2. Hubungan Timbal Balik (edited)

2.6K 211 12
                                    

[ BAGIAN INI SUDAH DIEDIT MENJADI BAGIAN NARASI YANG AKAN TERBIT ]















Seperti biasa, jam 7.20 Sabian datang pagi-pagi dan sudah stand by di lapangan basket untuk sekedar pemanasan di pagi hari. Salah satu kebiasaannya, datang ke sekolah pagi-pagi hanya untuk bermain dulu. Pikirnya, udara pagi hari itu sejuk, sayang kalau di pakai untuk ngebo di kasur. Kecuali jika itu adalah Jovi.

Sabian beberapa kali melakukan dunk shot, mendribble, dan mencoba three point dari segala sudut dan jarak. Waktu masih menunjukkan pukul 7.35, tetapi parkiran masih terlihat lenggang karna para murid akan masuk di detik-detik terakhir bel masuk berbunyi.

Sabian berdecak ketika seseorang mengambil alih bolanya dan melemparnya ke ring basket. Di depannya, anak laki-laki itu menatap Sabian dengan wajah tengilnya yang membuat Sabian ingin menendangnya sampai ke Jeddah.

"Ganggu aja lo, Jov." Sabian kembali merebut bola yang akan Jovi lempar kembali ke ring. Mereka berdua berakhir rebut-rebutan bola dan menghasilkan score 1-3 dengan Sabian yang unggul. Sabian mengunci Jovi di ketiaknya dan mengacak habis-habisan rambut Jovi.

"Anjing, jangan di berantakin!" Jovi meronta dan berusaha lepas dari kuncian Sabian. Setelah dirasa Sabian lengah, Jovi menarik dirinya dan membenarkan rambutnya dengan wajah yang tertekuk. Ekspresi itu mengundang tawa dari Sabian karena jarang sekali Jovi membuat mimik wajah seperti itu. Tipikal anak laki-laki genit yang lebih suka memasang wajah tebar pesonanya.

"Teh Hanni gimana? Masih jomblo, kan?" Sabian melemparkan bola ke arah Jovi dengan keras. Namun sayangnya Jovi berhasil menghindar dan malah mengenai laki-laki di belakangnya.

"Anjing, sakit bego." Sabian meringis ketika Juni mengelus pelan pundaknya yang terkena lemparan bola dari Sabian. Sabian cuman cengar-cengir aja sembari ikut mengelus pundak Juni. Namun di balas tatapan sinis dari Juni dan berlagak ingin meninju Sabian.

"Salahin Jovi tuh! Pagi-pagi udah centil nanyain Teteh gue."

"Salahin Teh Hanni dong yang cakep, gue gebet mantep kali, ya." Sabian yang mendengar itu langsung berlari mengejar Jovi yang sudah berlari lebih dulu ke koridor. Aksi kejar-kejaran mereka membuat beberapa siswa merasa terganggu karena berisiknya Sabian dan Jovi.

"Ampun, Yan, ampuuunnn... Gue masih sayang ke Sylla." Jovi kewalahan menghindar dari gelitikan maut milik Sabian. Tanpa ampun Sabian berlari dan menggelitik Jovi sampai menabrak beberapa siswa yang lewat.

"Berantemin apa lagi mereka, Jun?" Nala datang sembari membantu Juni membawakan tas Sabian dan Jovi yang tergeletak mengenaskan di tengah lapangan.

"Biasalah si Jovi kumat."

Nala hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkat kedua temannya yang suka bikin keblinger dan kelewat random. "Tapi emang Teteh nya Bian cakep, sih, Jun."

Nala meringis ketika Juni menyikut pelan perutnya. "Sama aja lo kaya Jovi."

»» ⟩⟩ ★★★ ⟨⟨ ««

"Bucin terooossss." Jovi memandang Sabian dengan sinis dan kembali tersenyum manis ketika menatap wajah manis kekasihnya itu. Biasalah, remaja kasmaran. Hubungan Jovi dengan Sylla-kekasihnyasudah berumur hampir satu tahun. Cukup lama untuk ukuran cowok tipe Don Juan seperti Jovi yang gemar tebar-tebar pesona.

"Yang kaya begini, nih, suka centil ke Teteh gue." Gumam Sabian yang masih bisa di dengar oleh Jovi dan mendapatkan lemparan sepatu darinya. Sabian hampir saja melemparkan balik sepatu Jovi sebelum Juni datang dan berkata,

"Berantem mulu, awas suka."

"Anjing, lu, Jun." Nala di sampingnya hanya tertawa cekikikan mendengarnya. Juni dan Nala memutuskan untuk duduk di tepi lapangan yang berseberangan dengan Jovi dan Sylla.

"Haha hihi aja lo, cewe lo gimana?" Nala memasang wajah masamnya. Ingatannya memutar adegan dimana dirinya dan seorang gadis manis bertengkar di tengah jembatan layang pekan lalu. Bagaimana gadisnya itu membela habis-habisan orang lain dan malah menyalahkan Nala karena terlalu posesif dan sibuk.

Nala menggeleng pelan dan mengidikkan bahunya. "Gatau, Jun."

Keduanya menatap Sabian yang masih aktif bermain basket sendirian dan Jovi yang sedang di mabuk asmara. Nala lebih fokus ke dua orang yang duduk tidak jauh dari dirinya dan Juni duduk. Hubungan yang manis, mulus, dan menyenangkan. Nala sedikit iri melihatnya.

"Putus apa masih lanjut?"

"Gue gatau." Juni menghela nafasnya kasar. Juni menatap temannya itu dengan tajam, lalu menyentil jidatnya pelan. Yang di sentil hanya meringis kesakitan dan protes atas aksi seenak Juni itu. Juni sudah kelewat kesal karena Nala yang kurang tegas dalam suatu hubungan. Selalu mengalah pun bukanlah hal yang baik juga. Dan kemarin adalah puncak dimana emosi Nala sudah sampai ke permukaan.

"Lo cowo, harus yang tegas dong. Kalo diantara kalian gak ada yang tegas gini ya gimana bisa lancar hubungannya."

"Dia ngaku kalo dia selingkuh sama temen sekelasnya." Terlihat jelas raut kecewa di wajah Nala. Juni hanya menghela nafasnya kasar dan menggelengkan kepalanya. Juni sudah bisa menebaknya, karena beberapa waktu lalu Juni sempat melihat pacar Nala pulang bersama laki-laki lain. Juni diam saja karena Juni pikir mereka hanya sebatas teman yang mengantarkan pulang. Itu juga bukan ranah Juni untuk terlalu ikut campur dalam hubungan temannya itu.

Nala dan pacarnya memang berbeda sekolah, mereka bertemu di tempat les dan mulai dekat karena Nala yang waktu itu menawarkan tebengan untuk pulang. Kedekatannya berlangsung lama dan hingga akhirnya Nala mengajak gadisnya itu untuk menjalin hubungan dengan lebih terikat; pacar.

"Putusin aja kalo gitu." Nala tentu terkejut mendengarnya. Bagaimana bisa Juni dengan mudahnya mengatakan hal seperti itu. Harusnya Juni paham seberapa sayang Nala kepada pacarnya.

"Gak bisa, Jun, gue sayang banget sama Lala." Muka melas milik Nala tidak meluluhkan hati Juni untuk terus mendesak Nala. Hubungan mereka sudah tidak sehat, terlalu toxic. Juni tentu tidak mau membiarkan temannya itu terus ada di bawah bayangan awan hitam yang kapanpun bisa menghadirkan hujan deras.

"Dianya gak sayang sama lo." Tembak Juni tepat di uluh hati Nala.

Penjelasan panjang lebar itu membuat Nala kembali bimbang dengan keputusannya. Sebenarnya, dari dirinya sendiripun ada keinginan untuk memutuskan hubungan ini. Sudah lelah Nala selalu dibohongi dan di duakan. Nala lelah harus terus-terusan mengalah dan mengerti situasi gadisnya disaat gadisnya sendiri bisa seenaknya terhadap perasaan sayang milik Nala.

"Nanti gue pikirin lagi deh, Jun. Makasi, ya."

"Jangan bilang makasi dulu kalo lo gak putus sama Lala." Nala menyenggol lengan Juni pelan dengan wajah memelasnya. Temannya itu gencar sekali menyuruhnya putus disaat Nala sendiri masih begitu sayang.

Keduanya kembali diam. Juni dengan fokusnya yang memperhatikan Sabian. Dan Nala yang tentu saja memikirkan soal apa yang baru saja Juni katakan. Sepertinya memang benar, bahwa dalam hubungan harus ada hubungan timbal balik. Tidak bisa kalau satu saja yang mendayung perahu, dan satu lagi hanya duduk manis tanpa membantu.

Nala kemudian mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu disana.

Lala, nanti pulang sekolah ketemu sebentar, yuk.

Tepat saat Nala kembali memasukkan ponselnya ke saku, pandangannya jatuh pada Sabian yang sudah oleng di tengah lapangan sana. Nala dan Juni langsung berlari menghampiri Sabian. Bahkan Jovi pun meninggalkan Sylla yang masih syok di tepi lapangan.

"Yan, woi bangun." Sayup-sayup Sabian bisa mendengar panggilan dari teman-temannya itu. Namun, rasanya untuk membuka mata saja susah sekali. Dunia seakan berputar ke segala arah. Sabian hanya bisa pasrah dengan tubuh yang rasanya melayang-layang.

"Bawa ke UKS aja."

.

.

.

.

.

tbc.

sampe sini gimana? aneh gak? kritik dan saran sangat dibutuhkan ya :)
menurut kalian ini kepanjangan apa nggak? alurnya kecepetan apa nggak?
plis banget ya komen hehe, aku lagi on fire banget nulis nya :)))

[ BAGIAN INI SUDAH DIEDIT MENJADI BAGIAN NARASI YANG AKAN TERBIT ]

FOOLS || LEE HAECHAN ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang