7. Rasa yang rumit.

856 166 21
                                    

Yuki sedang membantu ibunya di dapur membuat makan malam, namun meski raganya berada di tempat itu pikirannya melayang entah ke mana. Alhasil pisau yang Yuki gunakan untuk mengiris sayuran justru nyaris memotong jarinya. Fahira yang duduk di sebelahnya panik tidak karuan.

"Kamu ini, kalau kerja jangan sambil melamun." Ibunya memarahi.

"Maaf, Bunda." Yuki meringis ketika Fahira menekan lukanya dengan kain.

"Sebenarnya kamu kenapa? Bunda ngeliat kamu dari tadi nggak fokus." Setelah memecahkan piring dan menumpahkan minyak, sekarang hampir memotong jarinya sendiri. Fahira yakin ada sesuatu yang terjadi.

Yuki menggenggam kain yang digunakan untuk menekan lukanya. Darahnya sudah berhenti, Fahira juga telah mengobati lukanya. Dia menatap ibunya ragu-ragu. "Bunda, wajar nggak kalau ada orang marah tapi dia nggak bicara apa pun. Atau malah sebenarnya dia nggak marah." Yuki bingung harus menjelaskan seperti apa.

Padahal Yuki sudah siap menghadapi Raphael- yang sepertinya sedang marah, tapi orang itu justru hanya melewatinya begitu saja. Menganggap Yuki seolah tak ada. Yang mengejutkan lagi Raphael menghampiri Banyu dan mereka bicara akrab, walau Raphael tetap memasang wajah dingin seperti biasa. Malah mungkin itu terlalu dingin.

Sepanjang hari Yuki dihinggapi perasaan tak nyaman setelah kejadian itu. Dia tidak tahu rasanya, tapi itu mungkin seperti seseorang yang ketahuan berselingkuh. Tapi bagaimana bisa Yuki merasa seperti itu, dia kan tidak sedang dalam hubungan apa pun dengan siapapun. Gadis kecil di sudut hatinya mencibir kepolosan Yuki.

"Kalau dia hanya diam, bisa jadi dia terlalu marah sampai nggak bisa berkata-kata lagi." Fahira mengambil alih pekerjaan Yuki yang tertunda. "Kamu bikin marah seseorang?" Tanyanya.

"Kayaknya gitu. Yuki nggak tahu harus gimana, kami nggak akrab." Tapi kami pernah ciuman. Memikirkan itu wajahnya dihiasi semburat merah tipis.

"Kan tinggal minta maaf dengan tulus, terus kamu luruskan kesalah pahaman jika ada. Memendam perasaan terlalu lama itu nggak baik, bisa jadi boom waktu yang nggak tahu kapan meledaknya." Ujar Fahira yang mulai sibuk di depan kompor.

Yuki tidak yakin akan semudah itu, apalagi orang itu adalah Raphael. Yuki mengerang kesal, kenapa dia harus terganggu dengan amarah lelaki itu.

***

Aurora memakan anggur sambil menyaksikan Raphael yang sedang memukuli samsak. Saat kantung berisi pasir itu jatuh dengan isi berhamburan, Aurora menyeringai. Dalam waktu satu jam Raphael telah merusak tujuh samsak, tiga di antaranya terbelah menjadi dua sisanya lebur. Tak berbentuk.

Saat Aurora melihat Raphael siap menggantung samsak kedelapan, dia mulai beranjak dari tempatnya. "Kak, sebentar lagi makan malam loh. Nggak mau istirahat dulu." Ujarnya menghampiri.

Namun Raphael mengabaikan adiknya, membuat Aurora mendengus. Sejak pulang sekolah Raphael sudah memancarkan aura buruk, bahkan mata lelaki itu berubah dan taringnya mulai tampak. Tanda bahwa dia sedang menahan emosi.

"Yuki." Aurora memancing dan Raphael tertangkap dengan mudah. Gadis itu tertawa saat pukulan Raphael luput dari sasaran, membuat wajah tampan itu tanpa sengaja menghantam samsak.

"Sial!" Raphael mengumpat.

"Buruan selesai marahnya, setelah harus makan malam. Kalau nggak, Mama bisa curiga loh." Aurora berlari kecil menjauhi Raphael, keluar dari ruang latihan di rumahnya.

Raphael menendang samsak hingga isinya berhamburan. Rahangnya mengetat, jarinya mulai berubah menjadi cakar tajam setiap bayangan Yuki dan Banyu terlintas di benaknya. Raphael tidak sebodoh itu, dia bisa melihatnya dari mata gadis itu dengan sangat jelas. Kekaguman yang tidak ditutup-tutupi, pemujaan seorang wanita pada lelakinya, senyum manis yang belum pernah dia lihat. Hal-hal yang seharusnya menjadi milik Raphael justru dimiliki orang lain.

RedMoon || AlphaSoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang