"Bu ... bukain pintunya ... Nala takut petir," rintihku sambil mengetuki kaca jendela.
Petir menggelegar dan berhasil menakutiku lebih dalam. Lagi, kuketuk lagi. Berharap ibu luluh.
"Bu ... tolong, Bu," ucapku sambil memandang dress bunga-bunga kesukaan saat duduk di kelas 1 SD.
"Diam di situ kamu! Renungi kesalahanmu!" bentak Ibu sambil memelototiku dari balik kaca.
Kupandang wajah Ibu yang cantik dengan memelas. "Takut, Bu ... bukain! Nala janji nggak nakal lagi. Nala nggak akan minta kuenya Mbak Vanya lagi."
"Nggak!" Ibu menutup gorden dengan kasar.
Lalu terdengar tawa cekikikan dari dalam. Sepertinya ibu sedang bergurau riang dengan mbak Vanya. Sesekali tercium aroma roti hangat yang baru matang. Aku lapar, mengelus perutku yang kempes.
"Nala, kamu ngapain di luar?" Bapak datang dan memangkuku.
"Bapak!" Kupeluk Bapak dengan erat. "Nala takut, Pak. Ayo masuk rumah!" aku menangis tersedu.
Bapak menggendong tubuh ringkihku yang masih berusia 7 tahun sambil mendatangi ibu. Wajah Bapak tegang sekali, entah kenapa.
"Kamu apain lagi anak ini, hah!" semprot Bapak.
Ibu memandang Bapak tajam. "Ngapain kamu bawa masuk anak sialan ini! Dia habiskan kue kakaknya. Vanya kelaparan sepanjang sekolah karena dia! Dia pantas dihukum!"
Mbak Vanya menangis, sama denganku. Mereka ribut, besar sekali. Suaranya keras, hingga aku takut dan berlari masuk kamar. Aku menangis takut di bawah meja sambil memegang sepotong roti. Lalu tak lama kemudian, ibu masuk dan berhasil menemukanku.
Aku gemetar ketakutan, pandangan ibu seperti hantu yang jahat. Kemudian, sebuah pukulan melayang di punggungku, keras sekali. Aku menangis ketakutan hingga roti yang kubawa jatuh.
"Gara-gara kamu Ibu bertengkar dengan bapak! Kamu memang anak pembawa sial!"
Gelap, dan seluruh tubuhku sakit. Aku gemetaran seperti kedinginan. Hingga guncangan itu makin keras dan mataku terbuka.
"Nala! Na!" panggil Jihan cemas.
Aku langsung terduduk dan menyadari itu mimpi. Ya, sekarang aku bukanlah anak tujuh tahun itu lagi. Aku sudah berusia delapan belas tahun dan sudah keluar dari rumah itu. Kini aku duduk di depan Jihan sambil menata pikiranku satu persatu.
"Kamu kenapa?" tanya Jihan cemas. "Kamu menendang seperti ketakutan. Kamu berontak dan aku cemas, Nala. Ayo kita ke rumah sakit, ya? Aku ada uang kok."
Aku menggeleng, "aku nggak apa-apa, Han. Cuma mimpi buruk."
"Kamu mau teh hangat?" tawarnya yang kuiyakan.
Februari 2018, aku duduk berdua dengan Jihan sambil memeluk cangkir teh hangat. Memandangi bulir hujan di kaca sembari memeluk kaki. Meresapi suara hujan yang turun deras di atas genteng tanpa banyak dialog.
"Tidak maukah kamu bercerita tentang hidupmu, Na? Katakan saja semua padaku," ucap Jihan sambil memandangku iba.
"Kamu tahu jika hidupku tak lebih baik daripada ini. Aku hidup sendiri sejak usia lima belas tahun, bapak ibuku nggak tahu ke mana. Intinya, aku dibuang oleh keegoisan mereka. Ceritalah, hem?" bujuknya lagi.
Aku tersenyum sedih. "Hidupku terlalu mengerikan untuk didengar, Han."
"Apa sangat berat untuk mengingatnya?" tanya Jihan pelan.
Apa cerita tentang kekerasan dalam rumah tangga antara ibu dan anaknya itu patut ditulis, didengar, atau diceritakan? Menurut kalian, ibu itu apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman (sa) Arunika
TerrorShanala Arunika adalah gadis dengan hidup yang mengerikan. Di balik senyum ramahnya tersimpan pikiran yang kusut dan rumit. Dia tak akrab dengan ibu kandungnya. Sang ibu membencinya, lebih sayang pada kakaknya. Dia dapat trauma fisik dan mental seme...