15. Malam Pertama

9.9K 279 2
                                    

Wijaya menatap istrinya dengan penuh hasrat. Rasanya dia sudah tidak sabar ingin memeluk Sekar dan menuntaskan semua malam ini juga.

"Diajeng...." bisiknya mesra.

"Saya belum siap, Raden," jawab wanita itu gemetaran. Entah mengapa dia menjadi begini. Harusnya Sekar senang karena telah menjadi salah satu bagian dari keluarga keraton.

"Jangan begitu, Kar. Kangmas sudah menantikan ini sejak lama. Sejak kita sama-sama mulai dewasa," kata Wijaya sedikit kecewa. Lalaki itu tak mau malam ini gagal. Semua usaha yang sudah dia lakukan akan sia-sia jika sampai Sekar menolak.

Ya semua usaha, salah satunya dengan menyingkirkan Kamandanu. Sehingga, dia tak punya saingan untuk mendapatkan Sekar. Wijaya menyusun semua dengan rapi agar itu terlihat seperti penculikan atau aksi balas dendam kelompok tertentu. Padahal, dia yang merencanakannya.

Bahkan raja dan ratu, juga semua orang di keraton ini tak menyadari. Dia membayar orang luar untuk membantu melancarkan misi. Bayarannya mahal, tetapi sepadan karena semua berjalan sesuai rencana.

"Tapi, Raden. Saya ... belum bisa."

Sekar menatap wajah itu dalam dan memohon. Tak bisakah Wijaya bersabar dan menunggu? Semua ini terlalu cepat baginya dan sulit untuk diterima.

"Kita memang bersahabat sejak kecil. Tapi statusmu sekarang adalah selirku. Jadi aku bebas melakukan apa saja, termasuk ... menidurimu."

Wijaya mengunci kedua lengan wanita itu di atas kepala. Matanya menatap Sekar dengan tajam dan menuntut.

Sekar gelagapan. Dia bisa saja dihukum karena menolak suami sendiri jika laki-laki itu mengadukan. Namun, hati tak bisa dibohongi, ada rasa enggan untuk melayani. Apalagi pernikahan ini terjadi karena Wijaya sengaja menjebaknya.

"Jangan nangis, Kar. Aku ndak akan menyakiti kamu. Aku akan memberikan kebahagiaan. Sejak dulu aku sudah berjanji untuk menjaga kamu." Laki-laki itu masih berusaha merayu.

"Terima kasih, Raden. Tapi tolong beri saya waktu," pintanya.

Sekar tak dapat bergerak karena Wijaya sudah menguasainya. Satu hal yang mungkin dilakukan saat ini adalah memohon, walaupun sepertinya itu tidak mungkin.

"Kar--" Wijaya menatap istrinya dengan tak sabar.

Sekar membuang pandangan. Air matanya kembali menetes. Sang Raden meraih dagu sang istri dan kembali mengusap pipinya dengan lembut.

"Kar. Keraton memerlukan penerus. Istri pertamaku tak mampu memberikannya. Sedangkan keturunan dari pangeran lain adalah anak perempuan. Semoga kamu bisa memberikan aku anak laki-laki."

Wijaya menyentuh lembut bibir istrinya. Sekar tak dapat berkutik lagi. Kata-kata yang diucapkan suaminya tadi begitu menyentak. Laki-laki itu tahu cara untuk menaklukan.

Sekar pasrah, menerima semua pelakuan sang raden. Malam itu, dia menyerahkan diri. Wijaya berhak atas dirinya, sekalipun mengorbankan perasaan yang hancur.

***

"Diajeng."

Wijaya mengusap wajah istrinya saat Sekar mulai terbangun. Semalaman mereka memadu kasih hingga tengah malam. Laki-laki itu begitu bahagia karena telah mendapatkan apa yang selama ini dia inginkan.

"Raden."

"Kangmas," ralat Wijaya dengan mesra. Bibirnya mengecup pelipis Sekar yang berbau peluh.

"Kang ... mas," kata Sekar gugup. Mereka sudah terbiasa sejak kecil bersama, tetapi tidak intim seperti ini.

"Ayo kita mandi. Sebentar lagi pelayan akan membawakan makanan," ajaknya sambil membantu Sekar duduk.

"Kepalaku pusing," katanya jujur. Tubunya terasa sakit, seperti semua sendi dicopot dengan paksa. Perlakuan Wijaya kemarin malam membuatnya tak berdaya.

Selir Sang Pangeran [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang