5. Sungai Tanpa Muara (edited)

1K 152 6
                                    

[ BAGIAN INI SUDAH DIEDIT MENJADI BAGIAN NARASI YANG AKAN TERBIT ]















Juni melangkah lunglai di sebuah lorong panjang seperti tanpa ujung. Lama-lama Juni muak dengan segala tentang rumah sakit dan seisinya. Juni membuka perlahan pintu dengan nomor 25. Senyum sayu yang teduh itu menyambut Juni, membuat sedikit rasa hangat di dadanya.

"Maaf, ya, Ma, Juni tadi habis bantuin guru masukin nilai."

"Oh iya, habis gini libur kenaikan semester, ya?" Juni tersenyum menanggapi. Dirinya sibuk mengupas apel, sedangkan Mamanya sibuk memperhatikan anak satu-satunya. Dipandangnya wajah itu, meningatkannya pada wajah pertama kali anaknya hadir di dunia. Memerah dan kecil mungil, kini anaknya tumbuh menjadi remaja yang sudah mulai mengenal cinta. !A

"Juni." Dengan lembut, Mamanya memanggil.

"Kalau Mama udah nggak disini lag-"

"Mama nggak bakal kemana-mana." Nadanya tegas. Bukan sebuah permintaan, melainkan pernyataan yang valid. Berusaha meyakinkan segalanya bahwa tidak ada yang akan pergi. Tidak dengan Mamanya.

Wanita dengan wajah pucat itu tersenyum halus. Mengusap pelan surai legam milik Juni sembari menatap tepat di manik matanya. Mimik Juni yang datar tidak bisa di baca sama sekali bagaimana isi hatinya.

Juni memang bukan manusia yang bisa mengekspresikan segala hal. Bagaimana ia senang, sedih, kecewa, marah, Juni hanya bisa memenjarakannya dalam ruang penuh emosi. Tersimpan rapi sampai tidak ada sama sekali yang bisa menemukannya. Juni terlalu bingung untuk mengutarakan segala hal yang bisa jadi boomerang untuk dirinya sendiri. Maka dari itu, memendam semuanya adalah pilihan satu-satunya.

"Mama pasti sembuh, Juni yakin." Dan disaat seperti ini, yang Juni inginkan hanya sunyi senyap yang mampu memblokir semua emosinya yang meronta ingin bebas. Juni mencoba mencari segala hal baik untuk menimbun hal-hal buruk yang kemungkinan akan terjadi. Juni terlalu takut untuk menemukan satu titik kenyataan yang ia coba hapus sebersih mungkin.

"Nak, semua yang hidup, pasti akan mati. Begitu juga dengan Mama. Mama gak bisa hidup abadi di dunia ini." Yang Juni takutkan adalah sebuah nyata yang pasti. Juni paham, semua yang hidup akan mati. Tidak ada yang abadi di dunia ini. Termasuk Mamanya.

"Juni inget, nggak, dulu kamu pernah jatuh dari sepeda. Lutut kamu berdarah, siku kamu berdarah, di jidat sini juga sempet robek, kan? Tapi kamu pulang sendiri, jalan sambil nuntun sepeda, terus kamu bilang, 'Ma, aku tadi habis jatuh, tapi aku bisa berdiri sendiri.'" Juni masih bungkam, sedikit mengingat-ingat kejadian yang membuatnya tidak masuk sekolah selama hampir satu minggu.

"Mama percaya kalo kamu jatuh nanti, kamu bisa berdiri sendiri tanpa bantuan Mama."

Tapi Ma, anakmu ini nanti tidak punya rumah lagi untuk pulang.

Juni mendongak, mengantisipasi terjadinya guyuran air yang terjun perlahan dari pelupuk matanya. Seperti sungai tanpa muara, Juni tak tau kemana hilirnya pergi untuk bertemu samudera.

"Mama udah janji buat nggak ninggalin Juni sama Papa. Mama udah bilang kalo bersedia berjuang buat sembuh. Mama udah lupa sama semuanya? Mama mau nyerah gitu aja?" Juni masih tegas dalam setiap kalimat yang ia utarakan. Ia masih tidak terima dengan pernyataan tersirat dari Mama soal keputus-asaan. Juni masih bersembunyi di balik batu besar bernama penolakan. Ia masih menolak akan adanya pergi yang tak kembali.

Mama hanya bisa tersenyum tipis, seolah untuk menarik kedua ujung bibirnya saja sudah menyakiti sekujur tubuhnya. Disaat seperti ini, Mama seolah menjadi Ibu yang gagal. Tidak bisa menemani anaknya tumbuh sampai dewasa adalah ketakutan terbesar seorang Ibu. Bagaimana anaknya berjalan tertatih-tatih tanpa ada pegangan yang siap memapahnya hingga akhir.

FOOLS || LEE HAECHAN ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang