Aku dan raka menuju kedai kopi pada kantin karyawan. Tak banyak hal yang kami obrolkan. Hanya sebatas apa pekerjaannya. Dan bagaimana pekerjaanku.
Waktu yang kami lalui terasa begitu singkat. Dan malam pun sudah mendekati. Aku bergegas mengajak Raka untuk pulang.
Raka menawarkan untuk mengantarkan sebagai rasa terima kasihnya atas ajakanku ngopi. Tetapi aku menolaknya. Hari ini aku membawa kendaraan sendiri. Kami hanya berjalan bersama menuju tempat parkir.
Jika dibayangkan, akan menjadi sesuatu yang indah, apabila aki menerima tawarannya. Ah, tapi ya sudahlah. Mungkin bukan sekarang. Tetapi besok, ya, mungkin saja besok. Semoga.
***
Sore itu aku melihat Raka kembali. Mungkin lebih tepatnya sepatu yang biasa dia kenakan. Sepatu kulit warna hitam dengan ukuran sepatu 42 cm.
Aku tak pernah ingin mematahkan semangatku sendiri lantaran tak ada alasan untuk dapat bertemu dengan Raka selain pukul 3 sore di penghujung hari.
Kadang Raka selalu kubayangkan sebagai sosok yang hangat dan lembut dengan suaramu yang parau layaknya ketika kamu berdiri di depan ku dan memunggungiku dengan pembatas kain tipis.
Suaranya tak begitu kuperhatikan. Bukan lantaran telingaku yang begitu sombong. Tapi karena pada saat itulah aku dapat mengaminkan setiap doanya meski hanya dalam hati dan aku bebas bercerita dengan allah sang pembolak-balik hati umatNYA dengan berbagai perasaan.
Wahai engkau sang pemilik rasa. Apapun saat ini yang dapat membuatmu terketuk,maka bukalah pintu hatimu sebelum aku mendobraknya dengan suaraku yang penuh dengan harapan. Aku berharap akulah yang telah membawa rusukmu yang telah direkatkan erat pada bagianku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
pukul 3 sore
Short Storykisah cinta dua orang yang hanya bertemu di waktu mereka berdoa. Dalam hati mereka saling bicara. Dalam sepi mereka menari. Dan dalam do'a mereka saling mengaminkan. Pukul 3 sore, kisah cinta penuh teka-teki. kisah cinta dalam hati yang selalu diseb...