Tanya Fadhli setelah masuk dan duduk di kursi kemudi.
"Siap." Tidak ada pembicaraan yang mengisi kami ketika mobil melaju membelah jalan.
***
"Lin, bangun sudah sampai." Tepukan di lengan membangunkanku. Ah, ternyata aku tertidur saat perjalanan. Mencoba mengumpulkan kesadaran, dan melihat bahwa mobil yang aku tumpangi sudah sampai di sebuah bangunan dengan halaman yang cukup luas. Rumah tingkat dengan desain tempo dulu, membuatku yakin jika ini panti.
"Kita ke panti?" Tanyaku, ketika melepas seatbelt. "Iya, kamu tidak suka?"
Menggelengkan kepala, "Tidak, saya suka."
"Yausdah kita turun." Kami berjalan menuju pintu bewarna putih. Fadhli mencoba mengetuk pintu. "Assalamualaikum."
Hingga ketukan ketiga, pintu terbuka dengan seorang paruh baya yang menyapa dengan senyum bahagia. "Wah, Fadhli. Sini Nak, masuk. Mari Mbak masuk sekalian."
"Wah, Ibu senang sekali Fadhli kemari ditemani wanita cantik." Ibu itu melontarkan kata sapaan, ketika kami sudah duduk di sofa ruang kerja.
"Hehehe, maaf Bu, sibuk jadi baru kali ini bisa mampir." Fadhli menggaruk belakang kepalanya yang aku rasa tidak gatal. "Iya, Ibu tahu tanggung jawab kamu yang besar, Nak. Mau Ibu buatkan apa minumnya?"
"Biasa aja Bu, jangan berlebihan."
"Yasudah, Ibu buatkan dulu." Wanita paruh baya itu pergi meninggalkan kami.
Ruangan yang aku kira empat kali tiga meter dengan desain yang cukup nyaman untuk kantor kepala panti. Dengan bunga yang menghiasi meja mempercantik ruangan ini.
"Kenapa kamu mengajak saya kemari?" Tanyaku, "Apa tidak boleh?" Bukannya menjawab, tetapi melontarkan pertanyaan kembali.
"Terserah anda." Ucapku sedikit sebal, bukanya menjawab ia malah tertawa lebar.
"Jangan cemberut, nanti cepat tua ... saya mengajak kamu kemari ingin memperkenalkan seseorang. Jadi jangan tanya lagi." Jelasnya, tanpa sedikitpun mengalihkan atensi di layar ponselnya.
Selang beberapa menit Ibu datang membawa baki, "Maaf, hanya ini yang Ibu suguhkan." Ibu panti menyuguhkan teh hangat dan beberapa camilan. "Terima kasih Bu, jadi repot ini." Ujarku sedikit tidak enak.
"Tidak Nak, sudah selayaknya Ibu menyuguhkan minuman buat tamu bukan."
"Jangan kaya gitu Bu, kaya siapa aja. Fadhli kemari juga ingin tetap bersilaturahim sekalian menjenguk anak-anak. Apa mereka sudah bangun ya Bu?" Lontaran kata yang begitu santai Fadhli ucapkan. Apa mereka sudah cukup mengenal lama?
"Aska dan Arka biasanya sudah bangun kalau jam segini. Sebentar Ibu coba lihat.""Apa tidak sekalian saja Bu, saya juga sudah rindu akan mereka." Fadhli berdiri mencoba mengikutinya. "Kamu mau ikut atau tidak?"
"Kemana?"
"Ketemu adik-adik saya," ujarnya datar. Lebih baik ikut dibandingkan harus menunggu mereka disini.
Aku berjalan mengikuti langkah kaki dua orang di depan. Sepanjang lorong banyak anak yang sedang bermain, ketika melihat sebuah ruangan terdapat banyak box bayi. Bayi yang masih begitu suci itu harus terdampar disini. Melihatnya saja membuatku menitihkan air mata. Aku tidak bisa membayangkan jika harus hidup seperti mereka."Sttt, sudah jangan menangis." Sebuah tisu Fadhli sodorkan kepadaku, mencoba menghilangkan sisa air mata. Tetapi, bukannya mereda, isakanku semakin keras.
"Kalian duduk disini saja, biar Ibu yang panggilkan Aska dan Arka." Aku merasa Ibu tahu, bahwa aku butuh waktu untuk menenangkan diri.
"Sudah, jangan menangis." Usapan lembut aku rasakan di punggung. Hingga lima menit berselang, dua anak laki-laki menghampiri kami dengan senyum cerah.
"Ayah Alka kangen!"
"Ayah Aska kangen!", seru mereka bersamaan. Dengan sigap, Fadhli jongkok dan merentangkan kedua tangan. Mencoba nerengkuh dua makhluk kecil yang sangat menggemaskan."Ayah juga kangen kalian." Ucap Fadhli setelah sesi berpelukan, mengajak mereka untuk duduk disamping kanan kiri Fadhli.
"Halo Sayang, apa kabar?" Sapaku, ketika mereka sudah duduk manis. Dengan binar yang cukup bahagia, aku mencoba membuat dua makhluk ini nyaman berada didekatku.
"Unda?"
"Bukan---," ucapan Fadhli terpotong oleh ucapanku, "Iya Sayang, ini Bunda. Sini duduk bersama Bunda." Ucapku sedikit serak. "Yee, Alka sama Aska punya unda!" Pekikan suara mereka membuat hatiku berbunga.
Hanya kata 'Bunda' membuat mereka begitu bahagia. Aska duduk dipangkuanku, mengabaikan Fadhli yang begitu kanget dengan kedekatan kami yang begitu natural.
"Arka duduk sama Ayah saja ya, Bunda tidak kuat kalau harus memangku Arka sama Aska." Hibur Fadhli yang melihat Arka ingin memeluku seperti saudara kembarnya.
Dua makhluk mungil ini membuatku tersenyum tanpa sadar, "Aska punya Bunda sama Ayah sekalang. Jadi Aska tidak cedih lagi." Ucapnya begitu polos, ketika memandang wajahku. Dua buah mata yang masih jernih, dengan pemikiran yang masih polos.
"Jangan sedih Sayang, sekarang Aska kan ada Bunda."
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Temu ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Ficção Geral"Papa meninggalkanku demi wanita itu." Berlian Angkasa