Wajah pagi ini, 6 Maret 2019, tak begitu cerah bagi Shanala. Semenjak tadi dia tak sesemangat biasanya. Dia tak lagi menyemprot parfum vanilla di kedua sisi telinganya. Bahkan, dia tak memakai pengharum apapun di badannya. Menurut Nala, aroma badannya mungkin akan mengganggu orang lain. Ia tak mau menyusahkan orang lain.
Beda saat ia berseragam atasan kebaya putih dan bawahan rok batik parang warna biru tosca, ia sampai berkali-kali merapikan di depan kaca. Memeriksa ulang apa seragam kerjanya itu sudah sesuai dengan riasan mata dan wajahnya. Nala memeriksa hingga tujuh kali sebelum yakin. Ini sangat mengganggunya.
Sama seperti dunia luar yang tak berhenti mengganggu Nala. Ingin hati menyelesaikan urusan dengan sang ibu, nyatanya tidak bisa. Rekaman peristiwa memalukan di kafe bandara kemarin menjadi konsumsi publik. Terkenal, tapi itu sesuatu yang buruk. Benar, video penganiayaan sang ibu kemarin menjadi terkenal di internet dalam waktu semalam.
Mungkin itulah yang mendasari Nala dipanggil untuk kedua kalinya ke kantor. Pasti untuk memberi penjelasan pada pimpinan terkait ulahnya yang tak kunjung berhenti. Gadis itu sudah pasrah sepertinya, hingga hanya bisa menurut.
Tanpa peduli hangatnya sinar matahari, roman Nala terlihat mendung. Apalagi ia tak lagi mempedulikan penampilan – hidupnya terasa tak berguna lagi. Padahal ia harus segera menghadapi pimpinan dan juga sang ibu yang kebanyakan menatap angkuh. Beda dengan Vanya – yang ternyata ikut – yang terlihat merindukan sang adik.
Vanya menghambur ke tubuh ringkih Nala. Wajahnya semringah beda dengan si adik tentu saja.
“Ya Allah … adikku udah jadi pramugari. Kamu sungguh cantik, Nala,” puji Vanya bahagia.
Nala membuang mukanya ke arah yang lain. “Apa kabar, Mbak? Tidak bahagiakah ibu bersamamu? Kenapa masih mencariku?” sambutnya dingin.
“Oh, nantang kamu, ya! Ini yang kamu sebut ibu ada di sini!” Bu Rasmina menunjuk dadanya emosi. Wajahnya tak pernah santai.
“Sudahlah, Bu. Yang tenang!” tegur Vanya tak suka lantas mengelus pundak sang adik. “Nala, maafin Ibu, ya!”
“Hei Nak, Ibu tak perlu meminta maafnya! Nggak perlu!” Bu Rasmina menarik tangan Vanya dari tubuh Nala.
Pandangan Vanya menajam. “Bu, sudahlah! Ibu sudah janji sama Vanya untuk nggak bikin keributan lagi. Kita udah cukup malu, Bu!”
Bu Rasmina mengendur lantas duduk. “Salahkan dia tuh!” tunjuknya dengan dagu.
“Semua memang salah saya, Bu!” ucap Nala datar tanpa menatap sang lawan bicara.
Ia lebih memilih duduk menghadap meja pimpinan. “Izin Bu, semua memang salah saya. Saya telah mencoreng nama perusahaan,” tegas Nala tajam.
Bu Natalia menengahi dengan wajah kacau. “Lantas kenapa kamu tidak kapok mengulangi kesalahan, Mbak Nala? Teguran kemarin bukan bualan lho! Bahkan, pagi ini saya harus membacakan keputusan komite disiplin atas kasus dugaan perselingkuhanmu.”
“Kenapa kamu harus bertengkar dengan seragam itu, Mbak?” sesal Bu Natalia, “jujur saya kecewa padamu, saya sendiri yang memilihmu saat seleksi,” imbuh Bu Natalia kemudian.
Nala hanya menunduk. Hidupnya makin tersudut.
“Dia jadi selingkuhan?” Bu Rasmina kembali emosi, kali ini ia menjambak rambut Nala. “Sudah kuduga kesuksesanmu itu dari cara nggak bener! Memalukan kamu, anak penuh dosa!” semburnya tanpa ampun.
Nala memejamkan mata dari rasa sakit dan malu. Mungkin sudah jadi nasibnya dipermalukan ibu kandung seumur hidup seperti ini. Nala sungguh lelah dengan semua ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman (sa) Arunika
HorrorShanala Arunika adalah gadis dengan hidup yang mengerikan. Di balik senyum ramahnya tersimpan pikiran yang kusut dan rumit. Dia tak akrab dengan ibu kandungnya. Sang ibu membencinya, lebih sayang pada kakaknya. Dia dapat trauma fisik dan mental seme...