Pelacur itu!
Menjijikkan!
Mengapa ia masih berani menampakkan diri di hadapanku? Mengapa ia betul-betul kehilangan rasa malunya? Apa dia punya hati? Apa dia punya otak? Menjijikkan!
Persetan dengan keadaanku yang begitu lelah setelah pulang dari tempat kerja! Persetan dengan kegiatan memalukan yang sedari tadi—tepatnya 5 menit, kalau aku tidak salah mengira—kusaksikan! Persetan juga dengan rasa hormat yang dulu selalu kuagung-agungkan!
Rasanya hatiku panas; mendidih seperti gunung berapi yang siap meletus, membara seperti bara api neraka yang panasnya tiada banding—dan kuharap perempuan itu merasakannya!
Kakiku yang sebelumnya seperti terpaku kuat dengan jalan setapak menuju rumahku kini kuseret cepat, bahkan suaranya yang cukup keras tidak mampu membuat kedua orang yang sedang "menggila" itu berhenti, setidaknya terjeda apa tidak bisa?
Di depan pintu aku meludah keras supaya mereka kembali ke dunia nyata, tak lupa untuk mengarahkan ludahanku ke arah mereka, tidak tahu mengapa aku malah senang sekali. Dan, sebelum mereka sempat saling berbenah, kudorong keras tubuh pria menyebalkan itu, sampai-sampai kepalanya hampir saja mengenai kaki meja yang ada di ada disebelahnya.
Kualihkan perhatianku kembali ke wanita pelacur di depanku, yang tampaknya begitu terkejut, bahkan hanya untuk memekik keras—seperti kebiasaannya—karena teman duelnya terjatuh, limbung dan teronggok lucu, menurutku, tidak bisa.
"Dasar pelacur tidak tahu diri! Tidak punya urat malu lagi, kah, Anda?!"
"Dasar jalang tidak tahu sopan santun!" kataku kembali dengan tajam lalu kutampar ia berkali-kali, ke kanan lalu ke kiri, sampai aku merasa lega, sampai aku puas, juga sebelum ia sadar dengan tindakanku yang brutal layaknya wanita gila yang kabur dari sel Rumah Sakit Jiwa tempat ia dirawat.
Rasanya aku kesetanan!
"Hentikan!"
Sudut bibirku terangkat sedikit melihat pria—yang sama-sama tidak punya malu—beranjak dari posisi teronggoknya. Matanya yang besar dan hitam menatap tajam ke arahku, seolah-olah ingin memutilasi tubuhku satu demi satu. Tapi aku tak gentar, kupandang balik dirinya dengan pandangan menelanjangi, sama seperti keadaannya yang hampir telanjang bulat.
Memangnya aku akan kalah? Jika emosiku saja rasanya mampu untuk meracuni pikiranku supaya membunuh kedua orang "gila" ini! Jika ambisiku saja mampu untuk membabi buta manusia setengah iblis di rumahku!
"Oh, masih beranikah, Anda mengeluarkan suara menjijikkan di hadapan saya? Punya mental juga Anda. Baik," aku mengambil sebuah cambuk secara cepat yang semula menggantung apik di dinding cokelat rumahku yang sudah banyak mengelupas dan terlihat rapuh kalau-kalau mampu menelisiknya lebih dalam, "ini untuk Anda!"
Tanpa sempat mengelak aku mencambuki keras pria itu, tak mengenal tempat—karena mataku sempat meneliti sekilas kala rupanya yang tidak bagus-bagus sekali itu mulai memerah dan bahkan mengeluarkan darah. Rasakan itu!
Setelah pria itu mulai tidak sadarkan diri—dan aku betul-betul kaget kala wanita pelacur itu juga tidak mampu mengeluarkan suaranya, ya, meski cicitan sebenarnya kurasa masih bisa, tapi apa peduliku, intinya mereka harus jatuh sejatuh-jatuhnya di hadapanku, ingin aku memaksa mereka bertekuk-lutut menyembah kakiku.
"H-Hen.. ti.. kan ... kumo.. hon.."
Kuhentikan kegilaanku untuk "menganiaya"mereka sementara waktu. Kutelisik keduanya yang... mungkin akan pingsan. Persetan!
Dan tanpa merasa bersalah sedikitpun aku mengayunkan tanganku ke arah pintu—suatu bentuk kehormatan bukan, aku masih bersikap "baik" setelah puas melayani mereka?—untuk meminta mereka segera angkat kaki dari rumahku.
"Baik. Aku rasa cukup untuk mengakhiri pertunjukkan kecil yang begitu manis beberapa saat yang lalu. Silahkan keluar! Atau. Aku. Akan. Menyeret paksa. Kalian!"
"Keluar!" bentakku keras sekali, yang menambah debar jantungku yang sudah terasa sakit—sejak pertama kali aku melihat adegan tidak senonoh yang berlangsung kala kakiku menginjak jalan rumahku—semakin terasa sakit. Aku takut kalau ia akan keluar dan menakut-nakuti mereka! Sang Pelacur Minus Empati dan si Pemuas yang Gila Napsu Berahi! Cuih!
Tanpa merasa perlu untuk kukomando lagi, mereka berdua lari tunggang-langgang seolah-olah aku akan mengkremasi mereka untuk beberapa jam ke depan. Ingin aku tertawa, tapi rasa sakit yang merajam hatiku sulit sekali kukendalikan. Dan rasanya kepalaku juga terkontaminasi jantungku dengan ikut menggila juga. Bedebah!
Pandangaku secara mendadak membentuk figur titik-titik kecil yang semula sedikit berevolusi menjadi berjibun. Sakit sekali! Kubuang asal cambukku sembari meraba-raba sekitarku yang semakin mengabur!
Ini... gila!
"Tuhan... Kurang kacau apalagi hidupku," lirihku sebelum ambruk di dekat kursi, dekat dengan tempat pria tadi terjatuh setelah kulibas. Rasanya aku seperti menemukan ketenangan namun menyakitkan yang menusuk ulu hatiku, hingga ia menciut dan berimbas kepalaku yang terasa ingin pecah. Hm, darahnya tidak bisa mengalir lancar, sekadar informasi.
Tak lagi kupedulikan teriakan tetanggaku—yang syukurnya masih punya rasa peduli terhadapku—yang histeris sekali, mungkin karena kondisiku yang kacau. Aku tak lagi merasakan rangsangan tepat setelah kata "tolong" yang terujar keras dari tetanggaku menggema. Selamat tinggal—untuk masa yang hanya singkat—dunia..
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
WARITA BAHARA
Teen FictionDemi apapun, Langkas Bahara-Bara-tak pernah membersitkan sesal di afeksinya seusai mengenal dara berasma Warita Jentaka, yang ia ketahui; membenci hidupnya, mengutuk takdirnya, pun menyumpah-serapahi semesta yang sudah memaksanya hadir pada bentala...