Yuki mematut dirinya di depan cermin besar, wajah yang memandang pantulan dirinya itu tampak sembab. Sisa air matanya masih terlihat jelas, ujung hidung dan kedua pipinya merona. Yuki menggunakan baju Raphael, karena ukuran tubuh yang sangat berbeda Yuki seperti tenggelam dalam balutan kaos lengan panjang dan celana training hitam tersebut. Tapi itu jelas lebih baik dari pada jubah mandi.
Yuki berjalan pelan-pelan menuju dapur, saat sampai dia melihat Raphael yang sudah menunggunya di meja konter. Beberapa makanan tersaji di atas meja, membuat perut Yuki menggerutu. Raphael berbalik ketika menyadari kehadiran Yuki, senyumnya mengembang saat melihat penampilan Yuki, gadis itu terlihat sangat manis dengan pakaian kebesaran. Tangannya terulur menyambut gadisnya, Raphael membantu Yuki naik ke kursi yang lumayan tinggi.
"Masih sakit?" tanya Raphael ketika Yuki meringis.
"Sedikit, obat yang diberikan dokter itu bagus." Luka di kakinya sudah hampir mengering, walau kadang masih perih.
"Bagus, nanti kita obati lagi biar kamu cepat sembuh." Raphael menggenggam tangan Yuki erat. "Aku nggak suka ngeliat kamu sakit." Karena itu sama seperti menyakiti dirinya juga.
Yuki mengangguk patuh, tidak memungkiri perasaan senang atas perhatian Raphael. Bahkan perhatian ini terasa lebih tulus dari perhatian yang selama ini Banyu berikan. Yuki lalu melihat meja, Raphael terlihat salah tingkah saat Yuki memperhatikan.
"Aku nggak yakin kamu suka apa, jadi aku beli beberapa jenis." Beberapa jenis yang Raphael maksud adalah tujuh menu, lengkap dengan LaGreen- minuman berwarna ungu yang populer di kalangan anak muda.
"Nggak papa, soalnya aku lagi laper." Yuki mulai mengambil suapan pertamanya. Kemudian gadis itu makan dengan lahap. Dia tidak bohong saat mengatakan lapar, diam-diam Raphael tersenyum melihat cara makan Yuki yang lahap.
"Nggak salah aku beli banyak." Ucap Raphael, menatap piring kosong di depannya. Sudut bibirnya menahan tarikan ketika wajah Yuki merona. "Mau nambah lagi?" Raphael bahkan hanya memakan sepiring miliknya.
"Aku udah kenyang." Jawab Yuki dengan cemberut kecil di wajahnya. Dia tahu Raphael hanya ingin menggodanya.
"Bercanda." Raphael terkekeh sambil mencubit pipi Yuki. Tapi cemberut di wajah itu semakin bertambah. Raphael tidak menyangka bahwa Yuki bisa seperti ini juga, bersikap manja. Dulu dia akan sangat terganggu dengan gadis yang selalu merajuk, tapi kali ini lain lagi. Mungkin karena gadis itu adalah Yuki, karenanya Raphael tidak keberatan.
Yuki berteriak kecil saat Raphael tiba-tiba mengangkat tubuhnya. Secara otomatis tangannya melingkar di leher Raphael.
"Mau ke mana, aku bisa jalan sendiri."
"Jalan kamu kayak siput." Ucap Raphael membuat mata Yuki membulat. "Kamu harusnya nggak mandi dulu, luka kamu belum kering sepenuhnya.
"Aku nggak mandi dari kemarin."
"Terus kenapa?"
"Aku bau, gitu aja harus dijelasin."
"Nggak bau kok, tadi aku sudah memastikannya sendiri." Raphael memberinya lirikan penuh arti. Yuki matang dalam seketika.
Sambil menahan senyuman, Raphael menurunkan Yuki di sofa panjang. Dia mengambil kotak obat dan mulai mengganti perban Yuki yang basah. Raphael melakukannya dengan sangat hati-hati, Yuki lagi-lagi tersentuh oleh kelembutan Raphael.
"Pokoknya jangan mandi dulu sebelum luka kamu kering, paham?" Yuki mengangguk kecil sebagai jawaban. Raphael membelai kepalanya sekilas. "Yaudah kalau gitu, aku mau mandi sebentar sekalian bersihin kamar sebelah."
"Buat apa?" tanya Yuki, heran. Apa Raphael keberatan Yuki tinggal di kamarnya saat ini.
Raphael tersenyum tipis. "Aku juga akan tinggal disini sampai kamu sembuh." Ucapnya membuat mata Yuki membulat.
KAMU SEDANG MEMBACA
RedMoon || AlphaSoul
FantasiaWARNING 18+ Sebagai darah campuran, Yuki tak bisa meminta banyak hal. Yang dia inginkan dalam hidupnya hanyalah ketenangan. Karena itu dia berusaha agar orang-orang tak melihatnya, agar hidupnya yang berat menjadi sedikit lebih ringan. Tapi bagaiman...