-02. MEMORIST; pada sebuah kapal

38 1 0
                                    

Pada beberapa kisah, kebahagian adalah hal yang sedang menanti sebuah kesedihan. Rasanya jelas untukku. Tapi raganya senantiasa sudah dimiliki.


Lita terduduk ditepi pantai, pandangannya menatap lurus kedepan, nafas beratnya tersamarkan oleh gemuruh angin pantai. Pikirannya kosong, entah sedang mengawang-awang kemana.

Yaps! Lita sedang dipantai. Menghilang sejenak dari rasa sakit berkepanjangan. Untuk kali ini saja Lita berbagi perasaannya dengan alam, walau pada kenyataan Lita hanya tersenyum kecil melihat sekeliling pantai. Berharap semesta mengerti dengan perasaannya yang tak bisa dibicarakan baik-baik. Seandainya mampu, ingin rasanya Lita meneriakkan segala beban yang mengikutinya.

Seharusnya Lita menikmati sore di pantai ini dengan pikiran tenangnya. Tapi dengan malangnya, tiba-tiba saja Lita teringat dengan peristiwa beberapa tahun lalu. Ah, Lita benci jika sudah teringat hal semacam itu.

13 Mei 2019...

Hari itu, tujuh hari sebelum wisuda aku dan Haikal. Aku dan Haikal melakukan rekreasi yang hanya untuk mendinginkan isi kepala setelah bergumul dengan skripsi kami. Sebenarnya itu ide dari Haikal, kebetulan aku ngikut saja rencana Haikal. Aku yang tentu saja memiliki perasaan untuk Haikal, lantas mengiyakan ajakan Haikal. Tidak ada hubungan lebih dari sekedar teman. Tapi anehnya aku dan Haikal selalu terlihat seperti pasasangan kekasih. Bahkan kemanapun aku pergi selalu bersama dengan Haikal, sama halnya seperti pada hari ini juga.

Disebuah pedesaan, aku diajak ke sebuah telaga yang sungguh mengindahkan mataku. Sungguh pemandangan disekelilingku tak pernah aku temui dikota ramai polusi ini. Udaranya sangat sejuk, bahkan airnya sejernih itu. Sampai-sampai riuh airnya berwarna biru terang.

Aku speechless. Terpana sekali lagi oleh keindahan disekelilingku. Sementara Haikal, lelaki disebelahku seperti ada gurat kesedihan di air mukanya. Tak ku hiaraukan, barangkali memang Haikal kecapean sebab menyupiriku hampir tiga jam lamanya.

"Gimana suka, gak?" Kata Haikal disampingku. Kali ini Haikal tersenyum manis, tapi masih dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

"Suka. Bahkan suka banget." jawabku seraya tak henti-hentinya memandang sekelilingku.

Haikal berjalan ke tepi telaga. Kemudian melambaikan tangannya kearahku sambil tersenyum penuh arti, pertanda menyuruhku untuk segera menyusulnya.

Aku berjalan kearah Haikal, tentunya dengan langkah kecil. Membalas senyum Haikal yang membuatku semakin salah tingkah. Rasanya senang sekali melihat ketampan Haikal yang hanya dilihat olehku seorang. Pasalnya tempat disini sungguh sepi.

"Hati-hati." ujarnya sambil memegangi tanganku.

"Wohooo, kapal siapa nih? Kamu dapet darimana, Kal?" Sekali lagi aku terkejut.

"Rahasia. Yang penting sekarang kamu tinggal naik."

"Ah gak seru. Mainnya rahasia-rahasian." Kataku merajuk.

Haikal tertawa kecil.

"Maaf, ya, mainnya cuma disini. Gak bisa bawa kamu ke tempat mahal. Soalnya uang di dompet kusutku kurang banyak." katanya dengan nada bercanda tapi terkesan serius.

Aku mendengus kesal. Kenapa pula dia harus bicara seperti itu.

"Haikal, kadang yang murah juga memberikan kesan yang layak. Coba lihat sekeliling kita, walaupun murah tapi sama sekali tidak murahan. Semuanya asli tanpa rekayasa." Lantas aku menoyor kepalanya. Haikal mendoyong, kapal kecil yang kami tumpangi sedikit oleng. Aku panik memekik-mekik, sementara Haikal tertawa puas.

Like a Flowing WindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang