Malam hari saat semua orang terlelap, Yuki terbangun dari tidurnya ketika tenggorokannya terasa kering. Dia memindahkan tangan Raphael yang melingkar di perutnya pelan-pelan, beranjak dari sofa yang menjadi tempat tidur keduanya- beruntung sofa itu cukup menampung tubuh mereka. Padahal Yuki sudah meyakinkan Raphael- bahwa dia bisa menjaga ibunya sendirian, tapi lelaki muda itu bersikeras untuk menemani Yuki.
Yuki menghabiskan segelas air putih, dia menoleh pada Fahira yang masih setia memejamkan mata. Dengan sedih Yuki menghampiri ibunya, menggenggam tangannya yang bebas dari selang infus.
"Kapan Bunda bangun, Yuki kangen." Bisiknya di tengah keheningan. Yuki menarik napas berat, dia mencium tangan Fahira sebelum kembali ke sisi Raphael.
Raphael dengan otomatis menempatkan tangannya lagi di perut Yuki, mendekapnya erat. Dari jarak sedekat ini Yuki bisa melihat bentuk wajah Raphael dengan lebih jelas, semakin dilihat semakin dia terlihat sempurna di matanya. Sayangnya wajah sempurna itu jarang sekali menunjukan senyuman, padahal Raphael akan terlihat lebih rupawan dengan senyumannya.
Tanpa sadar Yuki menjalankan tangannya di wajah Raphael. Dari alisnya yang seperti lukisan, hidungnya yang tinggi pas, bibir yang beberapa kali telah dia rasakan- memikirkan itu membuat Yuki merona. Serta rahang tegas selayaknya pahatan.
"Aku bangun." Yuki menarik tangannya cepat. Pada saat itu Raphael membuka matanya. Yuki seketika terperangkap oleh mata sebiru lautan Raphael.
"Jangan suka ganggu yang lagi tidur, kalau dia sampai bangun kamu yang kerepotan." ucap Raphael pelan.
"Ngomong apa sih." Yuki menutup wajah Raphael dengan kedua tangannya, wajahnya merona. Matang.
"Kenapa bangun?" ucap Raphael tanpa menyingkirkan tangan Yuki dari wajahnya.
"Haus."
"Mau aku ambilkan?"
"Aku udah minum, sekarang mau tidur lagi." Ucapnya melepaskan wajah Raphael.
Raphael mengeratkan pelukannya saat Yuki meringkuk di dadanya. Mereka akan kembali tidur, saat monitor yang terhubung dengan Fahira berbunyi nyaring. Yuki melompat turun dari sofa, secepat mungkin mendekati Ibunya. Begitu juga dengan Raphael.
"Bunda, Bunda kenapa?" Yuki menggenggam tangan Fahira erat.
Bunyi alat itu terdengar semakin keras dan cepat, membuat Yuki ketakutan. Raphael keluar dari kamar untuk mencari dokter yang berjaga saat itu. Perlahan tapi pasti, Fahira membuka matanya kembali. Saat Raphael datang bersama dokter, Yuki ditarik keluar dari ruang rawat Fahira. Dia harus menunggu cukup lama hingga dokter keluar dan menyatakan bahwa Ibunya berhasil melewati masa koma.
"Yuki kangen Bunda." ucap Yuki tersenyum lebar dengan mata berkaca-kaca.
"Bunda juga kangen kamu." Suaranya masih sedikit serak. "Kamu baik-baik saja?" Yuki menganggukkan kepala sebagai jawaban. Fahira mengalihkan pandangannya pada Raphael yang berdiri di belakang Yuki.
"Terima kasih sudah menjaga anak saya." Ucapnya, tulus.
"Kalau saya tidak menjaga anak tante, itu sama saja saya membunuh diri pelan-pelan." ucap Raphael, tak main-main. Kalimat itu membuat Fahira memandang Yuki.
Yuki menatap Fahira lama- sedikit gugup, mungkin ini waktunya dia bicara mengenai Raphael. "Bunda, sebenarnya Raphael itu ..."
"Bunda tahu." Fahira memotong kalimatnya. Bibirnya yang pucat dihiasi senyuman, tangannya terangkat untuk menggapai pipi Yuki. "Asal kamu bahagia, bersama siapapun kamu nanti, Bunda juga akan bahagia." Ucapnya. Karena Fahira akan melakukan apa pun hanya untuk Yuki.
KAMU SEDANG MEMBACA
RedMoon || AlphaSoul
FantasyWARNING 18+ Sebagai darah campuran, Yuki tak bisa meminta banyak hal. Yang dia inginkan dalam hidupnya hanyalah ketenangan. Karena itu dia berusaha agar orang-orang tak melihatnya, agar hidupnya yang berat menjadi sedikit lebih ringan. Tapi bagaiman...