Rena mengenakan sepatu usangnya. Ia segera mengunci pintu rumah lalu berjalan meninggalkan tempat tinggalnya. Aspal masih basah, entah mengapa akhir akhir ini hujan sering turun. Padahal sekarang musim kemarau. Untungnya hari ini cerah. Tidak ada gumpalan kapas yang mengapung di langit, hanya sedikit arum manis yang menyebar seakan memintal angkasa. Cuaca yang sangat mendukung bagi pejalan kaki seperti Rena.
Gadis itu melihat sekitarnya. Tidak ada sesuatu yang indah. Di sisinya hanya selokan penuh jentik dan sisinya lagi jalanan penuh lobang dengan air yang menggenang. Kaki Rena menendang-nendang batu kecil sambil bersenandung kecil, lagu yang sering ia nyanyikan dikala melamun sendiri. Entah lagu apa itu, tapi suasana hatinya menjadi semangat dengan lagu itu. Meskipun semalam ia bekerja, ia tidak terlihat mengantuk.
Pukul setengan tujuh. Rena tidak lagi datang terlambat. Di depan gerbang ia menanggalkan Sweater merahnya. Tetapi setelah menjauhi guru yang ada di dekat gerbang, ia kembali memakai Sweater itu. Kelas belum ramai, nampaknya belum banyak orang yang tiba. Seperti yang Rena duga, Zen sudah duduk di tempatya, begitu pula Silvia. Mereka selalu datang awal sekali. Rena pergi ke tempat duduknya. Tudung sweaternya ia kenakan, lalu menyilangkan tangan di atas meja. Sedikit menguap lalu tidur.
"Rena"
"..."
"Rena hadir gak!?" Bentak Pak Asep karena tidak ada jawaban.
"Hadir!" sahut Rena secara reflek.
"Masih pagi udah ngantuk. Cuci muka dulu sana."
Rena pergi membasuh mukanya. Tak lama kemudian ia kembali ke kelas. Ia berniat menyambung tidurnya. Tapi setelah menengok kesamping, entah mengapa ada aura ancaman besar. Zen menatap Rena dengan lirikan tajam. Rena segara berbalik meraih tas nya, membawa buku tulis dan pulpen. Ia buka buku itu lalu menulis. Entah apa yang ia tulis, karena guru belum menyampaikan materinya.
Bel telah berbunyi, tidak ada materi yang Rena tulis. Ia hanya menggambar manusia stik dengan segala jurus-jurusnya. Istirahat telah tiba. Ia membuka bekalnya di atas meja. Telur dadar dengan nasi. Ia hendak menyantapnya, namun entah mengapa perasaannya tidak mengenakkan. Silvia datang menghampiri Rena.
"Rena, mau makan bareng?"
"Gak."
Silvia menarik kursi yang kebetulan pemakainya sedang pergi ke kantin. Ia membuka kotak makanannya. Sepotong daging ayam dan sayuran.
Rena mendorong kursinya kebelakang. Ia hendak pergi dari bangkunya.
"Rena, mau kemana? aku cuma mau ngasih kamu ayam."
"Hah?"
"Apa maksudnya? Telor sama nasi juga udah cukup." Gumam Rena.
"Maksud lu apa?" tanya Rena. Matanya menatap sinis.
"Ah, itu, anu- ah! Rena kan cuma bawa telor. Jadi, ah, emm, aku mau ngasih ini." Bicaranya gelagapan, ia Nampak sulit mengutarakan pikirannya. Silvia mengangkat kotak bekalnya.
"Hah?"
"Maksudnya- eh, gimana bilangnya yah."
"Gak usah." Rena meninggalkan Silvia ke luar kelas.
Tangan Rena dikepal kuat kuat.
"Apa apaan itu? dia kasihan atau mau ngejek gua?"
Rena pergi ke belakang aula. Ia menghabiskan bekalnya disana lalu segera kembali ke kelas.
Silvia telah kembali ke tempat duduknya. Zen memperhatikan Rena saat Rena memasuki kelas. Dhika dan Reza mungkin masih di kantin. Rena segera menduduki bangkunya. Ia mengecek tasnya. Dompet milik Zen masih ada di sana. Sudah hampir seminggu Rena memegang dompet itu namun tak kunjung ia kembalikan.tidak ada waktu yang mendukung. Rena hanya melihat isi tasnya. Ia tidak mengambil apapun dari sana. Rena berniat mengembalikannya sepulang sekolah.
Teng! teng! teng! bel telah berbunyi. Sekolah telah selesai. Hari ini Zen sama sekali tidak mengajak Rena bicara. Rena berjalan keluar dari kelas dengan tasnya. Di dekat gerbang sekolah terdapat lapangan yang biasa digunakan untuk upacara. Banyak orang di sana. Mereka sedang latihan bola basket untuk turnamen antar sekolah. Zen dan Reza ada di sana. Rena tidak saling bertatap mata dengan kedua laki laki itu tapi ia yakin kalau itu mereka. Di samping lapangan, seorang perempuan sedang berjongkok di balik pepohonan. Itu Silvia.
"Apa dia mau nonton yang lagi latihan?" pikir Rena.
Rena mendekatinya. Setelah jaraknya sudah agak dekat. Terlihat jelas, Silvia mengeluarkan daging dari kotak bekalnya. Daging itu sama sekali tidak ia sentuh. ia tersenyum. Tanganya mengelus-elus kepala kucing lalu memberikan daging itu padanya. Daging yang asalnya akan diberikan pada Rena tadi. Kucing itu terganggu dengan elusan Silvia. Ia menggigit daging itu lalu pergi menjauh. Sekali lagi senyuman lembut terukir di wajahnya. Sebelum Silvia berbalik melihat lapangan, Rena segera pergi ke luar sekolah.
"Kalau bukan gara gara kasihan atau ngejek. Terus kenapa gak dimakan? Apa mungkin dia gak suka daging ayam?" Rena bertanya Tanya.
Langkah Rena melambat. Dagunya diangkat keatas hingga matanya bertatapan langsung dengan langit.
"Kapan terakhir kali gua makan ayam, yah?"
***
Rena memasuki rumahnya. Ia berjalan ke kamar lalu melempar tasnya ke kasur, setelah itu ia ikut melompat ke kasur membaringkan tubuhnya.
Ia membuka tas itu lalu mengambil dompet milik Zen. Ia berniat mengembalikannya tadi, tapi karena Silvia ada di sana, dompet itu tak jadi ia kembalikan.
Rena mengangkat dompet itu ke atas. Ia lalu membukanya, hanya terlihat ujung kartu. Rena pun mengangkat tubuhnya duduk. Sayangnya, dompet yang ia pegang terbalik hingga kartu-kartu yang ada di dalamnya berjatuhan.
"Kartu apa ini." Rena segera memungutinya satu persatu. Di sana ada KTP, dua buah kartu ATM, kartu SIM, dan kartu pelajar.
"Apa nggak apa-apa kartu-kartu kayak gini ilang?" Rena agak panik karena belum mengembalikannya.
Ia memasukkan kartu-kartu itu satu persatu. Setelah memasukkannya, Rena sengaja mengintip isi di bagian uang. Lima lembar uang merah.
"500 ribu! ambil gak yah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Colorful
RomanceHitam dan putih Hidup ini hanyalah kehampaan Bagaimana cara terbebas dari kehidupan yang suram ini? Apakah dengan melakukan hal yang diinginkan dapat membuat perasaan menjadi lebih baik? Bagaimana cara mengembalikan warna yang telah pudar? Tak ada...