“Seorang anak tetap suci, Shana. Sekalipun ibumu membenci kehadiranmu, Bapak sangat menyayangimu seperti Vanya.”
Suara bapak terngiang lagi di benakku. Berulang-ulang hingga sepuluh kali lebih. Kusadari bahwa bapak adalah malaikat yang tak bersayap, lebih layak disebut seperti itu. Sehebat itu hatinya bisa menerima anak hasil zina yakni aku. Bahkan, berapa kali bapak pasang badan untukku, membelaku di depan ibu. Bahkan, bapak pergi setelah membelaku.
Wajar tak mau hidup dengan ibu. Bisa memaafkan ibu saja sudah luar biasa.Membuatku terduduk lemas di meja kursi bandara yang kosong. Sesekali sambil menyeka air di mata dengan tisu. Mulut hanya ingin diam, malas bicara. Walau sedang berdua dengan Mas Ganta yang terus saja menatapku cemas.
“Nala?” Mas Ganta menyentuh punggung tanganku dengan lembut.
Refleks kutarik tanganku ke pangkuan hingga ia menatapku heran.“Aku sudah cuci tangan, Na. Tenang,” ucapnya santai sambil menatapku setengah hati.
“Maaf,” ucapku lirih.
“Mau bercerita tentang semua kebingungan ini?” tanyanya pelan. Tentu sambil menjangkau wajahku yang kebanyakan menunduk.
“Aku nggak yakin ini masuk logika Mas Ganta atau nggak,” gumamku ragu.
“Sumpah aku bingung dengan kamu, Nala. Siapa bapak tadi? Kenapa kamu menghindarinya dengan menangis?” Mas Ganta memberondongku penasaran.
Aku menunduk dan meremas tisu di tangan. “Sangat sulit bagiku membuka semua ini, Mas.”
Dia mengacak rambutnya bingung. “Bisa nggak to the point aja?” desaknya.
“Apa Mas Ganta siap menerima kenyataan pahit?”
“Nala, aku bahkan udah biasa nerima kabar buruk tentang cuaca dari ketinggian 37.000 kaki. Seburuk apa sih kenyataan itu?” Mas Ganta sedikit meremehkanku.
“Aku anak haram, Mas,” ceplosku yang mendadak membuatnya membeku. “Bapak tadi adalah suami ibu, tapi bukan bapak kandungku.”
“Mak – maksudmu … kam – kamu ….” Dia gagap bingung.
“Mas Ganta boleh membenciku atas kenyataan itu. Mas juga boleh menganggapku sampah.” Aku menunduk lagi.
“Nala, lihat aku!” Mas Ganta mengangkat daguku. “Aku bukan orang kolot, kamu nggak berdosa apapun di sini.”
Kupandang wajah itu sekali lagi, tampak menenangkan. Senyumku sedikit terlukis. “Nggak salah, kamu memang sebaik ini,” tukasku.
“Kamu tetap semangat, ya!” ucapnya manis.
“Aku pengidap OCD,” ceplosku yang kedua. Entah apa reaksinya.
Lagi, dia menatapku kosong. “Kelainan … jiw – jiwa?”
Aku mengangguk lantas menunduk lagi dengan setetes air mata jatuh. “Aku jadi pramugari karena ingin sembuh dari gangguan itu. Aku adalah korban KDRT ibuku sejak SD. Entah mungkin sejak aku kecil juga. Aku ragu ….” Kuusap mata pelan.
“Dengan jadi pramugari, aku ingin dianggap orang normal. Aku punya dunia baru yang mendukungku, percaya padaku. Tak ada yang berani menyakitiku, semua suka karena aku cantik,” kataku terbata-bata dengan wajah datar.
“Kamu punya trauma, Nala?” tebak Mas Ganta dengan wajah iba.
“Tendangan, pukulan, jeweran, bentakan membuatku takut suara keras dan tidak percaya diri. Aku takut kotor, sakit terus mati. Saat aku konsultasi, dokter mengatakan bahwa aku menderita PTSD, Post Traumatic Stress Disorder. Sempat menjalani konseling dan pengobatan,” jelasku dengan mata menerawang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman (sa) Arunika
TerrorShanala Arunika adalah gadis dengan hidup yang mengerikan. Di balik senyum ramahnya tersimpan pikiran yang kusut dan rumit. Dia tak akrab dengan ibu kandungnya. Sang ibu membencinya, lebih sayang pada kakaknya. Dia dapat trauma fisik dan mental seme...