Ternyata ini tidak seburuk perkiraan, Yuki sama sekali tidak menyangka bahwa ia bisa menikmati hari tanpa gangguan dari Sinta atau orang lain. Hanya di malam kedua kemping, dua gadis yang satu tenda dengannya memutuskan pindah. Sejujurnya itu bagus, Yuki punya ruang lebih dan dia tak perlu canggung lagi.
Gerbang kokoh yang memisahkan antara hutan dan tempat berkemah itu di buka, aura mistis berembus bersama dengan angin. Saat ini semua murid- yang dibagi menjadi empat kelompok dibawa memasuki hutan, mereka akan mempelajari salah satu prasasti kuno yang letaknya cukup jauh di dalam hutan. Sebagian besar mengeluhkan kegiatan kali ini, memasuki hutan rimbun bukan hal menyenangkan. Terlebih lagi hutan itu, dilihat dari sudut mana pun berbahaya. Tak sedikit murid perempuan yang berteriak histeris saat mendengar suara binatang liar, atau mengerang kesakitan ketika serangga menggigit kulit.
Akhirnya setelah hampir satu jam perjalanan, mereka sampai di tempat prasasti itu berada. Yuki terpaku melihat patung batu berukuran sangat besar berdiri kokoh di antara tanaman liar, harimau dan serigala itu seakan diberkahi sinar matahari yang sempurna. Pemandangan itu begitu memukau, bukan hanya Yuki tetapi semua orang yang melihatnya. Rasanya pun sepadan dengan perjalanan mereka.
"Wah, berasa ketemu nenek moyang." Ujar Aurora yang entah sejak kapan berdiri di samping Yuki. "Hai, kayak udah lama nggak ketemu ya." Sapanya sambil terkekeh.
"Bukannya kamu di kelompok dua?" ucap Yuki. Kelompok dua melakukan perjalanan ke prasasti di tempat yang lebih dekat, namun masih berada di kawasan yang sama.
"Kamu merhatiin aku. Oh atau, kamu merhatiin Raphael." Karena sejak awal Aurora terus bersama kakaknya. Dia tersenyum lebar saat melihat wajah Yuki mulai merona. "Raphael nyuruh aku pindah kelompok, biar bisa mengawasi kamu." Ucapnya setengah jujur. Raphael tidak memintanya pindah kelompok, Aurora sendiri yang mengusulkan ide itu. Tapi mengingat Raphael tidak mencegahnya artinya lelaki itu setuju.
"Mengawasi apa?"
"Kan dari kemarin kamu ditempelin sama cowok itu." ucap Aurora melihat ke belakang Yuki.
Banyu mendekat dengan sebotol air di tangannya, Yuki tiba-tiba salah tingkah. Jadi selama ini Raphael diam-diam juga memperhatikannya, seperti yang Yuki lakukan. Benar juga, padahal Yuki mengikuti acara ini salah satunya karena dia ingin bicara dengan Raphael. Tapi kesempatan itu belum muncul karena Banyu selalu bersamanya.
"Mau minum nggak?" ujar Banyu saat dia sampai di depan Yuki.
"Aku mau." Aurora mendahului Yuki, dia meraih botol air dari tangan Banyu secepat cahaya. "Ya ampun, aku capek banget. Makasih airnya, Banyu." Gadis itu tersenyum amat manis.
"Sama-sama." Banyu memaksakan senyum. "Kamu adiknya Raphael kan, anak Ketua Martinez." Jika tidak salah ingat, Banyu pernah bertemu gadis Bangsawan ini saat jamuan makan malam di gedung pemerintah.
"Betul, kamu kayaknya akrab ya sama kakakku. Ketemu di mana?" terima kasih Aurora, itu adalah yang selalu ingin Yuki pertanyaan. Tapi dia terlalu sungkan bertanya Banyu.
"Waktu aku di luar negeri, aku ketemu sama Raphael di kelas bela diri. Dia orang yang berbakat."
"Wah, kamu ikut kelas bela diri di kelas kami." Saingan kakaknya boleh juga. Aurora tahu bahwa kelas bela diri di tempat para Bangsawan adalah yang paling sulit, metodenya keras dan sangat disiplin. Hanya sedikit orang luar yang bisa mengikuti kelas itu. Bahkan Aurora berhenti di tengah-tengah karena tidak sanggup mengimbangi murid lain.
Mereka berhenti bicara ketika guru pembimbing mulai memberikan intruksi. Para murid mulai berpencar untuk mempelajari patung batu tersebut. Yuki menunduk di antara kedua patung, mencoba menerjemahkan huruf kuno yang terukir di antara kaki harimau.
KAMU SEDANG MEMBACA
RedMoon || AlphaSoul
FantasiaWARNING 18+ Sebagai darah campuran, Yuki tak bisa meminta banyak hal. Yang dia inginkan dalam hidupnya hanyalah ketenangan. Karena itu dia berusaha agar orang-orang tak melihatnya, agar hidupnya yang berat menjadi sedikit lebih ringan. Tapi bagaiman...