'Teman ranjang. Teman ranjang. Teman ranjang'.
Kalimat itu seperti bergema setiap detik. Waktu terus bergulir hingga rongga dada kian terimpit.
Jisa merenungi nasib. Bahkan, sebelum memulai ia sudah merasa begitu hina. Terjebak dalam situasi di mana ia harus mengorbankan satu-satunya hal suci yang menjadi kebanggan.
Mungkin, bagi kenyakan wanita lain, terutama di Korea Selatan, seks adalah sesuatu yang wajar. Sebagian malah menganggap seks kebutuhan setiap saat.
Namun, Jisa memiliki pemikiran berbeda. Katakanlah kolot, karena tubuhnya adalah miliknya. Sesuatu berharga. Bila ingin memilikinya, orang itu harus masuk ke dalam semestanya, tentu setelah berusaha keras mengambil hati.
Atensinya masih mengarah pada suasana Kota Seoul malam ini dari lantai empat. Cukup cerah. Bulan sabit masih nampak memikat dengan sinarnya. Hanya saja berlian berkedip tidak sebanyak biasanya. Sedikit tertutup awan. Lampu gedung dan jalanan mendominasi untuk membuat pusat kota kian gemerlap.
Andai suasana hatinya selaras dengan indahnya kota malam ini.
"Ji, sekarang waktunya." Sera berjalan mendekat.
Sebenarnya wanita itu sudah menunggu cukup lama. Hanya berdiri sembari terus meneliti lawan yang betah memandang satu titik fokus atau justru tengah tenggelam dalam kontemplasi.
"Aku tidak bisa melakukan ini." Jisa membalik badan. Menatap Sera lamat-lamat. Dalam tatapannya, Jisa seolah mengatakan bahwa ia belum siap. Entah sampai kapan kata siap itu ada. Mungkin pula tak akan pernah siap.
Sera memeluk Jisa hangat. Telapak tangannya menepuk-nepuk punggung Jisa. "Kau pasti bisa," ucapnya memberi semangat.
Kenyataannya, Jisa justru tak bisa menahan diri lagi. Cairan bening yang sejak tadi ia tahan akhirnya luruh. Jisa sesenggukan. "A-aku harus bagaimana? Semuanya...semuanya sudah terlambat," Jisa menyesali keputusannya.
Kata andai menjadi terlampau sering ia rapalkan. Andai ia tidak gegabah. Andai ia membaca keseluruhan isi kontrak dengan benar. Semuanya pasti tidak akan berakhir dengan kekacauan yang ia yakini tak akan pernah menuai akhir.
"Aku tahu. Sangat tahu bagaimana perasaanmu. Aku juga pernah mengalaminya di awal. Tapi, mau bagaimana lagi. Semuanya sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. Berharap bisa memutar waktu dan merubah keadaan jelas mustahil. Kita bukan tokoh kartun di mana menuju lorong waktu menjadi sangat mudah," ungkap Sera dengan telapak tangan yang kini berganti mengelus rambut Jisa yang tergerai.
"Ta-tapi, apakah kita benar-benar tidak bisa lari?"
"Lari ke mana? Kau tahu bahwa akses kita sangat terbatas. Atau bahkan tidak ada sama sekali. Kalau aku katakan, kita hanya perlu mengikuti arus takdir membawa kita sampai titik mana. Semoga saja itu takdir baik."
Meskipun mencoba untuk menerima, tidak semudah itu menyerahkan diri. Ketakutan terus menghadirkan asumsi. Kini otak pun tak bisa berpikir jernih.
Satu-satunya cara adalah menjalankan misi.
Seperti apa yang sempat Jisa pikirkan sebelumnya. Mencari celah di mana ia bisa menghentikan semua ini.
– – – –
"Ra-ya, aku harus masuk ke dalam kamar ini?" Sekali lagi Jisa memastikan.
Sera yang sudah jengah mendengar pertanyaan yang sama berdecak keras. "Sudah masuk. Jangan memikirkan hal-hal lain. Kau bisa berdiskusi dulu dengannya. Jika kau tidak mau, dia harus mengerti itu. Tidak ada pemaksaan. Tentukan kapan kau siap. Tidak harus malam ini. Ingat tentang sexual concent yang pernah kita bahas sebelumnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
BIG DEAL (Remake Dari "Shit!")
Fanfiction"Apa idol-idol itu tak ingin berkencan? Di umur mereka, seharusnya seks sudah menjadi kebutuhan." "Mereka sudah memiliki kita." "M-maksudmu?" "Kau tak membaca surat kontraknya? Di sana menjelaskan bahwa pekerjaan kita tidak hanya menjadi asisten." N...