Kacamata : Wendyta Maudyn

1.5K 239 1
                                    

Hidup kita bergantung pada sebuah perspektif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Hidup kita bergantung pada sebuah perspektif. Mau sebagus atau seburuk apapun kita, tetap saja tidak akan merubah pandangan orang-orang. Mereka hanya ingin melihat apa yang mereka lihat, tanpa mau tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Dan yah, orang-orang selalu memandang hidup saya dengan mata berbinar, seolah-olah hidup saya sempurna tanpa sedikit pun masalah. Nyatanya, hidup saya sama seperti mereka. Kadang berada di fase yang sangat rendah dan fase yang tinggi. Seumur hidup saya belum pernah merasakan hidup di fase sangat tinggi. Kenapa? Karena menurut saya fase paling tinggi dalam hidup adalah ketika kita mati. Loh, kenapa mati? Ketika mati perjalanan hidup kita berakhir dan kita bisa beristirahat dengan tenang tanpa harus memikirkan jalan keluar untuk masalah-masalah yang selama ini terus menghantui.

Fase hidup tinggi yang pernah saya alami adalah ketika bertemu Agust, laki-laki yang saat ini menjadi kekasih saya. Semenjak kenal dia, setidaknya hidup saya sedikit berwarna. Agust selalu membuat saya lupa sejenak tentang permasalah hidup saya.

Kami berdua sudah lumayan lama menjalin hubungan, tentunya dengan sembunyi-sembunyi karena profesi Agust yang seorang produser musik sekaligus artis terkenal. Rasanya saya harus tahu diri bahwa dia punya banyak fans yang tentunya akan kecewa jika kami mengumbar hubungan ini. Dan ya, saya malas kalau harus berurusan dengan para wartawan.

Tapi, akhir-akhir ini hubungan kami sedikit renggang atau mungkin akan segera berakhir? Entahlah, saya sendiri hanya bisa berserah pada takdir mengenai hubungan ini.

Ingin rasanya saya bercerita segala keluh kesah yang saya alami pada teman-teman di The Puan's, tapi saya tahu mereka pun punya banyak masalah dalam hidupnya. Saya tidak ingin cerita saya menambah beban mereka.

Satu-satunya cara bagi saya untuk sejenak melupakan masalah hidup saya adalah dengan menyendiri, rasanya saya bisa sedikit berdialog dengan pikiran-pikiran saya. Mungkin sebagian orang menganggap saya gila, but trust me, its work!

Agust
Wen, aku harus gimana?
Aku gak mau hubungan ini berakhir.

Saya menghela nafas panjang setelah membaca pesan dari Agust.

Gust, saya bilang kasih saya waktu.

Agust
Wen, gimana bisa aku diem aja ketika hubungan kita terancam?
Oke, aku kasih kamu waktu. Tapi ini udah terlalu lama Wendy, kamu pikir enak digantungin gini?


Engga Gust, siapa yang mau digantung sih? Tapi mau gimana lagi, saya masih bimbang untuk mengambil keputusan.

Sedikit lagi, kasih saya waktu sedikit lagi

Agust
Fine, setelah tour aku selesai. Aku mau kita ketemu.

Oke, dan sebelum tour kamu selesai kamu jangan hubungi aku.
See you, makasih Agust.

Saya kembali menghela nafas panjang ketika mengakhiri pesan dari Agust. Ada sedikit rasa bersalah yang membuat saya semakin merutuki diri ini.

Saya segera memasukan ponsel saya kedalam saku lalu menghampiri Jiya yang sedang membantu Jefna menyiapkan bahan makanan. "Jiya, di depan yang nganggur siapa ya? Ini aku mau minta tolong."

Jiya menoleh. "Ada Joya, Yeri, sama Ceca. Coba aja panggil, mbak," jawabnya.

"Okedeh. Aku samperin mereka dulu."

"Dipanggil aja, mbak. JOYA SINI WOY!" Jiya berteriak.

Tidak lama setelah Jiya berteriak, Joya datang ke dapur. "Ada apa, mbak?" tanya Joya.

"Tuh mbak Wendy mau minta tolong," jawab Jiya.

Joya segera menghampiri saya dengan wajah yang muram.

"Joy kamu senggang kan? Aku mau minta tolong ini supnya diaduk terus ya, aku lupa belum buat adonan cheesecake."

Joya mengangguk lalu melakukan apa yang saya katakan. Entah hanya perasaan saya saja, Joya sepertinya memang menjadi pendiam akhir-akhir ini, terlebih ketika gadis itu berada di dekat saya. Apa jangan-jangan ada sesuatu yang saya tidak sadari yang membuat Joya kecewa?

"Joya, maafin aku ya kalau memang ada perilaku atau perkataan yang bikin kamu tersinggung."

Dan setelah saya mengucapkan permintaan maaf, Joya tersentak seperti tidak menyangka dengan apa yang saya katakan. Kalau begini, apa benar Joya muram karena saya?



 Kalau begini, apa benar Joya muram karena saya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Yuhu, ada yang bisa tebak masalah mbak Wendy?

The Puan's | Blackvelvet | ON HOLD Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang