6

4 3 0
                                    


Seperti apa tolak ukur kebahagiaan? Semua orang selalu mencita-citakan hidup bahagia sebagai tujuan hidup mereka, dengan kata lain Eudaimonisme. Mengapa manusia menjadikan sesuatu yang samar untuk dijadikan acuan? Ada orang yang mengatakan dirinya bahagia hanya karena ia bisa membeli barang impiannya, ada juga yang bahagia karena ia menjadi orang tua dari anaknya yang pertama, bahkan ada yang bahagia hanya karena menemukan uang receh di dalam saku celananya. Apa yang terjadi bila kebahagiaan tak kunjung didapatkan? Kau akan kehilangan semua bahkan semangat hidup sekalipun. Itulah resiko mendambakan sesuatu yang samar.


Senin, pagi ini langit berawan, awan sepenuhnya menutup langit tetapi tak membuat udara menjadi sejuk. Justru awan yang mengepul membuat udara menjadi pengap dan gerah. Meskipun terlihat akan hujan, upacara tetap dilaksanakan. Guru yang berbaris tak lebih dari setengahnya. Amanat panjang yang sudah tertebak isinya seperti biasa disampaikan bertele tele hingga secara tak sadar pemimpin upacara mengetuk ngetuk kaki serta tangannya yang tersembunyi dibalik posisi istirahat. Zen yang berdiri di barisan paling belakang melirik-lirik sekitar, tak ada tanda tanda kehadiran Rena karena biasanya ia menjadi langganan berdiri samping tiang bendera. Tapi Zen merasa telah bertemu Rena pagi ini di sekitar kelas, sekali lagi Zen melirik sekitarnya. Rena benar benar tidak menunjukkan batang hidungnya. Mungkin dia kabur atau sembunyi di toilet.


Upacara berlangsung lebih dari setengah jam. Awan mulai menghitam dan angin berhembus kencang. Zen kembali ke kelas bersama yang lainnya. Benar saja, Rena sudah menempel di tempat biasanya. Sweater yang biasa Rena pakai dilepas, ia sekarang memakai sweater dari sekolah, mungkin karena gerah. Zen berniat membangunkannya, tapi diwaktu yang sama guru masuk ke kelas. Di dalam pelajaran Zen terus mengawasi Rena sambil tetap mengikuti pelajaran. Kadang lehernya menengok saat Rena mengganti posisi tidurnya, ia pikir Rena terbangun. Seperti biasa, Rena bangun ketika istirahat tiba. Ia membuka bekalnya lalu ia makan perlahan. Belum sampai tiga suap memasuki mulut, Rena menutup kembali bekal miliknya padahal Silvia sama sekali tidak mendekat. Rena berdiri dari bangkunya dengan bantuan tangan. Ia berjalan keluar kelas padahal sebentar lagi pelajaran dimulai.


Zen yang penasaran menitip absen pada Silvia setelah itu ia membuntuti Rena. Dari arah yang Rena ambil, ia mungkin akan pergi ke kantin. Rena berjalan sambil menundukkan kepalanya, kedua tangannya disimpan didepan dengan tangan kiri yang memegang pergelangan tangan kanan. Jalannya agak sempoyongan. Zen pun mendekati Rena lalu menepuk pundaknya.


"Oi, mau ke ma-" Tangan Zen yang memegang pundak Rena secara tak sengaja sedikit menyentuh leher.


"Panas." Gumam Zen.


Rena menengok ke belakang. Kulitnya pucat, rambutnya acak-acakan, dan ekspresi wajahnya lemas. Tidak perlu ditanyakan kondisinya, sudah pasti dia sedang sakit.


"Sini, biar ku anterin." Zen perlahan berniat menuntun langkah Rena. Tangan kanan yang tadi memegang pundak kiri ia pindahkan ke bahu kanan, lalu tangan kirinya memegang pundak kiri.


"Gak usah. Gua bisa pergi sendiri." Rena menepis tangan kiri Zen. Seketika Zen menarik kembali kedua tangannya.


Rena kembali melangkah dan Zen pergi ke kelasnya. Saat ia tiba di kelas, Silvia terus menatap kearah Zen saat melewati pintu hingga duduk dibangkunya. Ia nampak penasaran. Silvia berdiri dari bangkunya, ia berniat mendekati Zen tapi sayangnya guru sudah datang. Silvia pun kembali duduk.


Didalam pelajaran entah mengapa Zen tak seperti biasanya. Biasanya Zen fokus memperhatikan tapi sekarang ia mengetuk ngetuk jarinya ke meja. Tak selang waktu lama Zen pun meminta izin untuk pergi ke toilet.


Sekitar 15 menit setelah Rena meninggalkan kelas. Zen pun pergi melihat kondisi Rena sekarang. Saat ia sampai di UKS Zen heran karena tak ada siapapun yang merawat Rena, bahkan tak ada obat atau air minum yang disiapkan. Sepertinya selama Rena tertidur tidak ada yang datang ke sini. Rena nampak tidur pulas, keringat sudah membasahi wajahnya. Zen mendekati Rena lalu menyentuh keningnya.


"Sekitar 38 derajat. Lumayan panas."


Zen pergi menyiapkan teh hangat dan air agar diminum saat Rena bangun. Ia juga mengambil obat dari kotak obat.


"Harusnya Cuma tidur juga bakalan agak baikan, antisipasi aja." Zen menyimpan obat itu disamping gelas.


Zen pun meninggalkan Rena. Ia perlahan menutup pintu UKS agar tidak mengganggu tidur. Sesampainya di kelas ia langsung mengikuti pelajaran seperti biasa. Jam pelajaran sudah waktunya berganti, di sela sela pergantian pelajaran Silvia mendatangi Zen.


"Rena kenapa?" Tanya Silvia nampak penasaran. Ia tahu kalau Zen pergi mendatangi Rena.


"Badannya agak panas, dia lagi di UKS sekarang."


"Terus kerja kelompok kita gimana?"


"Emangnya dia bakal ikut ngerjain?"


"Iya juga sih."


Silvia kembali ke tempat duduknya karena guru telah datang. Pelajaran berlangsung seperti biasanya. Saat istirahat kedua, Zen berniat menengok Rena ke UKS. Tapi melihat sifat Rena, Zen mengurungkan niatnya. Ia berpikir kalau itu tak berguna, lagipula kedatangan Zen pasti diabaikan.


***


Pukul sepuluh malam. Zen kembali berkunjung ke minimarket tempat Rena bekerja. Karena motornya masih mogok, ia pergi menggunakan sepeda padahal jaraknya lumayan jauh. Seperti yang ia duga Rena tidak ada di sana. Hanya ada kasir yang tidak Zen kenali di dalam sana.


"Mana mungkin dia kerja kalau lagi sakit." Zen tidak beranjak dari sepedanya.


Sejak awal Zen memang tidak berniat untuk belanja karena dompet miliknya belum ditemukan. Ia menarik pedal kanan nya ke atas dengan punggung kakinya, ia pun menggoes sepedanya pulang ke rumah.


"Kak Fina, ini ke manain?"


Rena mengangkut kardus yang penuh dengan minuman kaleng dari dalam gudang.


"Masukin aja itu ke kulkas, sisanya ke gudang-in lagi." Jawab Fina. Seorang kasir yang terlihat seumuran anak kuliahan.


Rena pun menyimpan satu persatu kaleng minuman itu ke dalam kulkas.


"Sepi, yah. Dari tadi emangnya gak ada yang beli?" tanya Rena sambil tangannya yang masih merapikan kaleng kaleng.


"malem malem biasanya juga sepi, kan. Padahal tadi ada orang yang naik sepeda kesini, tapi malah pergi lagi."


Malam itu sangat sepi, aspal basah karena hujan baru reda. Air di selokan masih mengalir deras hingga suaranya terdengar sampai kedalam ruangan. Tidak ada motor atau mobil yang melintas. Jalanan sangat sepi. Kendaraan terakhir yang terlihat dari depan minimarket adalah sepeda yang dinaiki oleh Zen. Setelah itu sama sekali tidak ada kendaraan yang melintas selama setengah jam.

ColorfulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang