Mau baca lanjutannya? Silakan mampir di Karyakarsa harga cuma 40k sampai ektra part.
Link ada di bio.
Selamat Membaca!!
"Ibu, di mobil ada sedikit rezeki buat adek-adek saya." Kata Fadhi saat kami kembali duduk di ruang kerja Ibu Kepala Panti.
"Terima kasih lo, Nak. Padahal bulan ini sudah transfer kemarin."
"Tidak masalah, selagi saya ada rezeki kenapa tidak untuk berbagi." Jawabnya dengan senyuman. Aska dan Arka sudah kembali ke ruanganya. Kata pengasuh disini, Aska dan Arka harus mandi jadi mereka tidak ikut.
Selain itu kami berbincang ringan mengenai kondisi panti dan membahas berbagai hal mengenai donatur yang selalu menyisihkan sedikit rezekinya. Aku paham bahwa hidup tidak selamanya mudah, banyak di luaran sana yang memiliki nasib yang tidak baik. Seperti mereka, ada keinginan yang muncul di dalam hatiku untuk membahagiakan mereka.
***
"Saya bukan anak yang beruntung seperti kamu." Ucapnya, sesaat ketika mobil keluar dari halaman panti.
"Hah, apa?" Otakku seolah buntu, hari ini banyak hal yang aku dapatkan. Dan tiba-tiba Fadhli berbicara seperti itu. Kami bukanlah orang yang cukup dekat, tetapi mengapa Fadhli seolah nyaman menguatarakan hal-hal yang begitu privasi kepadaku? Atau cuma perasaanku saja.
Fadhli menoleh kearahku, tersenyum sesaat. "Saya bukan orang yang beruntung seperti kamu. Saya harus berjuang sampai di titik ini. Saya juga tidak tahu dimana orang tua saya." Jelasnya kembali.
"Kamu dulu hidup disana?" Tanyaku, sedikit sungkan apabila harus mengorek masa lalu seseorang.
Mengangguk pasti, Fadhli kembali fokus menyetir. "Saya hidup disana, tumbuh dan berkembang disana. Cukup beruntung ketika lulus bangku SMA saya mendapatkan beasiswa di universitas negeri di Jogja. Dan ya, alhamdulillah saya bisa sampai di titik ini."
"Selamat."
"Buat?"
"Hmm, semuanya. Kamu berhasil bertahan sampai saat ini. Saya nggak tahu jika saya ada di posisi kamu, apakah saya kuat." Jawabku sedikit getir, memiliki kekuasaan, kekayaan saja aku masih harus bersadar dengan obat-obatan dan psikiater.
"Bukannya saya kuat, tetapi saya belajar untuk menerima. Menerima semua yang ada dalam kehidupan saya. Terkadang saya juga kecewa mengapa nasib saya seperti ini. Tetapi berkat bimbingan pengasuh di panti, saya mampu berdamai dengan diri saya sendiri."
"Menerima?" Tanyaku, apakah aku sudah menerima semua takdir ini. Atau aku masih saja terjebak diantara kemarahan yang membuat psikisku terkadang sakit.
"Iya, kata yang cocok adalah menerima dan ikhlas. Kita mampir dulu di rumah makan Joglo ya, saya lapar juga ini sudah waktunya sholat magrib." Ajaknya, ketika mobil yang kami tumpangi mendekati sebuah restoran Jawa.
Melangkahkan kaki keluar mobil, dan berjalan menuju salah satu meja di pojok. "Kita duduk disini ya?"
"Iya," tangan Fadhli melambai mencoba memanggil pelayan untuk mendapatkan buku menu. "Silakan Pak, Bu." Ucap seorang pelayan yang menyerahkan dua buku menu andalan restoran ini.
"Saya mau pesan ayam bacem satu, sambal ati sama jus mangga. Oh, satu lagi air mineral." Menutup buku menu, Fadhli menatapku. "Mau pesan apa?"
"Emm, tongseng satu, mendoan, sama sambal cumi. Minumnya air mineral saja." Ujarku.
"Baik, tunggu sebentar ya. Makanan akan kami siapkan terlebih dahulu." Pelayan muda itu pergi meninggalkan kami.
"Saya ke mushola dulu, kita gantian saja."
"Iya," menatap tubuhnya yang menghilang di persimpangan, membuka ponsel dan beberapa notif dari Ibu, Farah maupun Opa. Memang sejak datang ke panti, aku tidak sempat untuk membuka ponsel. Kuhabiskan waktu untuk bermain dengan anak-anak disana.
Membalas pesan mereka satu per satu agar mereka tidak khawatir terhadap keberadaanku. Hingga suara pelayan mengenterupsi, menghidangkan berbagai menu yang sudah kami pesan. "Silakan dinikmati."
Dengan rambut sedikit basah, Fadhli berjalan mendekat. "Sudah datang pesanannya?"
"Sudah, saya sholat dulu kalau begitu."
"Iya, musholanya ada di dekat pohon mangga sebelah kiri dapur." Jelasnya dengan gerakan tangan seolah aku paham akan peta yang dibuatnya. Ada-ada saja laki-laki ini.
Mengangguk, aku bergegas menuju mushola.
"Kenapa tidak dimakan?" Tanyaku, saat kembali ke meja dan mendapatkan makanan belum disentuh.
"Nungguin kamu." Jawabnya, dengan menyelesaikan permainan di ponsel miliknya. "Yasudah ayo kita makan, kasihan perut kamu."
Menyantap makanan kami dengan keheningan, tidak ada satu orangpun yang berusaha mengeluarkan suara. Aku jadi paham bahwa adab Fadhli kalau makan akan diam. Hingga semua menu sudah tandas, "Alhamdulillah."
"Iya, saya juga sudah kenyang. Amunisi saya buat memegang kendali mobil full." Ujarnya, dengan mengusap perut yang sedikit buncit.
"Hahaha, bisa saja kamu. Pakai bahasa amunisi segala."
"Intinya kan ini seperti bahan bakar, kalau di senjata ini pelurunya."
***
Aku melangkah masuk ke rumah, nampaknya Ibu dan Opa belum tidur. Padahal jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam. "Assalamualaikum." Salamku ketika masuk ke dalam ruang tamu.
"Waalaikumsalam, baru sampai?" Ibu berjalan dari dapur dengan membawa air mineral.
"Iya Bu, Elin baru sampai. Oh, iya besuk Elin mau bicara sama Opa dan Ibu juga." Mengerutkan kening, Ibu nampak berpikir. "Bicara apa?"
"Ada yang ingin Elin lakukan, dan Elin pikir semua itu butuh izin Opa sama Ibu."
"Oh, yasudah kamu bersihkan tubuhmu. Langsung istirahat. Kita bicarakan besuk, Ibu pikir ini hal yang serius."
"Iya, Elin masuk dulu." Aku bergegas masuk ke dalam kamar, merebahkan tubuh di ranjang. Hmm, begitu nyaman tubuh ini. Seharian tidak bertemu ranjang, serasa tubuh ini kaku. Hingga kesadaranku direnggut oleh rasa kantuk tanpa menghiraukan kondisi tubuh yang belum mandi.
Tok... tok... tok
Suara ketukan pintu menyadarkanku, "Astaga sudah jam lima." Bergegas membuka pintu, dan mendapatkan sosok Ibu yang berdiri disana. "Ya Allah, kamu tidak mandi nak?" Pekikan suara yang menggema di penjuru rumah membuat siapapun akan terbangun.
"Sttt, jangan keras-keras Bu. Ada apa?"
"Ibu cuma mau membangunkanmu, juga mau bilang Ibu ada acara seminar di luar kota, jadi kamu harus membicarakan hal tadi malam pagi ini juga."
"Iya, yasudah Elin masuk dulu." Menutup pintu, aku bergegas mandi dan mengerjakan sholat subuh. Bisa-bisanya aku sampai ketiduran.
"Selamat Pagi Opa, Ibu." Sapaku, ketika melihat mereka sedang menikmati minuman pagi. "Pagi."
"Duduk dulu, gimana kemarin? Kamu pergi kemana saja?" Tanya Opa, menepuk satu kursi disampingnya.
"Kan Elin sudah bilang, ke panti Opa."
"Iya, Opa tahu. Tapikan belum cerita acaranya disana seperti apa." Jawabnya santai, dengan membolak balikan surat kabar pagi.
"Banyak sih, Elin nggak bisa cerita. Soalnya mulai dari mana, Elin bingung. Hehehe." Jawabku, sekenanya. Kalau dijabarkan mungkin bisa sampai siang tidak akan selesai ceritanya.
"Yasudah, kamu mau bicara apa sama kami?" Tanya Ibu mengalihkan antensi dari layar ponselnya ke arahku.
Sebenarnya aku juga bingung akan hal ini. Apa mereka akan setuju dengan usulanku?"
Tbc
040421
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Temu ✔ (KBM & KARYAKARSA)
Ficción General"Papa meninggalkanku demi wanita itu." Berlian Angkasa