9. Pupus

3.6K 240 2
                                    

Tangis Sekar menggema di ruangan itu. Pernikahan yang direncanakan akan dilagsungkan pagi ini batal karena perngantin pria menghilang. Gadis itu meraung tak terima sehingga melempar barang-barang.

Kamandanu tak ditemukan dimanapun, kecuali selongsong pedangnya yang jatuh, juga darah yang berceceran di sekitar benda itu ditemukan.

"Sudah, Nduk." Ratih memeluk putrinya yang sedari tadi mengamuk karena pernikahannya dibatalkan.

Raja sudah mengerahkan seluruh prajurit untuk mencari panglima kesayangannya, tetapi nihil. Para dukun juga dikerahkan untuk
Keberadaan Kamandanu. Hasilnya juga sama, sia-sia. Sehingga para sesepuh langsung menunjuk seorang parjurit terlatih untuk menggantikan posisinya.

Gerbang ditutup. Pemeriksaan diperketat hingga ke bagian sudut. Bahkan barak, dapur juga pondok-pondok yang berada di wilayah keraton menjadi sasaran.

"Kalau memang Kangmas dibunuh, dimana mereka menbuang mayatnya, Buk?" tanya Sekar.

Ratih tak mampu menjawab. Di luar sana Daksa dan yang lain ikut menyisir beberapa tempat untuk mencari calon menantunya.

"Sepertinya Kangmas-mu diculik. Entah ke mana mereka membawanya. Semua orang sedang mencari," jawab Ratih.

Tangisan Sekar semakin kencang mendengar itu. Mata gadis itu membengkak karena air matanya tak berhenti bercucuran. Wajahnya begitu kusam dengan rambut acak-acakan.

"Mengapa mereka tega, Buk? Apa salah Kangmas sehingga diperlakukan seperti ini?" Sekar mengeratkan pelukan.

Ratih mengusap punggung putrinya dengan lembut. Sejak tadi wanita paruh baya itu berusaha menenangkan dengan berbagai kata dan cara. Namun, sepertinya Sekar masih belum bisa menerima kenyataan ini Berjam-jam dia menangis, lalu akhirnya tertidur karena kelelahan. Wajahnya pucat dengan mata yang sembab.

Ratih memakaikan putrinya selimut, lalu keluar dan menutup pintu. Tampak Daksa, sang suami, sedang duduk termenung di depan. Sejak pagi hingga kini menjelang gelap, belum ada hasil sama sekali. Para prajurit bahkan sudah menyisir hingga ke sungai dan sekitar gunung.

"Gimana, Pak?" tanya Ratih sambil meletakkan secangkir teh manis di meja.

"Nihil, Buk. Mereka pintar menutup jejak. Entah ke mana Kamandanu dibawa. Kami akan melanjutkan pencarian besok," jawab Daksa.

"Jadi benar diculik?" tanya Ratih penasaran.

"Dugaan sementara seperti itu, Buk."

"Pelakunya?" tanya Ratih lagi.

"Kemungkinan besar bagian dari perompak yang pernah dia tumpas. Mereka dendam karena ketuanya terbunuh sewaktu penyerangan," jelas Daksa.

"Bagaimana cara mereka masuk?"

"Prajurit di pintu masuk lengah. Bisa jadi mereka menyamar sehingga penyusup bebas masuk tanpa pemeriksan yang rinci," lanjut Daksa lagi.

Ratih menyimak semua yang dituturkan oleh suaminya. Segala kemungkinan dan harapan untuk menemukan calon menantu mereka dipaparkan secara detail oleh suaminya.

"Kalau begitu kita hanya bisa berpasrah. Semoga memang benar hanya diculik. Jika sampai Kamandanu dibunuh, kasian sekali nasib Sekar. Dia patah hati, Pak."

Daksa meraih jemari istrinya dan menggenggamnya dengan erat. Tak hanya Sekar, mereka pun ikut terluka karena kejadian ini.

"Ini suratan takdir dari Yang Maha Kuasa, Buk. Kita hanya bisa menerima. Sekarang tugasmu hanya menguatkan putri kita. Lambat laun dia akan mengerti."

Daksa menyeruput teh yang uapnya masih mengebul. Lelaki paruh baya itu teringat pagi tadi saat pondok diketuk dengan keras dan kabar duka itu disampaikan. Dia sendiri memang berada di pendopo untuk melihat tempat itu dihias hingga tengah malam.

Selir Sang Pangeran [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang