Aku sulit menyatu; dengan banyak hal yang seharusnya bisa, dengan segala sesuatu yang semestinya mampu, dengan berbagai entitas yang senyatanya merekat, lekat sempurna dengan jiwaku.
Tapi semua tak sesederhana pada realitanya; apa yang mudah menjadi susah, apa yang lumrah seolah rekah. Semuanya kian rumit. Aku seperti dihadapkan jutaan stalaktit rapuh, yang kapan-kapan saja jika Tuhan mau, roboh, jatuh tepat mengenai diriku. Dan, dalam imajiku yang paling menyakitkan tapi nyata, aku akan mati, dengan kondisi yang paling menakutkan, atau tidak juga, ya, mungkin saja. Itu semua terasa penuh; dalam benak dan juga pikiranku. Menjadi momok setiap malam yang kulewati—terasa panjang, gersang, dan memilukan.
Siapa memangnya yang akan mengulurkan bantuan kepadaku? Aku punya siapa memang di dunia? Terlahir dengan begitu mengerikan, yang jujur, aku sendiri tidak begitu paham dengan sebab aku dilahirkan ke dunia. Mengapa Tuhan kejam? Mengirimku dalam wujud seonggok tubuh yang sering lemah, menempatkanku dalam posisi hidup yang tak jauh dari prahara. Rasanya seperti besok kiamat saja kala aku membuka mata.
Banyak yang bilang, "Dalam hidup itu tidak ada yang sia-sia. Semua diciptakan untuk saling berguna ... dan bermanfaat, antar satu dengan yang lainnya."
Omong kosong! Tahu apa mereka? Memangnya semua manusia dilahirkan dengan nasib yang sama? Dengan takdir yang serupa? Seolah tak ada bedanya.
Stigma itu kutolak mentah-mentah! Memang mendebat orang yang tak pernah merasakan nasib buruk adalah hal yang sia-sia, tidak ada guna, pada dasarnya. Mereka akan terus memojokkan kita dengan dalih nasihat yang terasa paling sempurna, yang mengatakan Tuhan itu adil adanya. Dan bla ... bla ... bla. Itu memuakkan!
Setengah jam lalu, aku melihat langit-langit kamar yang penuh sawang—kadang terasa pengap dan menakutkan, tapi aku terlalu malas nyatanya hanya untuk sekedar membersihkan, waktuku sudah habis untuk memperjuangkan sesuatu yang manusia sebut sebagai kebutuhan, setidaknya alasan itu cukup untuk kuutarakan—dengan mata yang cukup berat untuk kubuka lebih lebar. Badanku terasa kaku dalam kondisi terbujur yang kadangkala jika aku sedang 'gila', akan kubayangkan seperti sampan hanyut di perairan tenang, tanpa sedikitpun derak, iya, teronggok seperti mayat.
Berteman hening dan rasa dingin yang masih belum sepenuhnya kupahami, aku terus menatap kosong langit-langit kamarku. Aku tidak tahu mengapa aku bisa ada di sini. Sebelumnya aku berada di mana, ya? Aku rasa ... ada sesuatu yang 'cukup' gila, sampai memoriku kembali ngadat. Sejenak aku memejam, menutup mata dan mengusahakan untuk segera ingat apa-apa yang sudah terjadi.
Satu menit berlalu dengan tenggorokanku yang sedikit terasa sakit, agaknya aku merasa begitu haus. Dengan sedikit kesusahan aku mengamati dinding samping kiriku, gelap. Sekarang jam berapa? Mengapa matahari tampak begitu jauh? Sedalam apa aku terhanyut di pusaran ketenangan tidak abadi? batinku berkecamuk tanya.
Lelah menerka-nerka hal yang masih belum jelas aku berusaha bangkit, setidaknya duduk. Tidak menunggu lama, pusing menyerang kepalaku, tepatnya di bagian belakang, yang segera kusambut dengan memejamkan mata dan menggigit bibir—salah satu upayaku dalam melawan rasa sakit itu ketika datang tiba-tiba. Sungguh, gelap itu menyergap mata sampai ke sel-sel dalam otakku.
Tak tahan dengan rasa sakit yang kian menjadi, aku memaksakan diri untuk berdiri, menyingkap selimut secepat kilat dan membuangnya di lantai dingin kamarku. Terhuyung aku ke sana-sini untuk beberapa saat, sampai kemudian aku terantuk meja kecil yang terletak di sudut kamarku—tempat dimana aku meletakkan buku-buku pelajaran, tas, dan benda yang sekiranya penting untuk sekolah—dan terjatuh. Rasanya aku seperti mempraktekkan peribahasa, "Sudah jatuh tertimpa tangga pula" secara langsung.
Demi Tuhan, dadaku berdebar begitu kencang dan itu sangat sakit, aku sampai kebingungan untuk menahan rasa sakit yang menyerang tubuhku, kiranya yang mana dulu sebaiknya harus segera kutangani.
Sambil mendesis menahan sakit, aku mengelus pelan jempol kakiku yang terlihat memprihatinkan; sedikit membengkak, merah, dan berdarah. Rasanya cukup untuk ikut merobohkan tubuhku kapan saja. Kalau tidak ingat usiaku yang akan menginjak 17 tahun bulan Oktober nanti, aku ingin menangis. Dan, ya ... karena banyaknya tekanan—menurutku—aku pun menangis.
Semilir angin yang asalnya dari jendela kamarku—yang berhadapan dengan pohon Mahoni lumayan besar di belakang rumahku dan beberapa pohon pisang yang sudah bertumbuh jantung satu dua—menerpa lembut anak-anak rambutku, tanpa ku sadari sedikit mendesirkan perasaan takut akan hal-hal di luar nalar. Tidak ingin berperang terlalu lama dengan rasa takut, aku membawa tubuhku ke luar kamar kecil yang dulu jauh lebih hangat dan 'manusiawi'.
Selangkah dari pintu kamar aku melihat seseorang—apa itu mungkin?—sedang tidur dengan badan bersandar kursi ruang tamu yang tampak jelas sekali membuatnya tidak nyaman. Tapi ... siapa orang itu? Semakin jelas mataku melihat, baru aku sadar, kalau itu seorang laki-laki. Siapa, sih, dia? Aku tak pernah melihatnya—dan aku juga tidak merasa kalau punya tetangga, kerabat, atau teman seperti rupanya.
Tanpa rasa takut aku melangkahkan kakiku menuju laki-laki itu, perlahan-lahan, satu dua langkah aku memijak, supaya ia tak akan bangun, juga ... supaya aku tahu alasannya berada di rumahku.
Pandanganku menajam; meniti wajahnya lekat-lekat dalam memoriku yang tidak seberapa ini—bahkan terkadang suka ada yang hilang dan tidak aku ingat yang selalu membuatku bingung, dan betapa tidak menyenangkannya lagi, selalu saja peristiwa penting yang terlupa, minus beberapa yang tidak akan aku ulas di sini. Semakin kulihat, aku semakin merasa aneh. Ada detak yang menggila, dan ini lain dari yang tadi aku rasakan karena terantuk meja. Lama ... dan balasku semakin larat, kian putus asa. Ini apa? Rasa apa?
Entah efek apa yang dimiliki laki-laki ini, saking seriusnya aku meneliti setiap inci wajahnya, aku tidak menyadari kalau laki-laki ini sedikit terganggu, sampai-sampai ia melenguh lumayan keras, mirip seperti keledai? Atau kerbau? Yang menggeram. Sukses aku berjengit dan mundur dari posisiku semula. Tak lupa cicitan kecilku, batinku sebal.
"Hm?"
"Eh?" Kupukul mulutku pelan kala aku malah mengeluarkan suara, seperti menjawab erangannya. Sial!
Dan ... dia terbangun! Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak pernah berinteraksi dengan laki-laki sedekat ini! Maksudku, aku tidak pernah berada dalam jarak yang begitu dekat dengan laki-laki—terlebih seseorang ini asing dari hidupku, dari keseharianku.
"Sudah lebih baik?"
Ribuan kata dan tingkah laku yang menari di pikiranku hancur, lenyap dalam putaran suara berat tapi hangat (?) dari laki-laki di hadapanku.
"E-em, iya, lumayan," kataku sambil memandang sekeliling ruangan yang ... mengapa buruk sekali? Apa rumahku kemasukkan maling? Jika itu benar, seharusnya aku tidak berdiri setenang ini sekarang! Aku harus segera melapor kepada RT tempatku, mana tahu aku bisa mendapat bantuan.
"Heh!"
"Y-ya?"
"Memikirkan rumahmu?"
Refleks aku menatap ke arahnya, dan sialnya—berapa kali aku mengulang kata ini?—mataku bertumbukan dengan matanya, wah, lumayan tajam juga tatapannya. Sembari memandang kaku rambutnya—aku juga tidak mengerti mengapa aku memilih melakukan itu—aku menjawab pertanyaannya yang memang sedang aku bingungi, "Iya, kenapa begini, ya?"
"A-ah, iya, kamu ini siapa? Kenapa kamu ada di rumah saya?" tanyaku lanjut, namun dengan suara yang lebih tenang. Beberapa kali aku mempelajari cara seseorang bijak berbicara dan melantunkan setiap kata supaya menjadi kalimat penuh arti yang memikat dan membuat pembicaranya terkesan 'berilmu', itu sebabnya aku melakukan itu—ya, berbicara tenang, supaya terlihat bijak.
"Wah, tidak ingat rupanya, ya ... "
Dalam perkataannya yang ambigu, aku menafsir perkara apa-apa yang kemungkinan terjadi tadi malam, lagi.
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
WARITA BAHARA
Teen FictionDemi apapun, Langkas Bahara-Bara-tak pernah membersitkan sesal di afeksinya seusai mengenal dara berasma Warita Jentaka, yang ia ketahui; membenci hidupnya, mengutuk takdirnya, pun menyumpah-serapahi semesta yang sudah memaksanya hadir pada bentala...