[ BAGIAN INI SUDAH DIEDIT MENJADI BAGIAN NARASI YANG AKAN TERBIT ]
Hanni memandangi tampilannya di cermin. Baju rapi, rambut diikat kuda, make-up tipis, dan senyuman gugup. Hari ini, bisa dibilang sebagai hari pembalasan atas apa yang sudah ia perjuangkan sebelumnya.
Beberapa kali Hanni terlihat seperti menggumamkan mantera penenang untuk dirinya sendiri. Menarik nafas dalam-dalam, yang lalu di keluarkan dengan gugup yang ikut menguar.
"Tenang, Teh, kalo gugup gini takutnya ngeblank." Sabian datang membawa dua mangkuk bubur yang baru saja ia beli di ujung jalan.
Mereka berdua makan dalam diam. Semangkuk bubur ayam yang diaduk itu menjadi fokus atensinya. Sudah sejauh ini perjalanannya, semua rasa sakit sudah ia obati dan sembuh perlahan. Hanni tahu, jika selepas ini, ia akan berperang dengan kenyataan yang jauh lebih keras. Dunia yang jauh lebih kejam.
Hanni ingat kata Abbah ketika mereka berdua duduk di teras rumah. Abbah dengan secangkir kopi tanpa gula dan Hanni dengan segelas sirup marjan yang segar. Kata Abbah, "Hidup itu bukan hanya soal berjalan atau terjatuh, tapi juga soal terbang setinggi mungkin. Dijalani pelan-pelan, dinikmati apa yang ada. Kalo jatuh, ya bangun sendiri. Jangan nunggu ada orang buat bantu kamu berdiri lagi. Kalau punya mimpi, mimpilah setinggi mungkin. Supaya kalo kamu jatuh, kamu jatuh di antara bintang." Begitu kata Abbah, yang katanya dia dengar sendiri langsung dari Ir. Soekarno saat dirinya masih kecil.
Sejauh ini, diumurnya yang sudah memasuki kepala dua, Hanni sudah banyak terjatuh. Berulang kali, terus-menerus, sampai rasanya muak. Hanni terkadang lelah, dirinya lelah meloncat untuk menggapai sesuatu hal yang terlalu tinggi pikirnya. Sampai suatu saat, Hanni sadar. Ini baru awal. Yang ia hadapi waktu itu baru awal dari segalanya. Awal dari rasa sakit, dan pintu gerbang menuju peperangan. Hanni siap untuk menghadapi hal yang lebih besar lagi. Harus menghadapi rasa sakit yang lebih perih lagi. Harus melompat sedikit lebih tinggi lagi.
Dan disini, di tempat Hanni berdiri saat ini. Menghadap ke gedung dimana dirinya akan di tombak habis-habisan. Hanni siap. Sangat siap. Teman-temannya hadir disana dan memberikan sepatah, dua kata, atau lebih. Seakan mengantarkan Hanni ke gerbang Coloseum untuk dirinya bertarung melawan gladiator lain.
Namun, senyum Hanni tak bertahan lama ketika obsidiannya menangkap figur yang berdiri tidak jauh darinya. Sosok yang ia rindukan, namun juga ia benci di saat yang bersamaan. Dia yang membuat hati Hanni hancur berkeping-keping, sampai rasanya tidak mungkin untuk di poles ulang. Seumpama cermin yang pecah, meski sudah di rangkai ulang, cara cermin itu menggambarkan sosok yang menatapnya sudah tidak lagi sama.
Sesuatu di tangannya mengalihkan perhatian Hanni. Sebuah buket bunga matahari terikat rapi dan cantik. Bunga kesukaan Hanni itu masih sangat ia hafal. Bahkan setelah hampir satu tahun lamanya mereka berdua tidak bertegur sapa. Bahkan hanya untuk berpas-pasan saja enggan.
Hanni masih menatap tajam laki-laki di depannya. Bahu lebar yang Hanni rindukan kini bisa ia lihat dengan jelas di depan matanya. Tangan yang selalu membelainya lembut membuat sebagian di bagian dadanya sedikit nyeri. Menyadari bahwa tangan itu sudah tidak bisa ia rasakan lagi.
Jika boleh jujur, Hanni merindukan sosok ini. Sangat merindukannya. Hanni akan terlihat sangat munafik ketika lisannya berkata bahwa dirinya sangat muak melihat wajahnya. Kontras dengan Hanni yang disaat gelapnya malam, ia sering mengenang semua yang terjadi diantara mereka. Mereka ulang segala adegan manis yang pernah terjadi di antara mereka.
"Gue cuman mau ngasih ini aja, sekalian minta maaf sekali lagi." Lagi-lagi, suara yang ia rindukan memasuki gendang telinganya. Meraba-rada kenyataan bahwa suara yang ia dengar sudah bukan miliknya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOOLS || LEE HAECHAN ✅
FanfictionHadirmu membuatku hangat. Seperti matahari yang sinarnya terik, namun selalu ku nikmati setiap hari. Senyummu membuatku tenang. Seperti bintang malam yang menemani bulan bersinar terang. Hadirmu pun turut menemani hari-hariku yang kelam. Kalau matah...