Part 20

655 134 6
                                    

Rutinitas itu berjalan selama beberapa minggu. Taeyong masih melewatkan olahraga pagi, tidak memiliki kekuatan dan keberanian untuk bergabung dengan keramaian. Setelah sarapan ia meminum obat yang sudah diresepkan sebelum Chungha membawanya ke ruang pemeriksaan fisik.

Lukanya sudah sembuh, tapi traumanya masih harus diawasi. Jika Chungha ada di sekitarnya, ia tidak keberatan dengan perhatian yang didapatkannya dari para staf lain, kini perempuan itu menjadi sumber kenyamanan dan keamanan baru dan juga menjadi pengingat bahwa Taeyong tidak perlu menyakiti orang lain lagi setelah Chungha.

Seharusnya, ia sudah belajar untuk meminta maaf sekarang. Hal ini selalu disebutkan setiap hari di sesi terapinya dengan Dokter Kim, dan dokternya sudah berkata bahwa yang layak menjadi penerima pertama kata maafnya yang tulus adalah Kim Chungha karena wanita itu adalah orang terdekatnya untuk saat ini, meski masih ada banyak orang di luar sana yang harus mendapat permintaan maaf dari Taeyong atas perbuatannya.

Walau tiap kali ada kesempatan, ia selalu berubah menjadi pengecut. Bukan karena ia malu, namun karena ia percaya bahwa orang lain lebih dulu menyinggungnya, dan pelakunya bukanlah perawatnya itu melainkan pria yang berjanji akan menemuinya kapan pun ia bisa. Sudah hampir dua bulan sejak ia menjadi pasien di sini dan bayangan Jaehyun belum nampak sama sekali.

Dia harus minta maaf padaku kalau dia akhirnya berani untuk datang dan menemui temannya yang seorang kriminal.

Jadi ia menunda meminta maaf, mendorongnya ke pikirannya yang terdalam dan sengaja melupakannya setelah sesinya berakhir.

Dan sejujurnya, terapi yang dijalaninya membantu menghilangkan pikiran jahatnya dan juga bayangan-bayangan yang muncul ketika kegelapan malam menghampirinya. Ia masih berjuang melawan hal-hal itu, terutama saat ia teringat akan keluarganya di tengah-tengah sesinya dengan Junmyeon, karena mereka adalah alasan utama dari kepribadiannya yang destruktif.

Seperti malam ini, di tengah kamarnya yang luas dan kosong, Taeyong duduk di kasurnya dengan sosok semu ayahnya yang muncul di hadapannya.

Ia tahu ini tidak nyata. Ia tahu ini adalah perbuatannya sendiri, pikiran alam bawah sadarnya mencoba bersatu dengan kebencian yang masih bertengger di hati dan pikirannya.

"Hei, kau sudah mati, 'kan?" Taeyong menghirup napas pelan, menggosok hidungnya. "Aku mencoba memperbaiki hidupku sekarang. Tanpamu. Aku bahkan tidak pernah membutuhkanmu." Lee Namgyu tidak bergerak dari posisinya di pintu, menatapnya lurus, terlihat pucat. Penampilannya seperti di foto yang didapatnya saat di persembunyian. Tangan Taeyong menjambaki rambutnya sendiri, menariknya ketika rasa putus asa bergejolak di dalam dirinya, memanjat dan menjuntai di tiap ruang otaknya. "Bisakah kau pergi sekarang, Namgyu? Tolong?" Ia bahkan tidak menyadari kalau ia memohon untuk pertama kalinya. "Pergilah... Tinggalkan aku..."

Tapi Lee Namgyu bergeming, kini ia bicara, mengatakan bahwa Taeyong sangat mengecewakan karena ia adalah putra yang sakit jiwa, tidak berguna, pewaris yang tidak membanggakan.

Kalimat itu meledakkan granat di dalam hatinya.

"Pergi, Ayah! Tinggalkan aku sendiri!"

Lampu menyala. Lee Namgyu sudah lenyap. Di sana, di pintu berdirilah perawatnya, wajah cantiknya memancarkan rasa khawatir.

Chungha bergegas ke sisinya, berusaha menenangkannya. "Taeyong, Taeyong, lihat aku. Ini Chungha. Hei, lihat aku."

Ia memegang wajahnya dengan dua tangan, memaksa sepasang mata biru itu menatap mata cokelatnya. "Napasmu tidak normal, Taeyong, lihat aku. Ikuti napasku, oke? Perlahan. Tarik napas... keluarkan..."

Mereka melakukannya selama satu hingga dua menit hingga sang pasien sudah lebih tenang, matanya berkabut dan ia mengerjap berusaha mencegah air matanya turun.

Taeyong melepaskan diri dari perawatnya, matanya bergerak sana-sini dan terlihat waspada seperti ada orang tak terlihat di sekitarnya. "Apa kau sendirian?"

"Ya. Apa yang terjadi?"

"Ayahku datang."

"Ayahmu...? Bukannya dia sudah meninggal?"

"Kau pikir aku tidak tahu? Dia sudah mati. Tapi dia ada di sini. Ini berarti terapi dengan Junmyeon tidak cukup. Aku selalu di sini, tidak pernah ke mana-mana, dan ini mulai terasa menyesak—"

"Pergilah ke luar dan berbaur dengan yang lain." Chungha berkata dengan nada datar. "Apa kau tidak tahu kalau isolasi dan kegelapan adalah bahan utama dari pikiran buruk seseorang yang sakit jiwa? Dua bulan sudah berlalu dan kau harus mengambil satu langkah maju. Kalau kau tidak mencobanya, bagaimana kau bisa tahu apakah kau akan baik-baik saja di keramaian?" Perawat itu mengambil buku jurnal dari lantai dan menjatuhkannya di pangkuannya — pasti tadi ia melemparnya. "Kalau kau merasa bingung dan frustasi, Dokter Kim bilang kau harus menulisnya di sini dan merenungkannya. Bahkan pikiran yang paling tidak penting sekali pun. Kau harus mengosongkan pikiranmu, Taeyong."

Ia menoleh ke arah sang pasien, sudah terlihat lebih baik sekarang. Taeyong meremas buku catatan itu sebelum memanggilnya. "Chungha."

"Ya?"

"Maaf. Dan terima kasih."

Wajahnya yang tersenyum ceria adalah hal yang terakhir dilihatnya sebelum pintu ditutup lagi. Anehnya, senyum itu mengangkat beban dari dadanya, mendinginkan rasa panas dari amarahnya.

Taeyong membuka halaman jurnalnya, menulis di halaman yang kosong, menulisnya dengan berantakan.

Dua bulan.

Aku masih mengikuti terapi dengan Junmyeon. Kadang aku tidur nyenyak, kadang tidak. Malam ini aku melihat Namgyu. Dia bilang aku aib keluarga. Aku tidak sempat bilang padanya kalau dia sudah kehilangan keluarganya, kehilangan kami. Tapi itu sudah tidak penting lagi. Dia boleh mendatangiku lagi dan aku akan ingat kalau dia sudah tidak ada dan kata-katanya tidak akan bisa menggangguku lagi.

Chungha bilang aku harus keluar dari kamarku dan bergaul dengan yang lain. Aku akan mencobanya. Aku sudah minta maaf padanya. Aku tidak tahu bagaimana perasaannya tapi kurasa aku sudah melakukan hal baik karena dia tersenyum padaku. Aku sudah dimaafkan.

Lihat, aku sudah membaik. Aku sudah banyak menulis, 'kan? Aku belum menusuk siapa pun dengan pulpen ini. Semoga saja tidak pernah.

Dua bulan.

Jaehyun belum juga datang.

Aku merindukannya.

Sangat.

[3] What Lies Ahead: Lionheart (JaeYong)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang