"Mbak, ada selimut nggak?” pinta Kava untuk sekian kalinya saat Nala lewat sambil membawa air sanitizer. Cuek seperti tadi.
Gadis manis itu teguh pada pilihan sikapnya, cuek dan abai pada salah satu penumpang berwajah tampan bernama Kavalery. Hingga rekannya yang risih bernama Ina turun tangan.
“Silakan Pak,” ucap Pramugari Ina dengan wajah tak nyaman.
"Lho saya tadi minta sama Mbak Nala, Mbak," sela Kava tak enak juga.
Ina menunjuk dengan arah matanya ke sisi lain. "Mbak Nala sedang bertugas di belakang."
Tentu Kava langsung melihat ke arah belakang saat pesawat mulai taxi ke runway untuk segera take-off. Rupanya, Shanala terlibat sebuah situasi yang tegang dengan salah satu penumpang di row belakang.
“Menurut peraturan keselamatan penerbangan, ponsel harus dimatikan saat take-off, Pak!” ujar Nala tegas.
Penumpang itu melotot. “Saya ini pejabat! Orang penting, mana bisa sembarangan mematikan HP!”
“Mohon maaf, Bapak. Sebentar saja, kami mohon. Demi keselamatan kita semua,” bujuk Nala sopan.
“Ah pramugari ini, macam sok tahu ka!” Si penumpang makin nyolot.
“Bapak, kami mohon untuk mematikan ponsel, sebentar saja!” pinta Nala sabar.
Plak! Sebuah tamparan mendarat lagi di pipi mulus Nala. Gadis itu tertegun, tak percaya dengan apa yang dialaminya. Pun dengan Kava yang mendidih melihat kekerasan yang terjadi pada perempuan – yang membuatnya penasaran itu.
Supervisor penerbangan tak tinggal diam. Ia mengontak kapten pesawat untuk holding dan memanggil staf darat. Penumpang barbar itu dikeluarkan dari pesawat dengan mulut penuh serapah. Tak peduli, daripada membuat gaduh lebih baik disuruh turun, pikir kapten. Toh dia yang salah.
Bagaimana dengan Nala? Ia tersenyum sok kuat sambil menahan tangis dan memegangi pipinya. Rambutnya yang digelung rapi sedikit berantakan karena ia harus menunduk melewati penumpang yang memandanginya iba. Sekali lagi, ia hidup dari iba. Sekali lagi, ia dipermalukan.
Apa sebegitu tak berharganya hidup Nala? Hingga semua orang dengan mudahnya meletakkan tangan di tubuhnya – sang ibu, sang mantan kekasih, dan penumpang yang tak dikenalnya itu.
Saat sampai di seat 24A, Nala melirik lelaki yang rupanya berseragam loreng dengan dua balok hitam di lehernya itu. Lelaki putih itu juga sedang memandangnya lekat, seperti ingin merengkuh atau apa. Lelaki yang sedari tadi mencari perhatiannya itu tak berhenti menatapnya. Mata mereka bertaut cukup lama, tiga detik, tapi membuat Kava penasaran berjam-jam.Apa kamu sedang meminta tolong? Apa kamu tak apa-apa? Batin Kava bergejolak hebat.
Kava memandang punggung gadis ramping yang berlalu cepat ke galley belakang itu. Dengan sejuta pertanyaan memenuhi benak, ingin Kava memanggil namanya.“Kamu bertindak kuat dan seolah tak ada apapun, tapi matamu tidak. Sebenarnya kamu kenapa, Shanala?” batin Kava menyeruak hebat.
Sayangnya, lelaki itu harus mengubur dalam-dalam penasarannya sebab Nala tak kunjung berjalan di aisle lagi. Entah menenangkan diri atau apa, Kava ingin memeriksanya. Namun, berhubung penumpang di sebelahnya mulai lelap, ia urung. Sungkan melewati orang di sebelah saat ia duduk di window seat.Ternyata, Shanala berdiri di depan kaca di dalam lavatory yang menyala. Dengan wajah kacau, merah padam menahan tangis emosi.
“It’s okay, Nala! Kamu pasti bisa!” Berusaha menyemangati diri sendiri kendati sambil menangis pelan di depan kaca lavatory. Dia berusaha tersenyum dan mendinginkan pipinya yang memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roman (sa) Arunika
HorrorShanala Arunika adalah gadis dengan hidup yang mengerikan. Di balik senyum ramahnya tersimpan pikiran yang kusut dan rumit. Dia tak akrab dengan ibu kandungnya. Sang ibu membencinya, lebih sayang pada kakaknya. Dia dapat trauma fisik dan mental seme...