Semuanya kembali normal setelah malam itu — senormal yang mampu terjadi. Itu berarti Lee Taeyong sudah tidak merasa sakit lagi, dan ia tidak ingin rokok, tapi ticnya masih ada, penyelamatnya hanya permen karet atau cokelat batang.
Jaehyun gagal untuk meyakinkannya membantu membersihkan kamar sebagai imbalan atas semua yang sudah ia lakukan, Taeyong mendengus dan berdiri di satu sudut, menontonnya menyapu dan mengepel lantai sebelum melipat dan menggantung bajunya di dalam lemari.
Setidaknya, ia menunjukkan usaha dengan mengomentari lampunya yang rusak — menunjukkan kalau ia tidak sepenuhnya cuek tentang hal ini.
"Itu lampu yang bagus."
"Tadinya. Kau harus membelikanku yang baru."
Jaehyun merasa sesuatu mengenai belakang kepalanya. Sebuah permen tak bersalah mendarat di lantai. "Apa-apaan kau?"
"Bagaimana aku bisa membeli barang yang paling murah sekali pun kalau aku bahkan tidak punya koin di kantongku?" Taeyong membuktikannya dengan menarik isi kantongnya keluar. "Tidak ada apa-apa."
"Apa kau tidak dibayar di Red Phoenix?"
"Dibayar. Tapi kartuku tidak ada di dalam tas yang disiapkan oleh siapa pun itu sebelum mereka mengikatku dan membuangku di kursi belakang. Tidak penting. Tidak ada toko di rumah sakit jiwa, 'kan?"
Jas terakhir tergantung di lemari sebelum Jaehyun mengalihkan perhatiannya ke pria berambut karamel. "Tidak ada. Tapi kau akan diberi makanan ringan. Aku sudah meminta stafnya secara spesifik untuk memberimu permen manis dan cokelat, tapi dalam jumlah yang wajar. Aku tidak yakin bagaimana efek gula di tubuhmu yang sudah bebas nikotin."
"Apa aku sudah benar-benar bebas nikotin?"
"Mereka mengadakan pemeriksaan rutin di sana. Kau akan tahu." Jaehyun menaruh tas di atas kasur dan menatap kekosongannya. "Apa kau perlu pakaian? Maksudku, pakaian normal. Untuk alasan yang tidak disebutkan padaku."
Taeyong akhirnya meninggalkan posisinya di sudut ruangan, kini berdiri di samping Jaehyun. "Mm, entahlah, tapi kalau kau mau, kau bisa memberiku kenang-kenangan. Kau tahu, kalau aku merindukanmu dan kau tidak ada di sana."
Kata-kata itu membuat Jaehyun tersedak, dan ia memegangi lehernya sambil terbatuk, matanya berair. "Sialan!"
"Kenapa?" Taeyong bertanya, dengan polos. Matanya menunjukkan ketulusan hingga Jaehyun ingin menganggap semua ini mimpi, bahwa ia sedang berada di dimensi yang berbeda. Hanya suara isapan lolipop yang berisik yang mengingatkannya kalau ini bukan mimpi, karena kalau ini mimpi, suara menjijikkan itu tidak akan ada.
Mengabaikan sifatnya yang terus terang, Jaehyun memilih untuk memasukkan beberapa potong baju miliknya ke dalam tas itu, kemudian menutupnya. "Kau baru saja memberiku pilihan apa aku ingin memberimu pakaian atau tidak. Dulu kau tidak akan mengizinkanku melakukan apa yang kumau."
"Tentu. Teruslah bertingkah seolah kau mengenalku."
"Bukannya aku memang sudah mengenalmu?" Dengan tidak ada lagi barang yang dimiliki Taeyong, Jaehyun mengangkat tas itu dan membuka pintunya, melirik yang lebih tua dengan tatapan yang melembut.
Taeyong bergeming, memunggungi yang lebih muda. Jaehyun tidak tahu apa yang sedang dipandangi Taeyong namun ia merasa ia tidak boleh terburu-buru.
"Ini sudah menjadi kamarku selama dua minggu. Tentunya tidak seperti kamarku di Red Phoenix untuk beberapa alasan, tapi di sini nyaman. Sangat nyaman. Apa kau mau tahu alasannya?"
"Katakan saja."
Kemudian ia akhirnya melihat wajah Taeyong, datar dan tidak bisa dibaca. Seperti biasanya. Kecuali saat ia melihat matanya, Jaehyun melihat sesuatu untuk pertama kalinya di sana, sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya.
Kerinduan.
"Kurasa kau sudah tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] What Lies Ahead: Lionheart (JaeYong)
Детектив / ТриллерTaeyong hidup. Kenapa tidak? Dia kejam, dibalut topeng pesonanya dan dibakar oleh obsesinya terhadap Jaehyun. Dia tidak akan membiarkan tangan kematian menjangkaunya selama Jaehyun masih ada di sekitarnya. Karena setelah bertahun-tahun, akhirnya ada...