Throwback: Fate

32 10 1
                                    

2018

Terhitung tiga bulan Dewa Ariza resmi menjadi anak gaul Surabaya. Memang rejekinya, tidak lama setelah wisuda dia diterima di salah satu perusahaan provider di kota besar itu sebagai bagian dari tim IT.

Pekerjaan ini sudah menjadi zona nyamannya. Surabaya nyaman ditinggali, di kantor ia cepat beradaptasi karena didukung pula oleh tim yang kompak dan atasan yang manusiawi. Terlebih rekan-rekan kerjanya banyak yang pecinta basket seperti dirinya, dan seringkali menghabiskan Minggu pagi di lapangan basket komplek kontrakan mereka.

"Hapemu bunyi terus tuh tang tung tang tung." Arman masuk setelah beristirahat sebentar di pinggir lapangan.

Dewa yang masih asik men-dribble bola sedikit mengacuhkannya. Palingan chat grup. Weekend seperti ini kalau bukan ada yang kirim undangan, ya biasanya bertamu ke undangan itu sendiri, kemudian jadi bom foto. Chat grup di usia sekarang memang tidak jauh-jauh dari topik pernikahan.

Matahari mulai terik. Mereka menyudahi permainan dan bersiap untuk mampir ke warung rawon setan langganan. Sesampainya Dewa di kontrakan pun ponselnya masih belum dia buka. Rebahan sejenak sebelum akhirnya beranjak untuk mandi.

Ada satu panggilan tak terjawab dari David. Sobatnya sejak SMA. Dewa segera membuka pesan grup alumni SMA yang sudah puluhan itu dan membacanya satu per satu.



ALUMNI SMANLAN'12

Chitta smanlan
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un
Telah berpulang Ayahanda dari teman tersayang kita, Devita Yura pagi tadi
Jenazah akan dimakamkan sore ini pukul 17:00
Mohon doa untuk almarhum dan semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan


Dewa membacanya dengan setengah tidak percaya. Namun di bawahnya sudah banyak balasan ucapan belasungkawa dari teman-teman lainnya. Dia segera membuka personal chat David.

David smanlan
Bro, baca grup!
Bro, kemana sih ditelpon gak angkat??
Tar sore kita pada mau ngelayat ikut gak woy


Diambilnya jaket dan kunci mobil di atas mejanya, sambil tangan kirinya sibuk menghubungi David balik.

"Halo, Vid?! Ini aku berangkat. Semoga sampe sana masih sempet ikut makamin."

"Yowes, tiati di jalan. Makaminnya masih jam 5 sore nunggu keluarga bapaknya yang dari Jakarta. Bro, yang sabar yo—"

Sejujurnya Dewa berangkat dalam keadaan lelah. Biasanya setelah sepagian main basket, siangnya dia butuh tidur supaya besok Senin bisa kembali kerja dengan fresh.
Namun ketika ia mengingat momen bersama Bapak, panggilan yang sama yang diucap Yura, seletih sesibuk apa pun Dewa tetap akan mendatanginya.

Dewa adalah laki-laki pertama yang dikenalkan Yura ke Bapak. Walaupun saat itu masih mengaku menjadi teman dekat, Bapak tentulah tahu kalau Dewa menjadi saingan beratnya. Bapak sebagai cinta pertama gadis sulungnya itu, telah berpindah ke anak baik bernama Dewa Ariza.

Namun begitu, Bapak meninggalkan kesan yang positif bagi Dewa. Setiap Dewa mampir ke rumah Yura walaupun sekedar untuk mengantarkannya pulang, apabila saat itu Bapak juga ada di rumah, Dewa tak pernah balik dengan tangan kosong. Sekalipun hanya mangga yang dipetik langsung oleh Bapak dari pohon halaman rumah belakang, atau ketika Bapak iseng membuat pisang goreng.

Dewa menyeka bekas air mata yang sempat keluar di ujung kiri matanya. Sekitar hampir tiga jam perjalanannya menuju Kediri, akhirnya ia sampai di tempat pemakaman pukul 16:43. Masih ada sedikit waktu sebelum Bapak dimakamkan.

Suara ambulans mendekat ketika waktu menunjukkan pukul lima sore. Iring-iringan yang datang cukup ramai hadir di tengah duka. Tidak heran, Bapak adalah orang baik. Semua yang ikut mengantarkan ke peristirahatan Bapak terakhir ini pasti merasa kehilangan. Dari kejauhan Dewa melihat Yura sedang menggenggam tangan ibunya turun dari salah satu mobil. Tatapannya terlihat kosong dan pucat. Namun sesekali terlihat ada paksaan senyum tipis di wajahnya setiap kali dijabat oleh pelayat yang datang.

Dewa melebur ikut menggotong keranda di belakang Yoga, adik laki-laki Yura. Sedangkan adik bungsunya, Yosi, yang masih SMP, terlihat masih sesenggukan di balik badan ibunya. Bapak terkena serangan jantung. Kematiannya sangat mendadak bagi keluarga kecil ini. Pagi tadi masih membangunkan anak-anaknya untuk solat Subuh, siapa yang sangka sore di hari yang sama sudah dipanggil Yang Maha Kuasa.

Di lemparan tanah pertama, mulai terdengar isakan dari Ibu dan Yosi. Dewa menatap pemandangan di hadapannya itu dengan pedih. Dia semakin merasa ikut sakit melihat Yura yang lagi-lagi terlihat biasa-biasa saja sambil menepuk-nepuk pundak ibunya.


Malam hari selesai pengajian, Dewa berpamitan dengan Ibu. Dia harus segera kembali ke Surabaya untuk bekerja esok hari.

"Yura mana, Ga?"

"Di belakang tadi, Mas," jawab Yoga. "Mbak Yura kayaknya yang paling kuat. Pas kita semua nangis di rumah sakit sampai makamin Bapak, cuma Mbak Yura yang nenangin kita."

Dewa mendengar pengakuan dari Yoga dengan tidak percaya. Ia segera pamit dan menyusul Yura ke halaman belakang. Gadis itu sedang duduk di ayunan bawah pohon mangga kesayangan Bapak yang selalu berbuah subur dan manis ketika musimnya.

"Ra—" 

"Dewa? Makasih ya sudah nyempetin datang," ucap Yura dengan senyum simpul. Dewa hanya mengangguk dan ikut duduk di sebelahnya.

"Yura—" panggilnya setelah hening beberapa saat.

"Hm?"

"Aku tau seharian ini kamu sudah berusaha kuat di depan Ibu, Yoga, sama Yosi. Aku tau kamu mau membuktikan bahwa kamu bisa jadi anak pertama yang bisa diandalkan—"

"Emang harus gitu kan, Dew?" sanggah Yura. "Bagaimanapun juga aku anak pertama. Udah gak ada Bapak, tanggung jawab beliau mau gak mau jadi tanggung jawabku sekarang, Dew. Kalau bukan aku yang harus kuat, siapa lagi?" jelas Yura yang terdengar kuat namun sekaligus setengah kacau

"Ngerti, Ra. Dan karena itulah. Bisa gak untuk saat ini, sebentar aja, kamu keluarin yang sudah kamu pendam sedari pagi tadi?" terang Dewa dengan nada selembut mungkin.

Mata Yura mulai berkaca-kaca. Sebagai sesama anak pertama, Dewa mengerti yang Yura rasakan. Dari luar seakan terlihat tegar dan kuat, namun sejatinya mereka tidak punya pilihan selain itu demi menjadi panutan bagi adik-adik dan cerminan dari keluarga.

"Kamu gak harus terus-terusan kuat, Ra. Kamu gak apa-apa kalau merasa sedih. Itu wajar ..."

Kata-kata Dewa seperti men-trigger air matanya yang sedari tadi ditahan. Perempuan itu langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan, dan tak lama setelah itu terdengar suara isakan. Dengan perlahan Dewa menepuk-nepuk pundak Yura, membiarkan Yura melepas tangisnya. 

Menangis bukan berarti lemah. Dengan menangis membuat diri menjadi lebih lega, sehingga bisa menjalani hari setelahnya dengan lebih kuat. Begitu kata Mbak La dulu, ketika Dewa spontan menangisi kepergian Hosun.

Yura tidak bisa berpura-pura di depan Dewa bahwa dia sebenarnya tidak baik-baik saja. Kekalutannya menghadapi hari tanpa Bapak, membayangkan Yosi yang masih SMP menjadi yatim, mengingat uang kuliah untuk Yoga yang tidak sedikit, dan Ibu yang harus membesarkan tiga anak sendirian, membuat isakan Yura semakin tersengguk-sengguk. Dia harus apa sebagai anak pertama? Kenapa Bapak pergi begitu tiba-tiba? Dan banyak pikiran serta pertanyaan lain yang tak henti-hentinya muncul di kepala Yura, yang tentu saja sudah tidak bisa lagi dijawab oleh Bapak.


***

PoV: DEWA // DAY6 DowoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang