Warita Jentaka
Menurut Jena, bentala itu gelita, berpuaka, pun saksi kegetiran hidup yang nyata—yang tak akan pernah ia lupa, sampai kapanpun.
Baginya, atma hanyalah tentang siang yang melingkup malam, atau pula sebaliknya. Berotasi berkelaluan dalam menunggu para insan berekaristi kepada sang Halikuljabbar, walaupun realitanya hanya segelintir manusia yang berlaku demikian.
Ia merasa tak lagi punya hati, tidak pula merasa 'hidup'. Batinnya benar-benar kosong, asanya benar-benar telah hilang, dimakan masa yang yang benar-benar binasa.
Jena tak percaya dengan adovaksi, kalau waktu adalah obat terbaik dari segala bentuk luka, yang pada kenyataannya itu tidak berlaku untuknya, itu hanya akan semakin menghancurkannya, tidak secara langsung, namun secara bersilir-silir, sampai rasanya... ia ingin berteriak kepada semesta, memintanya supaya lekas mengukir bagian akhir, dari hidupnya.
Namun, lagi-lagi Jena tidak diijinkan untuk itu. Laranya masih menunggu. Deritanya belum selesai. Bebannya pun masih menjegal erat pada adimarga selepas itu.
Beruntungnya—bolehkan Jena menyebutnya begitu?—kini ia tidak akan selalu melewati hal itu sendiri. Tidak lagi. Jena, mulai jangka ini akan melintasi duka dengan dia, penggugur derita, pencipta secercah asa, serta penghapus luka, cak interpretasi jenamanya.
Dan semoga saja... dia tidak akan secepat itu berlalu... seperti euphoria.
KAMU SEDANG MEMBACA
WARITA BAHARA
Teen FictionDemi apapun, Langkas Bahara-Bara-tak pernah membersitkan sesal di afeksinya seusai mengenal dara berasma Warita Jentaka, yang ia ketahui; membenci hidupnya, mengutuk takdirnya, pun menyumpah-serapahi semesta yang sudah memaksanya hadir pada bentala...