Jalanan lembap, menguarkan aroma hujan yang aneh namun menenangkan. Jendela mobil dibuka seraya mereka berkendara, dan Taeyong menikmati angin sejuk yang menggigiti kulitnya.
"Karena kau mengajakku kencan, kurasa aku punya hak untuk memilih apa yang akan kita lakukan hari ini. Mari lakukan apa yang ingin kulakukan. Bagaimana?"
"Kalau aku bilang tidak?"
"Bagaimana kalau aku memotong rem mobil ini dan membiarkanmu menabrak pohon, Jaehyun? Ini bukan perkara ya atau tidak; kau mengajakku kencan, aku seharusnya juga punya kuasa yang setara. Bukan hanya karena kita sedang ada di tahap kita-hanya-teman-tapi-berkencan maka kau bisa mengontrolku seenaknya. Kau boleh mengaturku, tapi aku juga boleh. Aku membuatmu senang dengan kehadiranku seperti yang kau inginkan. Yang bisa kau lakukan adalah membiarkanku memilih tempatnya."
"Tuhan," Sang Kingpin mengerang, meliriknya sebal. "Kau berpidato panjang lebar padahal kau hanya perlu bilang kau ingin pergi ke suatu tempat spesifik. Kau terlalu banyak bicara, Taeyong. Sebaiknya kau menggunakan mulut itu untuk hal yang lebih baik. Tapi tidak hari ini."
Taeyong terus memandanginya hingga ia memecah keheningan, mata birunya tak berkedip dan wajahnya kosong bagai kertas putih. "Aku akan memanfaatkan sistem senioritas Korea dan hei, aku lebih tua darimu jadi kau harus mendengarkanku, entah itu pidato atau puisi. Jadi," Yang lebih tua mengetuk dahinya dengan jari. "Aku ingin makanan yang berminyak. Dibungkus. Karena ini kencan eksklusif, aku tidak mau berbagi tempat dengan orang lain."
"...Pizza dan bir? Benarkah? Dan ke mana kita akan pergi? Taeyong aku tidak mau pul—"
Taeyong dengan tidak sopan memotong ucapannya. "Pergi ke Père Lachaise."
Mobil berdecit berhenti, membuat Taeyong terpental ke depan. "Apa-apaan kau?"
Wajah Jaehyun nampak bingung, dan juga kesabarannya yang mulai menipis. "Itu kuburan dan itu ada di arah yang berlawanan. Tidak searah dengan tujuan kita."
"Aku tahu. Cepatlah," Taeyong melambaikan tangannya. "Beli pizza dan bir dan juga lolipop kalau ada, lalu ayo kunjungi yang sudah mati." Nada bersemangat keluar dari bibirnya. "Romantis bukan. Kita bisa mengalahkan Romeo dan Juliet."
Tuhan. Jaehyun ingin memutar balik dan membawa teman kencannya ke klinik terdekat daripada melanjutkan kencan aneh ini. Ia sebenarnya ingin mengungkapkan ketertarikannya pada Taeyong... dan kini sudah lenyap dari niatnya.
Kurasa aku sia-sia membayar rumah sakit jiwa itu.
*
Perjalanan kembali itu memakan waktu satu jam karena jalanan sedang licin dan ada kecelakaan kecil yang melibatkan dua buah mobil, memperlambat lalu lintas yang padat.
Hujan masih belum turun ketika mereka akhirnya memarkir mobil di tempat yang kosong. Tidak ada orang di sana, sudah jelas, dan itu sedikit membuat Jung Jaehyun ngeri. Ia adalah pria pemberani, sudah dicoba dan diuji, namun hantu adalah masalah lain. Meskipun ini siang hari, langit sedang dikerubungi awan kelabu, tidak memberikan celah bagi sinar matahari.
"Taeyong," Jaehyun berjalan lesu, mengikuti yang lebih tua. Pemandangan ini mengingatkannya pada waktu si rambut karamel menggali kuburan Kim Jaeseok untuk melaksanakan rencana mengerikannya. "Tidak ada orang di sini dan ini... menyeramkan."
"Karena tadi hujan dan tidak ada yang mau mengunjungi kerabat mereka yang sudah membusuk saat langit sedang menangis." Yang lebih tua berhenti di depan sebuah nisan dan mendudukinya, meletakkan kotak pizza di sebelahnya. Jaehyun mengikutinya duduk dengan sekantong bir. "Kita menemukan tempat yang kering untuk diduduki, ya? Ini cukup nyaman. Sunyi dan juga sangat privat. Sebuah keajaiban di dalam kerajaan mayat." Humor gelap itu menggelitiknya lagi, membuatnya terbahak-bahak, bahunya bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
[3] What Lies Ahead: Lionheart (JaeYong)
Tajemnica / ThrillerTaeyong hidup. Kenapa tidak? Dia kejam, dibalut topeng pesonanya dan dibakar oleh obsesinya terhadap Jaehyun. Dia tidak akan membiarkan tangan kematian menjangkaunya selama Jaehyun masih ada di sekitarnya. Karena setelah bertahun-tahun, akhirnya ada...