[ BAGIAN INI SUDAH DIEDIT MENJADI BAGIAN NARASI YANG AKAN TERBIT ]
Sabian berdiam diri di depan lemari pendingin berisikan berbagai macam minuman. Untuk memutuskan dirinya ingin meminum apa, Sabian butuh setidaknya lima belas menit. Pada akhirnya, ia mengambil Nu Green Tea rasa madu yang sudah menjadi minuman kesukaannya sejak lama.
Saat berbalik, dirinya tidak sengaja menyenggol gadis yang sedang memilih makanan ringan di rak yan berseberangan dengan lemari pendingin. Sabian diam sejenak, menyadari bahwa sepertinya ia mengenal gadis dengan rambut lurus sebahu itu-gadis kesukaannya.
"Sabian?" Yang bisa Sabian berikan sebagai respon adalah anggukan kaku dan mata yang masih menelisik ke setiap suduh wajah gadis itu. Ada sedikit sengatan listri bertegangan 220 volt yang mengalir di sekujur tubuhnya. Terutama bagian dada yang sedikit berisik.
"Hai." Seperti bisikan, balasan dari Sabian membuat gadis itu terkekeh karena suaranya yang hampir crack.
"Apa kabar?" Bisa-bisanya gadis itu dengan entengnya menanyakan kabar Sabian disaat Sabian sendiri masih sibuk mengatur gejolak yang meronta ingin dikeluarkan.
Baik, sebelum gue ketemu lo lagi. Seperti membeku, lidah Sabian tidak dapat digerakkan ketika saraf di kepalanya sudah bersiap untuk merespon. Atau, Sabian terlalu pengecut untuk membiarkan gadis itu tahu jika perasaannya masih sama sampai mereka sudah sebesar ini. Perasaan yang kata orang-orang adalah cinta monyet. Tapi bagi Sabian, cinta pertamanya yang satu ini benar-benar tidak bisa dibiarkan begitu saja.
"Baik." Dan akhirnya, jawaban itu keluar meski tidak disertai kalimat lanjutannya yang sudah tertulis jelas di pikirannya.
"Ngobrol di luar aja, ya. Sekalian temu kangen." Sabian tidak tahu kenapa mendengar kekehan seseorang bisa semenyenangkan ini. Matanya yang berpendar cantik begitu candu, seolah memantrai Sabian begitu dalam.
Sabian tidak pernah memikirkan momen ini akan terjadi. Bertemu kembali dengan gadis kesukaannya tanpa peringatan dan duduk berdua di teras Indomaret. Keduanya memandangi lalu lintas yang ramai. Malam ini, sepertinya jalanan sedikit ricuh dari biasanya. Sama ricuhnya seperti segala isi pikiran Sabian.
"Gimana Surabaya?" Sabian yang kali ini memulai pembicaraan. Sebenarnya, bukan soal Kota Surabayanya, tetapi soal kehidupan Putri yang Sabian tidak bisa simak lagi dari dekat.
"Gak jauh beda sama di sini. Makanannya juga enak-enak kok. Kapan-kapan gue ajak ke Kenjeran, ya. Disana banyak makanan yang enak-enak, murah-murah juga. Kayanya lo bakal suka, deh." Dan gadisnya itu juga tidak jauh berbeda sama yang dulu. Masih hafal dengan hal-hal di diri Sabian. Hal kecil yang membuat Sabian seolah masih memiliki kesempatan untuk melangkah sekali lagi dan mencapai garis finish.
"Kemarin gue sama cowok gue abis muter-muter di sana, serius deh itu tempatnya lo banget." Atau mungkin, keadaan baru saja menghujaninya dengan satu fakta tersirat bahwa tidak pernah ada garis finish. Ia hanya berlari mengejar ujung yang tidak pernah ada sama sekali. Seperti berlari di landasan pacu tanpa garis finish. Terus berlari mengejar hal yang tak pasti.
"Dia baik?" Putri bingung dengan pertanyaan out of topic dari Sabian. Sampai akhirnya Putri paham siapa 'dia' yang dimaksud oleh Sabian. Respon Putri adalah salah satu hal yang Sabian sesali atas pertanyaannya. Senyuman lebar dan anggukan mantab yang dapat Sabian baca jika laki-laki itu lebih dari seorang manusia baik.
"Baik banget. Dia cowok yang dateng Cuma sekali di hidup gue. Gue rasanya beruntung bisa dapetin dia." Ucapannya menjelaskan bahwa hanya laki-laki miliknya lah yang sempurna. Menekankan bahwa ia sangat mencintai laki-laki itu.
"Kalo lo butuh apa-apa, gue masih disini. Gue masih nyediain telinga sama bahu buat Lo." Putri tersenyum. Rasanya senang melihat Sabian yang masih sama seperti dulu. Sabian yang tidak pernah protes ketika bahunya selalu basah. Sabian yang tidak pernah mengeluh bahunya kram. Sabian kecil yang sok dewasa dengan cita-cita menjadi ultraman itu, masih bisa Putri rasakan hingga detik ini.
"Dan gue juga beruntung punya sahabat kaya lo." Ingin rasanya Sabian menjungkir balikkan semua meja di teras Indomaret ini. Kenapa rasanya sesakit ini mendengarnya langsun dari mulut manis itu.
"Lo juga kalo bu-eh!" Putri memekik ketika mendapati Sabian yang sudah ambruk di sampingnya. Dengan mata terpejam erat, Sabian seolah tidak memiliki niat untuk membukanya. Putri masih kalang kabut dengan beberapa orang yang sudah mengerubungi dan membantu mengangkat Sabian ke pinggir.
"Halo, Kak Hanni, Bian pingsan."
»» ⟩⟩ ★★★ ⟨⟨ ««
Seharusnya malam ini Hanni berada di sebuah café untuk mengadakan pesta kecil-kecilan bersama teman-temannya. Katanya sih buat pesta perpisahan untuk beberapa yang sudah wisuda beberapa waktu lalu-termasuk Hanni.
Seharusnya juga, saat ini Hanni senang bisa bertemu dengan Putri yang berkunjung dan berencana menemui Hanni juga. Namun, bukan pertemuan seperti ini yang Hanni inginkan. Tidak di sebuah lorong yang dingin.
"Sabian sakit?" Putri memecah keheningan setelah sebelumnya mereka sedikit berbincang soal kepulangan Putri yang sudah Hanni ketahui sejak awal. Hanni dan Putri memang masih saling bertukar kabar sesekali, atau hanya sebatas penonton di status WhatsApp. Entah kenapa, permintaan Putri untuk tidak membiarkan Sabian terkoneksi dengannya diiyakan oleh Hanni. Meski tanpa alasan yang jelas, Hanni lebih memilih untuk diam dan membiarkan kedua remaja labil itu menyelesaikan urusan mereka sendiri.
"Enggak, paling kecapekan aja itu anak. Main terus kerjaannya." Hanni menyelipkan sedikit kekehan disana. Hanya untuk memberi rasa tenang kepada dirinya sendiri. Jika Hanni tidak tahu, mungkin itu adalah bohong. Sejak kejadian aneh di dapur kala itu, Hanni jadi lebih sering memperhatikan gerak-gerik Sabian. Tidak jarang juga Hanni mendapati Sabian dengan wajah pucatnya.
"Kamu nggak pulang? Ini udah malem lo." Putri menggeleng, dirinya harus benar-benar tau keadaan Sabian dengan telinganya sendiri. Ia harus memastikan bahwa Sabiannya baik-baik saja. Cara kerja sahabat memang begitu, kan?
Dokter keluar, mengajak Hanni untuk menuju ruangannya dan membiarkan Putri duduk diam di lorong itu. Dirinya ragu untuk masuk menemui Sabian atau tidak. Padahal beberapa waktu lalu dirinya dan Sabian bisa dengan leluasa bertegur sapa. Lalu, kenapa sekarang Putri mendadak ragu.
Dan keputusannya berakhir pada dirinya yang memutuskan untuk pulang. Tanpa memberi tahu Hanni, maupun Sabian. Ia rasa, pertemuannya kali ini bukan waktu yang tepat untuk meluruskan semuanya. Mungkin di lain waktu, jika takdir kembali baik padanya dan mengijinkanya untuk kembali bertemu.
Silakan ejek Putri sepuas-puasnya, karena memang Putri merasa pantas untuk itu. Putri kira, itu semua cuman rasa suka yang anak kecil ciptakan dan cuma cinta monyet belaka. Well, semakin Putri menolaknya, semakin dirinya yakin. Kalo perasaannya adalah valid. Masih ada sisa-sisa sedikit perasaan berdebar ketika bertemu dengan Sabian. Masih ada satu kupu-kupu yang tersisa yang tinggal di perutnya untuk sekedar menggelitiknya.
Putri tersenyum gamang pada malam dingin yang menyambutnya. Pada keramaian jalanan. Pada bintang-bintang. Dirinya cukup bodoh untu mengatakan bahwa ada yang lebih menarik dari sebuah cupang merah jambu. Bahkan akuarium sebesar sea world pun, jika isinya adalah seekor cupang kesepian, tidak ada artinya sama sekali.
Hal kecil yang Putri tolak demi sesuatu yang lebih besar, membuatnya lupa akan satu hal. Bahwa semua sesuatu yang besar, dimulai dari yang kecil. Seperti angka yang dimulai dari terkecil hingga menghasilkan angka yang besar. Seperti tunas yang awalnya kecil, lalu berubah menjadi pohon besar yang mampu melindungi manusia yang berteduh di bawahnya.
.
.
.
.
.
tbc.
echan masih kena gejala kok, jangan panik ya chan :(
Maaf banget ya kalo garing :(sampe sini gimana? aneh gak? kritik dan saran sangat dibutuhkan ya :)
menurut kalian ini kepanjangan apa nggak? alurnya kecepetan apa nggak?
plis banget ya komen hehe, aku lagi on fire banget nulis nya :)))
KAMU SEDANG MEMBACA
FOOLS || LEE HAECHAN ✅
FanficHadirmu membuatku hangat. Seperti matahari yang sinarnya terik, namun selalu ku nikmati setiap hari. Senyummu membuatku tenang. Seperti bintang malam yang menemani bulan bersinar terang. Hadirmu pun turut menemani hari-hariku yang kelam. Kalau matah...