Bag 8: Sesuap Nasi dan Pengemis

4 2 0
                                    

 
Kekasih Sang Waktu
Romance - Spiritual - Slice of Life
By Dera Haluer

"""""""""""""""""""

Jangan lupa follow sebelum membaca 🤗
Selamat membaca
##################

Fajar menyingsing di tepian cakrawala, menyapa sembari berkata bahwa hari baru telah kembali dibuka. Rona sinarnya dengan sengaja menghambur mengedarkan pesona ke seluruh penjuru dunia, agar jiwa-jiwa yang berpikir bisa bersyukur dengan rasa bahagia. Seharusnya.

Walau tetap saja, tak sedikit jiwa yang kufur atas segala nikmat-Nya. Hati mereka selalu bertanya-tanya dengan perasaan kecewa dan putus asa. Kenapa hari terlalu cepat berganti, apa lagi yang harus dilakukannya hari ini?

Bukankah sudah jelas, bahwa manusia itu diciptakan hanya untuk beribadah? Kenapa sebagian dari mereka merasa bingung? Kenapa sebagian dari mereka kebanyakan membuang-buang waktunya di dunia? Padahal Tuhan sudah berkata lewat firman-Nya, “Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh,…,” Orang yang beriman tentu akan bersyukur dan menikmati, dan ia tahu apa yang seharusnya dilakukan setiap kali hari berganti. Mengerjakan amal kebaikan untuk bekal akhirat nanti.

Dari sepertiga malam tadi hingga sang fajar datang kembali terbit menyapa kemudian, perempuan berparas putih berseri itu sudah disibukan dengan rutinitasnya sendiri. Sembahyang salat dan dzikir malam hingga waktu shubuh berkumandang, membaca dua lembar ayat suci Al-Qur-an dan berdzikir pagi membaca Al-matsurat. Setelah selesai urusannya dengan sang Kholiq, ia lantas mengerjakan urusannya sendiri, mencuci pakaian, membantu umi menyapu serta membersihkan rumah. Barulah setelah semua selesai, kemudian pergi mandi dan berkemas diri, bersiap untuk memulai hari.

Kini sarapan pagi sudah tersaji di atas meja makan. Hidangan biasa tapi istimewa ala masakan umi; nasi goreng mentega dengan telur ceplok mata kerbau.

Erza tak pernah merasa bosan dengan menu hidangan tersebut di setiap paginya. Ia malah selalu lahap menyantapnya dengan nikmat.

Begitu pun dengan Abah dan si Kecil Faisal. Semua seperti tak bosannya begitu menyukai, lahap menyantap sarapan agar penuh energi.

Kecuali satu orang mungkin, yang kini terlihat memasang raut wajah cemberut. Nasi goreng hidangan khas itu, Syifa tak sedikitpun menyentuhnya. Ia seperti tak berselera memakannya. Atau mungkin sudah bosan dengan hidangannya.

"Lho, Dek. Adek enggak makan? Lagi Puasa?" tanya Umi saat melihat nasi goreng di hadapan Syifa masih tampak utuh.

Syifa menggeleng sembari mempertahankan wajah cemberutnya.

"Adek sakit?"

Syifa menggeleng dengan cemberut yang sama.

"Terus kenapa enggak makan?"

"Adek, enggak mau makan!"

"Lho, kenapa?"

Erza yang asyik melahap makan, seketika memperlambat makannya. Lagi-lagi adeknya itu merengek karena sesuatu.

"Adek bosan makan ini terus. Adek benci, kenapa sih tiap pagi harus makan ini terus? Kan bisa masak daging atau rendang atau opor ayam kek!"

“Ya sudah, besok umi masakin ayam goreng deh. Umi janji. Hari ini sarapan itu dulu, ya.”

“Enggak mau! Bosan, enggak enak!” celetuknya dengan nada masih merengek.

Melihat ulahnya itu, Umi hanya bisa terdiam. Bingung, apa ia harus segera pergi ke warung lalu beli satu-dua potong ayam untuk digoreng? Tapi mungkin itu enggak akan keburu, butuh waktu untuk mengolah dan memasaknya.

Kekasih Sang WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang