#CHAPTER 03#

2 1 0
                                    

   Pagi itu serasa tak seperti biasanya. Aku bangun dengan penuh rasa yang tak pernah ada dalam hidupku. Aku jatuh cinta tetapi tak pernah mengetahui pada siapa aku meletakkan separuh jiwaku. Yang aku tahu saat ini aku selalu tersenyum ketika aku mengingat kejadian dimana aku mengambil air untuk menyucikan diri di kala pukul 3 sore dan juga dipenghujung senja kala itu. Saat seseorang yang begitu merdu melantunkan takbir. Bukan hanya sekedar kata. Tetapi bagiku saat ini pertemuanku dengannya sudah menjadi cerita. Meskipun hanya sebatas punggungmu yang mampu kuraih.

" pagi La.." sapaku kepada teman baikku

" hey.... Pagi " balasnya kepadaku. Sambil melanjutkan aktivitasnya membasahi bibir dengan lipgloss warna merah muda. " eh, kemarin jadi pulang jam berapa ? " tanyanya kepadaku

" jam berapa ya ? Setelah sholat maghrib di mushollah atas sich La. Kenapa emangnya ? " jawabku dengan berakhir pada satu pertanyaan kepada carla

" malam banget ? Ngapain emang ? Nggak takut gitu kamu ? " tanya carla

" La, apa sich yang mesti ditakutin ? Selama kamu percaya allah disamping kamu. Insyaallah kamu pasti dalam perlindungan. " kataku kepada carla. Dan seperti biasa sahabatku hanya tersenyum tipis.

" Wah, Ras tumbenan banget sih ? " Tanya carla heran.

" Tumben apaan ? " Tanyaku balik

" Rasti, kita tuh temenan udah bukan dari kemarin sore kali, ras. Aku aja nggak pernah ngobrol sama kamu jawabnya seserius ini. Kamu... Lagi jatuh cinta ya ? " Tebak carla

Aku, seperti biasa, diam tak menjawab apapun yang dapat membuatnya semakin bertanya - tanya. Meskipun aku tahu, Carla bukanlah seorang penggosip.

***

   Sore itu aku mencoba mengulangi apa yang pernah aku lakukan dikala sebelum pulang. Aku berpikir keras tentang bagaimana cara menyapanya yang selama ini hanya aku kenali lewat suara. Bagiku saat ini tak seberapa penting bagaimana wujudnya. Saat ini aku berpikir tentang bagaimana dia. Makhluk yang memiliki kelembutan hati.

   Sore itu aku menunggu jam sebelum pulang ke rumah dengan berdiam diri di musshollah lantai atas seusai aku berganti pakaian. Aku menantinya dengan penuh harapan.

   Aku mulai dapat mendengar suara sepatu dengan langkah kaki yang sedikit di seret menuju ke arah mussholah. Astaga.. Benar saja kalo memang itu dia. Lantas aku harus bagaimana ? Aku tak punya kendali atas lidahku.

" Mau sholat maghrib juga ? " tanyaku memberanikan diri dengan sedikit memaksa otakku untuk tetap terus dapat memberikan pertanyaan agar aku dapat didekatkan olehnya karena adanya kesempatan.

" Iya... Tapi masih belum waktunya. Jadi mungkin harus menunggu sebentar. Kamu ? " tanyanya kepadaku. Aku sempat melihat siapa namanya pada gantungan nama pada tanda pengenal karyawan.

" Sama, aku juga. Aku sich berpikir lebih baik aku nunggu di sini daripada nanti dijalan mesti macet-macetan " ucapku. " kayaknya kita sering barengan waktunya sholatnya. Biasanya sich kalo nggak di penghujung senja gini ya pas pukul 3 sore. Tapi mungkin kamu jarang merhatiin aja " lanjutku

" oh iya ? Masak sich ? Serius aku lupa. " ucapnya sambil senyum tipis.

" Kamu di gedung ini ada di lantai berapa ? " Tanyaku singkat

" Aku ada di lantai delapan. Kalo kamu ? " Tanyanya balik

" Aku di lantai ini. " Jawabku

" Aku Raka. Kamu ? " Tanyanya kepadaku

" Panggil aja Rasti. " Jawabku singkat

***

pukul 3 soreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang